Wednesday, October 29, 2008

Borok

Pada tahun 1998 , Indover terlilit masalah kredit macet namun BI memberikan program penyelamatan melalui penempatan dana dalam bentuk Deposito sebesar USD 800 juta. Tahun 1999, kembali Bank ini membukukan kerugian sebesar US$ 272,1 juta. Dan menurut laporan dari BI ditahun 2000, bank ini mencatatkan keuntungan 4,2 juta euro. Tahun 2001, keuntungannya membengkak jadi 18,9 juta euro. Angka itu menyusut menjadi 11,9 juta euro pada 2002. Tapi ditahun 2003, Indover BV, melakukan write off sebesar 385,27 Juta US dollar.. Dengan cara mengalihkan ke Indo Plus BV yang telah efektif per tanggal 23 November 2003. Masalah ini tidak pernah dibuka oleh DPR menjadi pansus atau oleh pihak aparat hukum. Ditambah lagi dalam setiap laporan tahunan BI ,tidak pernah mencantumkan Indover dalam neracanya padahal sebagai anak perusahaan maka indover harus tertuang dalam neraca konsolidasi BI.

Hebatnya berkali kali bank Indover yang berada di Belanda ini terkena masalah selalu ditutupi dan diselamatkan. Sesuai dengan amanat UU dimana divestasi harus dilakukan oleh BI paling lambat tahun 2009 rampung tapi berkali berkali negosiasi untuk pelepasan Indover tidak pernah berhasil dicapai. Bahkan sampai melibatkan Bank Mandiri, BNI sebagai calon pembeli dan akhirnya sebagai lender untuk menyehatkan bank ini. Dan sampai pada akhirnya keluar keputusan dari De Nederlandsche Bank atau bank sentral Belanda untuk membekukan bank ini. Pemerintah Belanda bertanggung jawab untuk menanggung dana deposan retail tapi tidak untuk deposan corporate. Bagaimana dengan nasip deposito BI, BNI dan Bank Mandiri serta lainnya???

Dari sejarahnya Indover memang sarat dengan kolusi kepentingan. Gagalnya perundingan divestasi indover lebih dikarenakan adanya borok besar yang tak bisa ditutupi oleh calon pembeli. Yang dapat dipastikan adalah semua calon pembeli tidak ingin BI menarik depositonya dari bank itu sebelum bank itu sehat terutama akibat dari adanya write off sebesar USD 385,27 juta. Ditambah lagi ada “pejabat “ BI yang menggunakan Indover sebagai vehicle dalam transaksi forfeiting. Fakta sampai di bekukannya Indover oleh authoritas Belanda lebih disebabkan oleh kredit antar bank. Hampir 60% dana indover disalurkan pada kredit ini dan sisanya kepada retail. Dengan terjadinya global crisis maka semua commitment hancur.

Dari kasus Indover ini kita dapat melihat satu fakta lagi bahwa pejabat otoritas dibidang moneter memang tidak qualified. Yang sebelumnya sudah terbongkar skandal suap Dana Pensiunan BI untuk menyelesaikan RUU perbankan dan Kasus skandal anggota dewan komisi IX soal pemilihan calon deputi gubernur bank centeral. Dibidang Bendahara Negara ( Depkeu) tak jauh bedanya. Bayangkan, dulu begitu bangganya cerita tetang ketangguhan ekonomi Indonesia untuk menarik kepercayaan investor institusi membeli global bond kita dipasar uang international. Tapi nyatanya kini terbukti ditengah krisis global, hanya negeri ini yang mempunyai nilai yield tinggi (20%) dan harga terendah ( 50 %). Misalnya saja, Bond Malaysia bertenor sepuluh tahun, dihargai 101 dengan yield sebesar 4,11%. Sementara bond Singapura ditransaksikan 109 dengan yield yang diberikan hanya 2,9%. Filipina, harga bond-nya 92,79 dengan yield 8,9%. Ini membuktikan managemen keuangan negara kita memang amburadul. Itulah penilaian pasar.

Situasi rupiah yang semakin melemah dan kini BI disarankan untuk mengontrol devisa terbatas. Lantas bagaimana dengan UU BI mengenai transfer dana tanpa underlying yang sudah disyahkan oleh DPR ? dan situasi pasar modal yang belum bergairah walau sebagian pasar modal regional sudah bangkit , apakah dibenarkan oleh UU perbendaharaan negara untuk mem buy back saham yang jatuh ? Bila harga minyak tinggi maka APBN difisit tanpa pengurangan subsidi tapi ketika harga minyak jatuh BBM belum tentu akan turun. Negara lain berlomba menurunkan suku bunga untuk mengatasi krisis , BI malah menaikkan suku bunga. Pinjaman multilateral dan bilateral yang sudah diharamkan oleh UU kini kembali dilirik untuk dikejar tapi pintu sudah terlanjur tertutup karena likuiditas mongering dipasar uang global. Banyak lagi kebijakan masala lalu diera reformasi didesign tidak dengan perencanaan matang dan sarat dengan kepentingan situasional dan tidak spectrum jauh kedepan.

Jadi bila selama ini Pejabat otoritas dibidang fiscal dan monter bicara tentang fundamental ekonomi yang stabil maka itu tak lebih hanyalah ilusi. Sekedar berharap agar pasar bereaksi positip seperti sebelumnya hingga pemerintah mendapatkan sumber untuk menjaga cash flow nya. Tapi hukum pasar yang selama ini dijadikan pijakan untuk meningkatkan rating pemerintah dihadapan public maka kini hukum pasar pula yang bekerja menjatuhkan rating pemerintah. Suatu pembelajaran bahwa management illusi itu tidak pernah membumi. Kecurangan demi kecurangan pada akhirnya akan terungkap juga. Yang sangat menyedihkan adalah ketidak becusan pengelolaan moneter dan fiscal negara kita justru terjadi ditengah independesi BI dan Depkeu ( UU Perbendaharaan negara ), dimana hak pengawas berada langsung dibawah DPR. Lantas , apakah aparat Hukum berani menindak kejahatan systematis ini yang melibatkan legislative dan executive ?

No comments:

ERA Jokowi, dari 16 target yang tercapai hanya 2

  Realisasi kuartal III-2024, ekonomi nasional tumbuh 4,95%. Konsumsi rumah tangga sebagai pemberi andil terbesar hanya mampu tumbuh 4,91%. ...