Mari bermimpi sebentar kata teman saya. Mimpi tentang sebuah negeri yang berpihak kepada Usaha Kecil dan pemerintahnya berbulat hati mendukungnya. Ada ribuan bahkan jutaan usaha kecil yang tak paham management toko , yang tak punya akses ke barang, yang tak paham seni berpromosi, yang tak punya akses modal, mendadak mempunyai itu semua. Dapat dibayangkan apa yang terjadi dengan usaha kecil itu? Mereka langsung menjadi komunitas kelompok menengah karena bisnis mereka ditopang oleh kekuatan PDB yang 70 % memang berasal dari konsumsi demestik. Mereka menjadi kekuatan ekonomi riil nasional. Itu hanya mimpi kata teman saya. Pemerintah tidak peduli soal potensi Usaha Kecil. Namun tidak demikian bagi Djoko Susanto. Baginya mimpi itu bisa menjadi realitas. Dan dia memang berhasil menjadikan Alfamart, Alfamidi sebagai jaringan toko berbasis Usaha kecil tersebar diseluruh pelosok negeri.
PT Sumber Alfaria Trijaya atau populer dengan Alfamart , awalnya dirancang oleh group Sampoerna yang memang berpengalaman dibidang distribusi rokok. Ketika Group Sampoerna diambil alih oleh Philip Morris dengan total transaksi sebesar USD 5 milliar, Alfamart tidak dilihat sebagai sebuah potensi oleh Philip Morris. Makanya dijual kepada salah satu direksinya yaitu Djoko Susanto. Ditangan Djoko Susanto inilah Alfamart berkembang pesat hingga kini telah mempunya outlet sebanyak 5.500 diseluruh Indonesia. Jumlah ini akan terus bertambah seiring rencana target penjualan Alfamart meningkat setahunnya 15-20 %. Lantas bagaimana caranya Djoko Susanto menjadikan Alfamart tumbuh berkembang begitu pesatnya ? Sebetulnya ini hanyalah seni management ala kapitalis. Alfamart menyediakan system business lewat franchise ,dimana segala resiko dibebankan kepada pihak pengelola outlet.
Untuk lebih jelas saya gambarkan seperti ini. Tidak penting apakah anda punya skill atau pengalaman dalam dunia bisnis, anda akan langsung menjadi pengusaha outlet retail modern tanpa tersaingi oleh usaha sejenis disekitar anda, asalkan anda punya uang. Untuk itu tidak diperlukan modal besar bermiliar. Modal investasi yang diperlukan tidak lebih dari Rp. 500 juta ( tidak termasuk pengadaan outlet ) ditambah pemyediaan cash mangement Alfamart dalam bentuk cash deposit payment atas pembelian barang sesuai dengan jumlah rak. Katakanlah apabila outlet anda mempunyai 54 rak maka cash deposit Rp. 380 juta. Selanjutnya anda akan mendapatkan jaminan harga barang yang murah karena Alfamart punya akses langsung kepabrikan, juga mendapatkan pelatihan management retail ,tergabung dalam promosi Alfamart. Anda tinggal mengikuti SOP yang ditetapkan oleh pihak Alfamart. seperti penetapan harga jual, komputerisasi cashier dll maka laba akan mengalir kedalam kantong anda, untuk itulah anda harus membayar franchise fee kepada management alfamart.
Fee franchise yang ditetapkan oleh AlfaMart tidaklah besar dan keliatannya sangat adil. Artinya apabila penjualan anda dibawah target yang ditetapkan maka anda tidak perlu bayar fee. Tapi kalau diatas target maka anda harus bayar fee yang maksimum 3 %. Sampai disini orang awam melihat bahwa ALfamart hanyalah bisnis franchise yang sumber pendapatanya dari fee. Tetapi anda lupa satu hal. ALfamart dirancang sebetulnya tidak bisnis franchise fee tetapi dirancang sebagai bisnis cash flow. Franchise hanyalah tool untuk melancarkan strategi utama perusahaan dalam bisnis cash flow. Apa yang dimaksud dengan bisnis cash flow? Mereka membeli barang dari pabrik dengan pembayaran dibelakang ,katanlah 3 bulan sementara mereka mendapatkan pembayaran tunai ( cash deposit ) didepan / prepaid cash dari pengelola outlet.
Kalau kini ada 5500 outlet dengan minimum prepaid cash sebesar rata rata Rp. 300 juta per out let maka total deposit cash yang dikelola oleh management ALfamart adalah Rp. 1.650.000.000.000 atau Rp. 1,64 triliun. Ini dengan asumsi penjualan minimum dan tentu akan meningkat cash deposit itu tergantung dengan volume penjualan dari pengelola outlet. Selagi outlet Alfamart terus exist dan berkembang, dana ini akan terus bertambah dan terus mengendap dalam rekening Management Alfamart. Kita bisa bayangkan apa yang bisa dilakukan oleh perusahaan yang mengelola dana free yang begitu besarnya. Yang pasti berlaku hukum bahwa money is the king. Tentu management Alfamart sudah punya strategy bagaimana me leverage dana lewat pasar uang yang aman. Keuntungan dari strategy ini tak terbilang. Makanya jangan kaget bila majalah Forbes menjadikan Djoko Susanto masuk rangking 25 orang terkaya di Indonesia, bahkan mengalahkan keluarga Bakrie.
Dari keberadaan jaringan retail Alfamart, Alfamidi, Lawson dibawah management PT Sumber Alfaria Trijaya, kita melihat bagaimana kehebatan system management dan kekuatan akses kepada barang ( Pabrikan ) bisa mengontrol barisan pemodal kecil dalam jumlah ribuan dan mendatangkan laba tak terbilang tanpa resiko apapun. Kehebatan bisnis ini juga telah membuat banyak bank terlibat membiayai cash flow dari pengelola outlet untuk semakin meningkatkan turnover penjualan ALfamart dan sekaligus semakin menggelembungkan bisnis ini secara keseluruhan. Disisi lain keberadaan jaringan retail modern ini telah menciptakan kuburan masal bagi pedagang kecil kelas rumahan diseluruh pelosok negeri yang tak mampu bersaing. Komunitas Usaha Kecil yang lemah , yang tidak qualified masuk dalam jaringan outlet Alfamart hanya bisa bermimpi pemerintah peduli pada mereka. Ya, hanya bisa bermimpi menjelang ajal menjemput.
2 comments:
Apa dengan cara melarang swasta (atau swasta tertentu) masuk ke sektor produksi bisa menjadi solusi..? Atau sektor produksi dijalankan oleh BUMN..?
Apa melarang swasta (atau swasta tertentu) masuk ke sektor produksi, spt di Amerika, bisa menjadi solusi..?
Post a Comment