Tuesday, October 7, 2008

Yang tersirat...

Dalam rapat Kabinet yang dipimpin oleh President, keputusan diambil sebagai langkah strategis dan taktis untuk menyikapi krisis yang terjadi di AS. Ada sepuluh langkah yang diambil namun yang sangat menarik adalah sebagian besar langkah tersebut ditujukan untuk mengamankan likuiditas APBN. Maklum saja , APBN terancam oleh dipisit yang besar dan selama ini diamankan oleh utang luar negeri lewat penerbitan Global Bond. Disamping itu yang lebih tegas lagi adalah mengamankan posisi devisa. Karena dorongan belanja luar negeri yang didominasi bayar bunga dan hutang yang selama ini didapat dari hutang baru , akan menguras devisa. Belum lagi terjadinya redemption cadangan devisa akibat tingginya deficit anggaran AS.

Yang agak terkesan sangat ideal adalah optimalisasi APBN. Darimana sumber dana yang bisa digunakan untuk pembangunan insfrastruktur, ketersediaan listrik dan alokasi penanganan kemiskinan bila 70% APBN habis untuk belanja rutin. Darimana ? Ditambah lagi keterbatas resource APBN menutupi difisit. Seharusnya langkah ini diikuti oleh penjadwalan hutang luar negeri dan rasionalisasi penguasaan natural resource MIGAS. Agar alokasi anggaran tersebut dapat disalurkan lebih optimal untuk pendukung program sosial APBN dibidang pendidikan, kesehatan, perumahan, subsidi, insentif sektor pertanian dan perikanan. Tapi, OK lah, setidaknya ada kemauan dan mengetahui tujuannya walau tak jelas berbuat.

Apa yang bisa diperbuat oleh dunia usaha dalam negeri untuk diversifikasi pasar eksport akibat lesunya pasar AS ? Semua tahu sebelum krisis AS, pasar didominasi oleh Jepang, Korea, China , India, dan Taiwan. Bahkan mereka sudah mempunyai basis pasar yang kuat. Sebagian dari pemain dari negara tersebut bahkan sudah mempunyai kantor perwakilan untuk memasarkan produknya. Apakah kita terlatih untuk kerja efisien hingga mampu bersaing dengan negara negara yang sudah terlatih menghadapi persaingan dan mempunyai insfrastruktur pemasaran yang kuat. Harusnya yang dilakukan sekarang adalah lebih kepada panetrasi pasar dalam negeri.Saatnya pemerintah melakukan terobosan regulasi untuk melindungi dunia usaha dalam negeri. Lupakan soal WTO dan lain sebagainya. Amankan pasar dalam negeri melalui tarif import atas barang yang sudah diproduksi didalam negeri dan memberikan insentif tinggi kepada Industri yang menggunakan local content tinggi (Pertanian,perikanan, kehutangan , pertambangan). Seharusnya, langkah ini dilakukan sejak awal reformasi. Kini , walau terlambat timbulnya kesadaran namun setidaknya ada kemauan ,political will.

Langkah berikutnya yang diambil adalah BI dan lembaga perbankan diminta untuk membangun system agar kredit dapat mendorong sector riel. Hal ini akan sulit. Pada waktu likuiditas berlebih, sector riel tetap menjadi second class untuk diperhatikan, Karena otoritas moneter lebih focus kepada keamanan moneter dan fiscal. Dengan likuiditas ketat sekarang , apa yang bisa diperbuat oleh perbankan. Selagi pembatasan LLL, CAR masih menjadi acuan tingkat kesehatan bank maka selama itu pula sector riel tidak akan mendapatkan access pendanaan yang flexible. Cara lain yang mungkin adalah mempercepat revitalisasi venture capital dan pemberdayaan LKBB sebagai alternative sumber pendanaan. Saatnya UU Penanaman Modal di revisi agar insentif tersebut hanya dinikmati oleh pemain lokal. Jangan pernah percaya lagi sama asing. Sudah cukup kita selama ini hanya dibodohi. Tapi bagaimanapun, kesadaran akan pentingnya sector riel adalah langkah awal yang baik untuk lebif focus membangun fundamental ekonomi nasional.

Yang sangat menarik dan membuat kita terharu adalah pernyatan President kepada semua pejabat untuk sadar bahwa masalah yang dihadapi tidak sederhana ( Remeh). Maklum saja sudah menjadi tabiat pejabat yang suka meremehkan persoalan. Begitu banyak masalah negara ini seperti kasus Lapindo ,banjirnya produk import dan jaringan waralaba asing dan lain sebagainya , yang kesemuannya mengancam kedaulantan rakyat mendapatkan akses keadilan ekonomi , namun dihadapi dengan remeh, Hal ini dipetegas lagi oleh imbauan president agar semua pihak tidak berpikir partisan dan mengutamakan kebersamaan untuk kepentingan nasional.

Apa yang tersurat dalam
10 langkah yang diambil president untuk mengantisispasi krisis yang terjadi di AS, sebetulnya kita lebih melihat apa yang tersirat. Inilah yang penting untuk diperhatikan. Sepuluh langkah tersebut menuntut adanya satu revolusi kebudayaan dari semua element masyarakat. Dulu insentif dan subsidi dilarang keras karena anti pasar bebas tapi kini mulai digunakan karena bapak kapitalis tak berdaya lagi untuk mengawasi pasar. Kini kita sadar , bahwa bangsa ini terlalu besar untuk terus bergantung dari kekuatan asing untuk mencapai kemakmuran. Sudah saatnya sikap budaya kebersamaan dan gotong royong dihidupkan kembali. Krisis di AS pelajaran berharga dan semoga menjadi titik balik bagi kebangkitan Indonesia yang harus percaya kepada kekuatan local untuk menjadi bangsa yang terhormat. Kita merindukan pejabat kita atau pemimpin kita berkata " Its time to say : goodbye neoliberalism " but we neve hear about it.

2 comments:

Anonymous said...

Boleh tanya bang?? apakah kris AS pada masa mendatang akan berpengaruh terhadap perekonomian indonesia??? Salam kenal,,Mas sudah saya link,,Link back yach??

Erizeli Bandaro said...

Fataya,
Tentulah ada pengaruh dengan perekonomian Indonesia. Karena semua sumber menutupi difisit anggaran didapat dalam luar negeri. Nah kalau pasar uang dunia jatuh , ya darimana kita dapat sumbernya.? ya mungkin terpaksa pemerintah akan mengurangi pos pengeluaran dengan menghapus subsidi lagi..

Cara China mengelola BUMN.

  Tahun 80an China melakukan reformasi ekonomi. Tantangan yang dihadapi China adalah terbatasnya sumber daya manusia yang terpelajar. Anggar...