Friday, September 4, 2009

Bantuan atau jebakan ?

“ Kamu yang berbuat , aku bertanggung jawab..on nasip oh nasip, beginilah jadinya..”Ini sepenggal lagu dangdut Rhoma Irama. Penggalan lagu ini yang kini dirasakan China. Setelah melalui 4 kali putara perundingan G20, akhirnya setuju untuk memberikan bantuan dana kepada IMF dalam rangka mengatasi crisis global. Bantuan ini diberikan China melalui pembelian 32 miliar SDR (Special Drawing Rights) atau setara dengan USD 50 miliar. Inilah kali pertama dalam sejarah dimana IMF harus berhutang mendapat dana membantu anggotanya. Amerika yang bikin ulah crisis global tapi China yang harus membantu. Hebat , kan.

Hampir semua negara yagn terkena dampak dari crisis global mendapatkan kucuran bantuan berupa SDR tersebut. Indonesia memperoleh SDR 1,74 miliar atau setara 2,7 miliar dollar AS. SDR (Special Drawing Rights) adalah sebuah kepemilikan aset IMF berdasarkan pada sekeranjang mata uang internasional - dollar AS, yen, euro, dan pound - yang dihitung setiap hari dan para anggotanya dapat mengkonversi ke mata uang lainnya. Dengan demikian maka semakin kukuhlah internationalisasi mata uang. Padahak Global financial crisis karena efek dari internationalisasi mata uang. Tapi ini tidak dilihat sebagai dasar melahirkan sebuah solusi. Justru memperbesar cakupan dan keharusan bagi seluruh negara mengikuti internationalisasi mata uang ini.

Sebagai contoh devisa dollar kita mencapai record tertinggi sepanjang sejarah tapi rupiah masih tetap lemah dan tidak ada pengaruh significant dipasar. Lantas apa arti fundamental ekonomi yang begitu hebat kalau kenyataanya tidak ada pengaruh terhadap kekuatan kurs ? Keadaan ini merupakan pola berpikir tentang stabilitas ekonomi namun lebih memikirkan stabilitas negara pemodal. Betapa tidak? Semua menyadari bahwa kebijakan yang paling berperan dalam menentukan stabilitas kurs adalah kebijakan moneter bukan kebijakan fiskal. Contoh , kebijakan fiskal yang mengurangi subsidi , justru membuat rupiah terdepresiasi akibat inflation effect. Akibatnya harga barang impor menjadi relative lebih murah dibandingkan dengan barang domestik. Tentu hal ini akan terjadi dorongan ( free market effect ) import untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Rupiah akan semakin tertekan untuk membayar barang import tersebut.

Skenario program bantuan akibat crisis lewat SDR hanyalah kesepakatan antara China yang deplasi dan Barat yang inflasi. China membutukan pasar international untuk kelebihan produksi dan dunia butuh dana untuk membelinya. Keadaan ini akan semakin meminggirkan daya saing dalam negeri terhadap asing , terutama bagi negara diluar NIC. Harusnya ini disadari oleh pemerintah kita untuk keluar dari internatisionalisasi mata uang agar stabilitas mata uang tidak masuk dalam grey area yang mudah di permainkan oleh pasar. Karena Internasionalisasi rupiah ini dapat mengurangi kemampuan otoritas moneter dalam mengendalikan uang yang beredar, misalnya pemilikan rupiah oleh non residen selain digunakan untuk transaksi kegiatan ekonomi bisa pula digunakan untuk transaksi spekulatif yang bisa memberikan tekanan pada nilai rupiah yang pada gilirannya berpengaruh pada variabilitas nilai tukar rupiah.

Dibeberapa negara seperti Singapura, Malaysia, Thailand dan China, Chili, Venezuela, Argentina, Brazil berupaya membatasi internasionalisasi mata uang domestiknya. Diataranya melalui 1) Ketentuan yang membatasi jumlah mata uang domestik yang dapat di bawa ke luar negeri, 2) Ketentuan membatasi atau melarang pemberian “kredit” dalam mata uang domestik baik dari residen kepada non residen. 3) Ketentuan yang mengatur sumber penggunaan dana rekening mata uang domestik milik non residen 4) ketentuan yang mewajibkan penerimaan ekspor dalam valas dan pembayaran impor dalam valas, 4) ketentuan yang mengatur keterlibatan non residen dalam transaksi modal dalam negeri dan 5) Ketentuan yang membatasi transaksi mata uang domestik di luar negeri.

Hal-hal tersebut mendesak dilakukan dalam bentuk UU agar jangan sampai kita baru menyadari setelah seluruh kekuatan daya saing kita sudah hancur karena semua industri dan petani tak mampu lagi berproduksi karena kalah bersaing dengan barang import. Kalau sampai ini terjadi maka chaos economic akan lebih parah dibandingkan tahun 1998. Kalau crisis 1998 melahirkan reformasi maka ini akan melahirkan revolusi perang kelas antara komunitas pedagang ( berjuis/kapitalis ) yang semakin kaya dengan buruh , tani yang kehilangan akses berpoduksi karena kalah bersaing.

No comments:

Menyikapi keputusan MK...

  Pasar bersikap bukan soal kemenangan prabowo -gibran. Tetapi bersikap atas proses keputusan yang dibuat oleh MK. Pasar itu jelas cerdas, l...