Wednesday, December 22, 2010

Tim Nasional

Putra saya nampak sibuk untuk mendapatkan ticket pertandingan sepakbola. Di stadion Senayan, saya lihat di televisi para penggemar sepakbola dengan sabar mengantri untuk mendapatkan ticket pertandingan. Yang tidak kebagian ticket, tetap senang menonton lewat tayangan telivisi layar lebar di halaman stadion. Atribut pakaian dan aksesoris yang mereka gunakan melambangkan kebanggaan terhadap TimNas yang berlaga dibawah logo Garuda. SBY dan para jajaran pajabat tinggi tak ketinggalan hadir memberikan dukungan kepada TimNas. Suara gegap gempita membahana di Senayan ketika TimNas berhasil mencetak Gol kegawang lawan. Sepak Bola mempersatukan kita. Membangkitkan nasionalisme kita. Demikian yang dapat kita simpulkan dari kejuaraan FAA Suzuki 2010.

Pada tahun 1974 , Rinus Michels yang dikenal sebagai pelatih Tim Belanda pernarh berkata ” Football Is war ” Sepak bola adalah perang. Padat tahun 1969, Emosi nasionalisme pada sepak bola pernah sampai menimbulkan complik milter antara Honduras dan El Salvador. Walau berkali kali kita diingatkan bahwa ajang kompetisi dunia olah raga adalah wahana menciptakan persaudaran dunia untuk perdamaian namun sulit didapatkan pembenaran bila kenyataanya olahraga merepliksikan nostalgia perang. Semua ongkos untuk tampil lebih hebat dan unggul dalam pertarungan dunia dilapangan hijau tidak lagi diperhitungkan karena Football is war. Ini masalah kepentingan nasional dan tidak ada yang lebih bernilai kecuali menjadi pemenang.

Kita sering mendengar orang Malaysia menyebut bangsa Indonesia itu dengan sebutan Indon atau babu. Karena penduduk second class di malaysia adalah para babu dari Indoensia. Kita juga berkali kali marah kepada Malaysia karena ulahnya melecehkan batas teritorial Indonesia. Darah nasionalime kita menggelegak ketika Malaysia dengan semaunya meng claim lagu daerah, masakan, pakaian lewat Paten International. Kita tidak bisa berbuat banyak untuk melawan Malaysia, Perang senjata adalah tidak mungkin. Makanya ketika Tim Nas kita berhasil mengalahkan TimNas Malaysia 5-1, rasanya semua kekesalan dan perasaan dilecehkan oleh Malaysia selama ini terbayar tunai. Diajang pertarungan sepak bola , di ajang Football is war, kita berhasil membuktikan bahwa bangsa kita lebih baik dibandingkan Malaysia.

Dibalik banyak catatan keributan antar supporter pertandingan liga nasional yang menggambarkan kebanggaan suku, dibalik banyak peristiwa perang antara golongan masyarakat, antar suku, antar ormas agama, di stadion Senayan semua lebur menjadi satu ” Merah Putih”. Semua bicara tentang tim Garuda yang melambangkan keaneka ragaman an suku namun satu yaitu Indonesia. Kita boleh bertikai antara kita tapi bila berhadapan dengan dunia luar kita cepat sekali merapatkan barisan untuk satu tujuan, membela tanah air tercinta. Semangat nasionalisme ini ternyata tidak pernah padam. Ya, Olah raga sepak bola memang ampuh membangkitkan darah patriotisme dan semangat cinta bangsa. Ampuh untuk kita sejenak melupakan mega scandal yang membuat bangsa ini tidak pernah memenangkan pertempuran sejati untuk dihormati di mata International sebagai negara bersih dari korupsi.

Namun dibalik kecintaan akan lambang negara yang diusung oleh TimNas, kita lupa akan satu hal, bahwa naturalisasi pemain sebagai bagian dari globalisasi kita terima dengan tangan terbuka. Kita tidak peduli darah asal atau suku dari pemain itu. Tidak penting wajahnya mirip dengan orang merah yang pernah menjajah kita. Passport RI sudah melegitimasi orang untuk diakui sebagai bangsa Indonesia. Kita cukup senang sebagai penonton dan penggembira dari sebuah jargon nasionalisme. Setelah itu , didunia lain , diarena lain , kita pun harus menerima dengan tangan terbuka bila perusahaan Asing bertaburan menguras hasil bumi kita karena pada NPWP nya terdapat nama Republi Indonesia. Kita cukuplah sebagai penonton dan sedikit berbangga masuk "Liga" negara yang tergabung dalam G20 dengan GNP terbesar nomor 17 di dunia walau sebagian besar GNP itu berasal dari orang asing yang dilegitimasi oleh RI.

No comments:

Masa depan IKN?

  Jokowi mengatakan bahwa IKN itu kehendak rakyat, bukan dirinya saja. Rakyat yang dimaksud adalah DPR sebagai wakil rakyat. Padahal itu ini...