Friday, June 22, 2012

Menindas


Seorang pemuda lajang memprotes Gubernur Banten lewat SMS karena mengizinkan berdirinya gereja di wilayah Pandeglang. Namun protes lewat SMS ini berujung dengan urusan Polisi. Pemuda itu dijebloskan kedalam penjara dengan dakwaan mengamcam seseorang sehingga seseorang merasa tidak nyaman. Pemuda ini diancam pidana dalam pasal 335 ayat (1) ke 1 KUHP. Ancaman hukumannya 6 tahu. Saya tidak akan membahas otoritas Gubernur memberikan izin berdirinya gereja. Ketika membaca berita itu saya sempat termenung setelah terkejut. Mengapa ? karena saya memandang demokrasi sebagai sebuah ide yang dicanangkan oleh kelompak menengah untuk melahirkan kepemimpinan yang terseleksi , dan dipilih langsung oleh rakyat. Tentu secara ideal ,pemimpin terpilih adalah ideal pula karena dipilih secara bebas lewat seni  kompetisi ala demokrasi.

Hukum pidana yang dijatuhkan kepada pemuda itu atas dasar delik aduan. Siapa yang mengadu ? ya pemimpin yang dipilih oleh rakyatnya sendiri , yang merasa terancam nyawanya oleh mereka yang memilhnya. Ironi sekali. Benarkah pemimpin itu memang terpilih ? Pertanyaan itu tak perlu dijawab karena konsep demokrasi hanya ada ditengah gelegar pemilu/pilkada. Ketika itu pagar tinggi penguasa menjadi rendah, pintu gerbang kekuasaan terbuka lebar dengan hiasan disana sini. Namun setelah usai pesta pemilu maka semua kembal menutup. Rakyat banyak tak bisa lagi melihat apa yang terjadi  didalam pagar itu, apalagi yang ada didalam benak penguasa itu. Rakyat banyak hanya bisa merasakan penguasa semakin jauh jarak seiring semakin banyaknya jalan yang rusak, rumah sekolah yang bojor atapnya, rumah sakit yang semakin pelit melayani orang miskin dan akhirnya membiarkan orang mati dalam kesakitan tak terobati.

Lantas untuk apa sebetulnya tujuan Pemilu ? Jawabnya pasti “ tidak ada tujuan kecuali merebut korsi sebagai ladang hidup senang tanpa kerja keras. Ini perampok secara sistematis dari kebodohan orang yang banyak , yang masih percaya akan hari esok, yang masih percaya akan hope dari janji para politisi yang selalu bermanis muka namun bagaikan srigala berbulu domba. Ini sudah menjadi design politik ala reformasi.  Ada ratusan partai politik yang tak pernah jelas apa bedanya dengan partai lain, tak pernah jelas apa program dan ideologinya, bahkan tak pernah jelas tanda gambarnya. Ada ratusan partisipan yang memperebutkan korsi diparlemen dan ratusan korsi Kepala Daerah Tingkat Dua dan puluhan korsi Gubernur. Semua bersaing dan bersaing. Tujuannya hanya satu : kekuasaan. Soal bagaimana kekuasaan itu didapat tidak penting. Para Penyelenggara pemilu dan pengawas nampak bingung dengan semua itu karena mereka juga tak lepas dari tekanan para partisipan. Tekan menekan, terjadi dan membuat semakin bingung dan semakin tidak jelas untuk apa Pemilu/Pilkada itu ada .

Jangan-jangan, di negerti inilah sebuah pemilu dipaksakan ada untuk sebuah symbol sebagai Negara modern tapi kampungan. Mengapa kampungan? Karena semakin lama semakin menampakan wajah dari gerombolan penipu yang membuat muak rakyat banyak. Makanya tak usah terkejut bila seorang pemuda desa yang tak terdidik baik dikampus secular berani menyampaikan kekesalannya lewat SMS .Itu hanyalah letupan dari kekesalan atas opera kampungan yang telah memakan ongkos miliaran namun tak jelas tujuannya. Terbukti pemimpin yang lahir dari opera kampungan itu memang berjiwa kampungan. Lapor ke Polisi dan menggunakan pedang hukum untuk menghunus rakyat yang seharusnya dicintai, dibina dan didengar walau pahit rasanya. Tapi sayang, memang system demokrasi tidak bisa melahirkan pemimpin seperti Ali Bin Abi Thalip yang mau mendengar rakyatnya walau dihujat dan diancam pedang didepannya. Ali tetap tersenyum tanpa membalas marah dengan pedang kekuasaanya.

Segala ulah yang memalukan oleh para politisi dan pemimpin negeri ini sebetulnya mereka sedang mempertontonkan kebobrokan demokrasi sebagai sebuah system. Rakyat semakin sadar , semakin paham bahwa mereka tak ubahnya dibodohi oleh segelintir orang yang malas dan culas. Dan karenanya lewat system demokrasi yang mengusung kebebasan berbicara dan berpendapat, rakyatpun bicara tapi hanya sebuah SMS seorang pemuda desa harus masuk penjara. Jadi kesimpulannya tak ada kebebasan seperti nilai nilai demokrasi. Itu semua umong kosong. Yang ada adalah kekuasaan yang tak boleh disinggung hatinya apalagi sampai bernada mengancam. Rakyat harus diam! Tak ubahnya dengan kekuasaan dictator , hanya bentuknya berbeda namun tujuan sama : menindas.!

No comments:

Menyikapi keputusan MK...

  Pasar bersikap bukan soal kemenangan prabowo -gibran. Tetapi bersikap atas proses keputusan yang dibuat oleh MK. Pasar itu jelas cerdas, l...