Wednesday, December 14, 2011

Sondang Hutagalung

Ia adalah putra seorang supir taksi. Tak perlu dijelaskan bagaimana kehidupan orang miskin itu. Dia rasakan dan dia akrap dengan keseharian itu. Walau dia beruntung termasuk segelintir kecil pemuda yang mendapatkan kesempatan duduk di Universitas untuk sebuah hope namun tidak membuatnya berdiam dan menanti hope itu. Dia bangkit dalam kegundahan tentang kemiskinan yang dilihatnya setiap hari. Dia tahu pasti bahwa itu karena ketidak adilan penguasa. Dia ingin menjadi pejuang dari komunitasnya. Semua sadar , termasuk dia bahwa apa yang diperjuangkannya adalah sia sia. Karena yang dihadapinya adalah system yang angkuh bersama elite yang korup. Yang tak suka ada aktifis seperti dia. Yang membolehkan Polisi menyepak atau merekaya pembunuhan untuk orang seperti dia. Dialah Sondang Hutagalung , yang membakar dirinya sendiri didepan Istana dimana sang President berkantor dan bertitah.

Sebelumnya bulan lalu di Nigeria terjadi hal yang sama pada pemuda bernama Yenesew Gebre yang membakar dirinya sendiri dalam satu aksi anti korupsi. Mungkin apa yang dirasakan oleh Yenesew Gebre di Negeria tak beda dengan Sondang Hutagalung di Indonesia. Betapa tidak ? Yenesew Gebre tahu pasti bahwa negerinya penghasil minyak, Negara demokratis setelah menjatuhkan junta militer tapi perbaikan bukannya terjadi malah korupsi semakin terjadi secara sistematis. Dulu para pemuda gagah berani bersama sama menjatuhkan junta militer dan bersama sama pula menaikkan kekuataan sipil dalam pemerintahan. Namun apa yang terjadi ? tak ubahnya keluar dari mulut macam masuk kedalam mulut buaya. Militer maupun sipil tetap saja sama walau berbeda gaya, mereka memang pencuri terlatih. Demikian yang ada dalam benak para anak muda itu. Hingga mereka lelah dan lelah karena kecewa akibat janji dan kenyataan tak bersua.

Dalam era sekarang , dimana semua diukur dengan akal , rasanya sulit untuk menjelaskan bagaimana ada manusia sehat lahir batin mau membakar dirinya sendiri. Hanya karena alasan untuk menyampaikan kebenaran. Padahal banyak cara untuk menyampaikan kebenaran. Demikian kata orang yang berakal. Tapi tidak bagi sipemberani mati itu. Baginya kehidupan bukanlah harga mati untuk dibela. Tentu bagi sang aktifis, ketika dia berjuang semua resiko telah diperhitungkannya. Mereka focus dengan nilai nilai perjuangannya. Segala cara, mungkin telah dilakukannya. Disepak polisi, ditangkap dan di interogasi dengan kekerasan dan lain sebagainnya telah dilaluinya. Sampai pada satu titik , timbul rasa frustrasi karena semakin keras perjuangannya untuk menegakan kebenaran semakin keras pula sikap penguasa untuk mengabaikan, bahkan semakin mempertotonkan kebobrokan.

Penguasa kini tidak seperti Firaun yang memaksa orang remai menjadikannya Tuhan. Namun prilaku, sikap dan perbuatan penguasa kini tak ubahnya Firaun. Memang tidak ada tindak pemaksaan kepada pembela kebenaran untuk membunuh dirinya sendiri tapi cara dan sikap pemeritah secara psikis dan sistematis telah mengakibatkan banyak korban mati sia sia. Kalau bencana Tsunami terjadi sekali dalam 100 tahun dengan korban kematian diatas 100,000 orang namun ada kematian yang terus terjadi. Setiap enam jam ada 400 balita mati karena kurang gizi. Laporan dari SDKI , setiap 3 jam ada 1 kematian ibu melahirkan karena kurang gizi. Jumlah kematian lain yang tak terdeteksi bisa saja terjadi setiap hari pada 70 juta orang miskin yang berpenghasilan dbawah USD 2 dolar perhari. Malangnya nasip orang miskin di Indonesia, Pilihannya hanya tiga yaitu berhutang, mengurangi makan , bunuh diri. Ketiganya berujung kepada kematian...

Memang bencana kemanusiaan akibat penguasa buta hati lebih dahsyat dibandingkan bencana alam. Sementara 40 orang terkaya di Indonesia sama dengan penghasilan 60 juta rakyat Indonesia. Gap yang maha lebar ini membuat sesak dada dan geram para aktifis pejuang kemanusiaan. Mengapa sulit sekali mencapai cita cita keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Padahal sudah lebih setengah abad merdeka dengan berkah SDA tak ternilai. Mengapa ? Jawabannya hanya satu , yaitu KORUPSI. Itulah yang membuat lelah para aktifis dan akhirnya frustrasi. Sondang Hutagalung , putra seorang supir taksi, Ketua Bidang Organisasi Himpunan Aksi Mahasiswa Marhaenis Untuk Rakyat Indonesia (Hammurabi), kini telah tiada dan berharap menyadarkan semua pihak untuk nilai nilai kebenaran demi tegaknya keadilan bagi semua.

Akankah ini menyadarkan para elite politik negeri ini untuk membuka mata hatinya dan mulai berpikir bagaimana berkorban untuk membela orang miskin? Setidaknya mengorbankan nafsu korupsinya untuk hidup bersih sesuai yang diridhoi Allah. Akankah ? Entahlah.

No comments:

Negara puritan tidak bisa jadi negara maju.

  Anggaran dana Research and Development ( R&D) Indonesia tahun   2021 sebesar 2 miliar dollar AS, naik menjadi 8,2 miliar dollar AS (20...