Pada bulan Juni, Marcap Nvidia mencapai US$3 triliun. Udah setara dengan gabungan Apple dan Microsoft. Pada pertengahan Juli, S&P 500, Nasdaq Composite, dan Nikkei telah naik ke titik tertinggi sepanjang masa. Pergerakan saham terutama saham teknologi terus naik value marcap nya. Keadaan ini karena didukung oleh Data fundamental ekonomi dimana trend pengendalian inflasi oleh bank central dinilai efektif, pertumbuhan ekonomi yang positif dan tumbuhnya industri baru di bidang AI.
Namun masuk agustus, confident market itu terusik. Apa pasal? Laporan kinerja ekonomi AS suram. Terjadi pelemahan pasar tenaga kerja di sektor manufaktur dan konstruksi. Apa artinya? Sebegitu besar investor mendorong harga bursa ke tingkat tertinggi, ternyata tidak mendorong perbaikan ekonomi AS. Investasi besar besaran pada AI tidak menghasilkan laba signifikan yang bisa memicu terjadinya ekspansi. investor mulai berhitung ulang. Ternyata Nvidia dan saham Big Tech lainnya dianggap terlalu mahal. Aksi koreksi pasar terjadi dengan cepat.
Pada hari Jumat (waktu AS), indeks Nasdaq mengalami koreksi, yaitu penurunan 10% dari titik tertingginya. Pada hari Senin, indeks Nikkei anjlok lebih dari 12%, penurunan terburuk sejak 1987. Pada tengah hari di AS, indeks S&P 500 turun 2,2% dan indeks Dow Jones Industrial Average turun 2%. Harga minyak dan komoditas lainnya turun karena kekhawatiran ekonomi lesu akan mendorong belanja energi berkurang. Dalam situasi panik itu, pemain bursa berharap the Fed menurunkan suku bunganya pada bulan September tahun ini. Namun sebenarnya kalau anda bermain di bursa. Semua tahulah. Sebagian besar likuiditas pasar modal itu karena adanya short selling. Apa itu short selling?. Saya analogikan sederhana saja.
Anda sebagai trader. Yakin bahwa saham PT. ABC, saat ini diperdagangkan pada harga Rp. 1000, akan turun harganya dalam tiga bulan ke depan. Anda meminjam 100 saham PT ABC dan menjualnya kepada investor lain. Anda sekarang "short" 100 saham karena anda menjual sesuatu yang tidak anda miliki tetapi pinjam. Sebulan kemudian, PT. ABC melaporkan kinerja kuartalan yang suram, dan sahamnya turun menjadi Rp. 800. Anda menutup posisi short selling dan membeli 100 saham seharga Rp. 800 di bursa untuk mengganti saham yang dipinjam. Anda untung Rp. 200/saham.
Hebat kan. Bisa jadi investor tanpa keluar modal 100%. Hanya main skema saja. Tentu laba itu gross, tidak termasuk komisi dan bunga pada akun margin. Tetapi kalau ceritanya harga saham naik, ya anda kena margin call. Syarat untuk bisa berdagang short selling, minimum saldo pada akun margin sebesar 25% dari nilai hutang atau LTV 75%. Kalau saldo berkurang anda harus TOPUP! Kalau nggak, akun dilikuidasi. Ya walau ada hitungan yang rumit menentukan harga short selling. Namun bagaimanapun itu tetap spekulasi.
Kembali kepada kejatuhan bursa. Aksi jual besar besar pada saham blue chip karena trader udah terlalu besar menanggung rugi lewat skema short selling. Ini pertaruhan besar antar bandar yang dongkrak harga dan yang turunkan harga. Dalam kondisi likuiditas murah, tidak ada masalah. Tetapi disaat likuiditas ketat dan mahal, suku bunga acuan naik, bunga short selling juga naik , bahkan lebih tinggi dari bunga acuan. Dan nggak tahu kapan suku bunga akan turun. Ya mending likuidasi aja. Cut loss. Maka terjadilah aksi jual dan harga pun terkoreksi.
Apa yang bisa dipahami dengan fenomena pasar? Pertama. Pihak yang optimis ekonomi akan booming. Para pedagang berusaha membeli saham high tech yang punya prospek masa depan dan punya daya leverage tinggi. Mereka belajar dari suksesnya Warren Buffet memegang saham Apple dan Microsoft. Beli disaat awal dan menjualnya kemudian dengan harga berlipat. Tetapi yang berpikir optimis lebih banyak daripada yang pesimis. Akibatnya harga jadi bubble. Maka yang optimis jadi pecundang.
Kedua, pihak yang memanfaatkan antusias market. Saat lebih banyak yang beli karena optimis, ya mereka goreng terus lewat putaran transaksi jangka pendek. Volatile market terjadi terus menerus. Mereka dapat cuan dari premium CDS, bunga short selling dan tentu profit dari pergerakan harga. Makanya mereka terus tiupkan harapan suku bunga akan turun. Lucunya spekulasi kemungkinan suku bunga turun menjadi pemicu index saham naik/turun. Ya apapun yang terjadi mereka tetap won.
Nah apa yang bisa dipelajari dari situasi ini? Harga saham naik terlalu cepat, diatas harga buku ratusan kali lipat, itu patut dipertanyakan. Namun saat terjadi aksi jual besar besaran, itu adalah koreksi terhadap harga saham ketingkat rasional. Mengapa? Ini ulah pemain besar. Mereka tahu bahwa ketika likuiditas ketat dan mahal, itu artinya negara sedang bokek. Karena pembayar pajak berkurang. Nggak ada lagi cukup uang. Ya sebaiknya turunkan intensitas permainan, lewat pelepasan portfolio aset ke market seperti yang dilakukan oleh Warren Buffet terhadap portfolio saham Apple. Ya mereka yang on/off market. Index jatuh. Pasar suffering dan negara painful. Pemain besar happy aja… nanti akan rebound lagi. Begitu saja terus.
No comments:
Post a Comment