Saturday, July 14, 2012

Jokowi-Ahok


Sepertihalnya cerita dari negeri China. Dari sebuah desa , kepemimpinan terbentuk. Dari sebuah Desa orang diuji berjalan dititian. Dari sebuah desa orang dikenal , dipuji dan diasingkan. Hukum komunitas terkecil ini mempunyai hukum alam. Yang baik dihormati dan yang jahat diasingkan. Budaya terbangun ,ketulusan dijalankan. Beda sekali dengan dikota. Orang bergerak dalam diam namun penuh curiga dan awas. Segala kebusukan dan keshalehan bersatu, menjadi semuanya tak jelas dilihat dengan mata kepala. Dari kumpulan orang orang inilah budaya santun, tulus , terdegradasi menjadi budaya individualistis. Tapi bagaimanapun Desa tetaplah memanggil rasa rindu nurani siapa saja untuk menemukan kesejatiannya.

Begitupula yang dirasakan oleh seorang Salesman bosan mengejar impiannya di Kota. Namun di Desa dia mendapatkan senyuman dan harapan, yang selama dikota jarang dia dapatkan. Tak perlu terkejut bila kedamaian dibalas dengan ketulusan untuk berbuat dapat melahirkan kekuatan diluar akal sehat. Sesorang ini adalah dia. Diapun akhirnya didaulat menjadi Lurah di Desa. Hanya karena di Desa yang miskin kepeminpinan tidak memberikan pendapatan berlebih kecuali rasa hormat. Namun bagi dia, itu adalah segala galanya. Diapun sadar bahwa dia bukanlah siapa siapa. Hanya salesman di kota. Tak pula pernah mengenyam bangku kuliah. Namun, itulah dia, yang menyandang predikat sebagai pemimpin dari komunitas desa miskin.

Mungkinkah ?

Lihatlah apa yang dilakukannya. Sederhana saja. Dia hanya menggunakan rasa hormat penduduk desa untuk berbuat menyelesaikan masalah desa sehari hari. Walau usia masih muda namun status sebagai orang kotaan, sudah cukup membuat rakyat percaya untuk mengikutinya. Diapun mendidik masyarakat untuk bertanam jagung dan melupakan soal padi. Jagung ditanam. Panennya tidak dijual mentah tapi dilumat bersama dengan singkong , maka jadilan bahan baku untuk memenuhi pabrik di kota pembuat mangkok dan piring. Pemuda itu dapat meningkatkah penghasilan petani dan akhirnya mampu membeli beras yang sudah terlanjur mahal. Kesehariannya selalu ada ditengah tengah petani jagung dan singkong. Dalam perjalanan kekebun , dia selalu mengumpulkan sampah plastik kedalam keranjang. Sesampai dikebun, tida ada yang dilakukannya. Dia hanya duduk dan besiul sambil memandang hamparan tanah yang ditanam jagung dan singkong. Petani yang malas , bangkit karena rasa malu dihadapan pemimpinnya yang selalu hadir ditengah tengah mereka. Produktivitas meningkat dan mesin produksi pring dan mangkok pun semakin meningkat untuk memenuhi pasar. Antara pasar , kota dan desa menjadi satu kesatuan dan ketergantungan , bukan belas kasihan.

Keberhasilannya mengundang perhatian Partai. Diapun terpilih sebagai Bupati. Apa yang membuat dia terpilih ? ternyata karena hobinya mengumpulkan sampah plastic dan akhirnya diikuti oleh semua rakyat desa hingga desa itu menjadi desa bersih. Partai menganggap dia orang yang pantas untuk menjaga kota tetap bersih. Padahal tujuannya mengumpulkan sampah plastic agar tanah tidak tercemar. Ketika dia jadi bupati. Setiap hari , dalam perjalanan dari rumah kekantor, dia selalu menyempatkan diri untuk menanam satu pohon disetiap tanah lowong. Tidak ada rakyat yang berani mengganggu pohon itu karena dia yang tanam, bahkan rakyat menirunya. Lima tahun dia berkuasa, kota yang gersang, tumbuh menjadi kota yang sejuk dan penuh bunga. Keberhasilannya , ternyata bukan hanya mengundang perhatian pemerintah daerah tapi juga pemerintah pusat. Diapun diundang untuk datang kepusat. Jabatan tinggi sudah menantinya. Tapi ketika itu ditawarkan kepadanya , dia menolak dan lebih memilih untuk cepat pension. Ketika hal ini ditanyakan kepadanya , dengarlah jawabannya:

“ Lima belas tahun menjadi pemimpin , usia saya serasa bertambah 1000 tahun. Selama itupula saya tidak pernah menikmati yang seharunya saya nikmati. Apa itu, ? waktu!. Setiap hari , 18 jam waktu saya terpakai untuk mengabdikan diri kepada rakyat. Sehingga saya lupa tanggal ulang tahun istri saya. Lupa kapan terakhir saya mendapatkan bayi kedua saya. Saya lupa menjahit jas saya yang robek. Menjadi pemimpin itu ,bagaikan hidup diatas bara. Setiap detik, bukanlah hal yang menyenangkan. Kalau anda ingin memberikan hadiah kepada saya , maka biarkanlah saya menikmati pension saya dengan damai. Jangan pernah berpikir sayalah yang terbaik karena kehidupan tidak akan pernah berhenti hanya karena ketidakadaan saya. Kita hanya butuh satu keyakinan, beri kesempatan kepada siapa saja untuk berbuat karena nuraninya,  dan karena cinta untuk semua “

Mungkin banyak pemuda di negeri ini yang mempunyai kemampuan seperti cerita anak muda diatas. Salah satunya adalah Jokowi dengan keberhasilannya memimpin kota Solo dan Ahok di Belitung. Walau system politik negeri ini tidak memberi peluang pengabdi rakyat untuk memimpin melainkan pengabdi Partai. Namun Jokowi dan Ahok mampu memadukan ketiga hal dalam Politik yaitu  kekuasaan , aturan dan keteladanan. Ketiga hal itu bertumpu kepada kerendahan hati, kesederhanaan. Tak ubahnya seperti Ahmadinejad ketika memimpinTeheran. Bahwa kekuasaan tanpa moralitas adalah Penjahat, Aturan tanpa keadilan adalah penjajahan, Retorika  tanpa keteladanan akhlak adalah Penipuan. Bagi mereka kekuasaan adalah politik yang datang karena kebutuhan untuk ” menyelesaikan”. Untuk ”menyelesaikan” bukanlah kemudahan dibalik banyak fasilitas jabatan yang menempel dalam simbol simbol kekuasaan dan kemewahan. Tapi deretan derita dan kelelahan untuk ” menyelesaikan”. Bila calon pemimpin menyadari ini  maka tentu tidak ada lagi yang berani sombong karena kekuasaan atau jabatan. Tidak ada lagi yang mau merekayasa Undang Undang Politik untuk terus berkuasa. Tidak ada lagi fitnah. Tentu tidak adalagi kelaparan dan kematian karena kemiskinan. Mungkinkah...

No comments:

Negara puritan tidak bisa jadi negara maju.

  Anggaran dana Research and Development ( R&D) Indonesia tahun   2021 sebesar 2 miliar dollar AS, naik menjadi 8,2 miliar dollar AS (20...