Kalau saya beli buku, yang pertama saya baca adalah kata pengantar dan pendahuluan. Saya ingin tahu mengapa penulis menulis. Itu dari kata pengantar. Dari kata pendahuluan saya bisa tahu, apakah buku itu ditulis atas dasar pengalaman, riset atau hipotesis. Kalau tertarik saya beli buku. Waktu saya membaca, saya menempatkan diri saya kedalam penulis.
Namun usai menamatkan buku yang dibaca , saya akan membuat essay terhadap pemikiran penulis. Dalam essay itu saya mulai melakukan argument terhadap persepsi saya dan persepsi penulis. Biasanya saya bisa membuat kesimpulan. Tidak selalu sama dengan apa kata penulis. Tidak juga sesuai dengan persepsi saya sebelumnya. Setelah itu walau saya tidak hapal detail buku, namun esensi buku saya kuasai.
Kadang Buku laris bukan karena esensinya tetapi karena judulnya. Dan jarang bisa tamat bacanya. Kalau bacanya sampai tamat, seperti buku romance, yang dipahami hanya tokohnya. Tetapi tidak paham esensi dari cerita. Kabanyakan orang mudah Lelah membaca dan bosan kalau tema buku yang dibacanya tidak sesuai pengetahuan yang dia geluti. Ekonom males baca buku fisika. Model pembaca seperti ini tidak akan memperkaya literasi. Hanya menumpang tawa ditempat ramai. Jadi laron di tangah kemajuan sains.
Karena literasi cukup, saya bisa baca laporan direksi dengan cepat.. Saya tidak akan terjebak dengan argumen dia. Saya focus kepada data dan informasi. Mengapa? Saya bayar direksi bukan untuk berpikir dengan persepsi dia tetapi melaksanakan visi saya. Itu sebabnya dalam rapat, saya cepat sekali hentikan kalau direksi terlalu banyak retorika. Sehingga dengan sikap itu saya lead mereka agar focus kepada ensansi dan solve prroblem.
Walau saya membaca banyak buku beragam disiplin ilmu, saya tidak mau jadi follower. Saya harus lead diri saya sendiri agar tidak jadi korban pemikiran orang. Mengapa ? saya mahluk spiritual. Persepsi saya harus berlandaskan kepada keimanan kepada Tuhan yang Maha Tahu segala galanya. Artinya saya tidak mau jadi kerumunan. Biarlah saya berjalan dalam sepi kalau itu adalah jalan Tuhan. Apakah karena itu orang suka atau tidak suka. Tidak penting bagi saya.
***
“ Ale, kenapa lue bisa pahami hal rumit menjadi sederhana. “ Kata Florence. Dia tanya itu karena tahu saya hanya tamat SMA. Saya jawab, itu karena literasi. Saya tidak pernah masuk universitas, tetapi saya dididik orang tua saya haus akan ilmu. Dari sanalah kekayaan literasi saya tabung tahun demi tahun lewat membaca, menulis, seminar, kursus dan tentu pergaulan dengan banyak orang dari berbagai bidang.
Makanya usia 21 tahun saya berani business trip ke China. Kalau saya miskin literasi mana mungkin saya punya nyali ke LN. Apalagi tahun 80an Indonesia masih belum ada hubungan diplomatik dengan China. Saya perlu exit permit untuk bisa ke China. Teman provokasi saya “ awas loh. China itu komunis. Bisa masuk engga bisa keluar. “ Ada lagi yang katakan. “ China itu jahat.
Tahun 2000an, tahun awal saya berbisnis di China dan dalam kondisi terpuruk. Teman teman dekat saya di Indonesia memprovokasi saya” Kan udah gua bilang, China itu jahat dan tukang tipu” Berkat kaya literasi, saya tidak terbenam dalam paranoia itu. Saya tetap melangkah dengan keyakinan saya. Dan terbukti saya bisa lewati bisnis maklon. Sehingga saya punya modal besar untuk membangun investment holding.
Kekayaan literasi bisa membuat kita berpikir jenih dalam memahami fenomena. Sains berkata, untuk menghubungkan antar wilayah secara efisien, bagi Negara continental yang dibangun jalur kereta. Untuk negara kepulauan, ya angkutan kapal. Itu disebut infrastruktur publik atau Public Service Obligation (PSO). World bank memperkenalkan PPP ( Public Private Partnership ). Kita langsung anggap itu sebagai solusi mengatasi keterbatasan anggaran membiayai jalan interconnection wilayah.
Padahal program PPP itu adalah business model : Interconnection Kawasan Ekonomi Khusus dengan pusat logistic yang berasal dari investasi swasta. Artinya jalan tol itu jalan alternatif yang di-design terintegrasi dengan program pusat pertumbuhan ekonomi baru. Bisnis nya bukan dari tarif jalan toll tetapi dari peningkatan value Kawasan khusus. Sementara dikita bisnis tol hidup dari tarif, yang justru membuat ekonomi nasional tidak efisien. Makanya ruas jalan tol yang tidak ada pusat ekonomi baru, semua merugi.
Mengapa ? lagi lagi jawabannya karena persepsi yang salah akibat kemampuan literasi yang rendah. Tidak bisa membedakan mana PPP dan mana Public Service Obligation (PSO). Dampaknya sangat luas terutama meningkatnya ICOR. Walau para birokrat dan elite berpendidikan tinggi namun system pendidikan kita tidak mendidik orang gemar membaca memperkaya literasi. Orang dengan miskin literasi tidak bisa open minded dan tidak mampu berdialektika. Ya karena wasasan rendah.
Sementara rakyat Indonesia sebagian besar memang IQ nya rendah, yang berkorelasi dengan miskin literasi. Di dunia kita masuk ranking 95 daftar negara dengan IQ tertinggi. Tingkat literasi kita rendah dibandingkan dengan China yang mencapai 96%, dan Iran sekitar 87%. Kedua negara ini masuk 10 besar negara dengan IQ tertinggi. Padahal kedua negara itu mengharamkan Facebook dan Youtube.
Data Badan Pusat Statistik pada Agustus 2024 menunjukkan lebih separuh atau 52,73% pekerja aktif di dalam negeri memiliki pendidikan hanya sekolah menengah pertama atau SMP. Dari angka itu, lulusan sekolah dasar mendominasi pasar kerja dengan persentase sebesar 23,83% atau 34,47 juta orang. Nah bayangkan, walau populasi kita nomor 4 terbanyak di dunia tetapi bukan asset yang bisa menggerakan mesin ekonomi berdaya saing global. Justru mereka liabilities bagi negara.
Makanya engga aneh kalau mereka berkata" ah siapapun yang berkuasa sama saja. “ itu contoh factual miskin literasi. Seperti itu banyak. Mereka engga punya kekayaan literasi untuk memhami bahwa pemimpin qualified diukur dari kompetensi dalam hal ide gagasan. Kecerdasan spiritual dan intelektual. Sangat ngenes bila memikirkan 80 tahun indonesia merdeka sebagian besar rakyat masih miskin literasi dan jadi korban politik populis akibat tidak cerdas memilih pemimpin