Friday, February 21, 2020

Kendaraan listrik.

Dua hari lalu teman saya sebagai team ahli pemerintah berdiskusi dengan saya soal rencana pemerintah membangun kendaraan listrik.  Dia presentasikan dari hulu sampai hilir rencana itu. Sangat luar biasa. Detail sekali. Memang pemerintah sangat serius membangun kendaraaan listrik. Sepertinya tidak ingin pengalaman membangun kendaraan fuel BBM terjadi pada kendaraan listrik. Artnya kemandirian dan sekaligus memanfaatkan sumber daya mineral yang kita miliki  menjadi issue utama dalam program itu. 

Saya memberikan masukan sederhana. Karena saya pedagang. Otak saya engga sampai pada perencanaan yang jelimet itu. Bagi saya kendaraan listrik itu akan tumbuh dan berkembang kalau ia bersahabat dengan kebutuhan orang. Kuncinya ada pada baterai. Kalau baterai hanya cukup untuk menempuh jarak puluhan kilometer, engga ada orang yang minat beli kendaraan listrik. Oh kan ada power bank yang disiapkan di dalam kendaraan. Katanya. Baterai aja udah berat, apalagi tambah power bank. Itu bukan idea yang friendly. Kan ada charger mobile dan bisa juga di charger di rumah, katanya lagi.  Itu pasti kapasitasnya rendah. Emang berapa listrik di rumah orang sehingga bisa charge dengan kapasitas listrik besar? Itu bukan ide yang bagus.

Tapi  kendaraan listrik itu hemat energy, katanya.  Orang beli kendaraan itu bukan soal hemat energi. Tetapi kebutuhan untuk mobilitas, kenyamanan dan rasa aman. Kalau orang menggunakan kendaraan listrik tapi kawatir baterai habis karena kapasitas baterai terbatas, itu sudah engga marketable. Jadi gimana seharusnya.? menurut saya persoalan kendaraan listrik itu bukan pada tekhnologi kendaraan tetapi soal tekhnologi baterai.  Ini hal yang rumit. Karena itu berhubungan dengan material dan design. Bisa saja bateri tahan lama, tapi berat. Itu pasti engga airodinamis lagi tuh kendaraan. Bisa saja ringan, tetapi engga tahan lama, orang juga ogah.

Kita memang kaya akan bahan material untuk baterai, yang terdiri dari nikel, kobalt, dan mangan. Saat sekarang tekhnologi teruji dan handal adalah CATL ( Jerman), Panasonic ( jepang), dan LG ( Korea). Belajarlah pada mereka dulu. China saja sekarang berusaha menyerap tekhnologi dari mereka. Contoh Baterai NCM 811 terbaru dari CATL, yang mengandung 80 persen nikel, kobalt 10 persen, dan mangan 10 persen, dapat mencapai 340 watt jam per kilogram - ukuran utama untuk kepadatan energi. Bandingkan dengan baterai China NCM 622 , yang dapat menghasilkan 240 watt jam per kg. Udah chargernya lama, jarak tempuh engga jauh.

Tapi China bisa terus produksi walau tekhnologi baterai mereka masih tertinggal. ?katanya. Itu bukan karena minat pasar besar. Tetapi karena subsidi dari pemerintah China. Konsumen dapat refund beli kendaraan setelah sekian ribu kilometer. Bebas pajak penjualan. Bebas ongkos toll. Apakah pemerintah kita mau seperti China. Kan engga mudah.  Dan lagi bagi China, subsidi itu bertujuan agar terjadi supply chain tekhonologi baterai secara meluas, melahirkan new business , sehingga ongkos produksi jadi murah. Sekarang berkat R&D sejak tahun 2014, memang China sudah berhasil memodifikasi tekhnologi baterai dari jerman , CATL, yang sekarang 60 % pasar baterai di China merek CATL. 

Terus, andaikan Jepang atau jerman, atau Korea mau memberikan tekhnologi, apalagi kendalanya, katanya. Kendala berikutnya adalah kesediaan listrik di stasiun charger. Kalau untuk ukuran kota besar, diperlukan banyak stasiun charger agar mudah di jangkau orang. Listriknya besar sekali. Kalau mengandalkan listrik yang ada pada PLN sekarang pasti engga cukup. Kalaupun dipaksakan pasti mahal untuk bangun infrastrukturnya, dan ini kembali kepada biaya charger. Kalau biaya charge murah, engga ada orang mau invest. Di China saja, biaya charger untuk jarak tempuh 300 KM itu sama dengan 90% harga BBM. Dari segi cost memang engga jauh beda dengan BBM. Belum lagi harus nunggu sekian jam untuk charger. Sementara BBM engga pake nunggu lama isinya. Tapi bagaimanapun kendaraan listrik ramah lingkungan. Niat pemerintah harus diapresiasi.  Dia tersenyum. Cara berpikir pedagang memang realistis, karena konsumen lah raja dan penentu tekhnologi itu diterima atau tidak.

Tuesday, February 18, 2020

UU Cipta Kerja. solusi di tengah krisis.

Sejak tahun lalu pertumbuhan Indonesia terus melambat. Indikator memang negatif semua. Bagaimana kondisi ekonomi kita sesungguhnya? Biar objectif, mari kita dengar pendapat dari lembaga rating international, yaitu Moody’s. Catatan Moody's terhadap kondisi ekonomi Indonesia sebagai berikut:. Pertama, rendahnya penerimaan negara yang dapat mempengaruhi profil kredit Indonesia. Kedua, ketergantungan RI terhadap pendanaan eksternal dan ketiga,  struktur ekonomi Indonesia yang masih riskan terhadap siklus pada sektor komoditas. Tahu artinya? kalau tidak ada trobosan berarti, maka tahun tahun depan, ekonomi Indonesia akan terjun bebas. 

Tapi keadaan ini bukan hal yang diluar kendali pemerintah. Ini sudah diketahui sejak dua tahun lalu, dengan diadakannya crisis center antara menteri ekonomi dan BI. Tujuannya adalah dalam situasi krisis yang harus dipertahankan aman adalah inflasi terjaga dan devisa lebih dari cukup. Kedua hal ini pemerintah full control. Tinggal sekarang adalah proses keluar dari krisis. Kuncinya ada pada investasi. Tanpa investasi di tengah melemahnya eksport maka akan membuat ekonomi stuck. Nah gimana caranya mendatangkan investasi dengan cepat ? Sebelum kita bahas soal gimana, baik kita belajar dari Vietnam yang tumbuh di tengah badai krisis. 

Ada lima faktor yang menjadi daya tarik Vietnam. Kelima hal itu pun sebenarnya sudah diketahui oleh Pemerintah Indonesia. Pertama, terkait dengan kemudahan regulasi investasi. Berbagai insentif yang disediakan pemerintah tidak akan berguna bila perizinan masih menjadi problem di Indonesia. Mau ada insentif apa pun, tapi kalau baru mau masuk saja sudah  dikerubuti oleh tukang palak, izin jelimet, investor pasti ogah. 

Faktor kedua, sumber daya manusia. Data World Bank, menunjukkan Human Capital Index (HCI) Vietnam mencapai 0,67 atau menduduki peringkat 48 dari 157 negara. Sementara  Indonesia berada di peringkat ke 87 dengan IHC mencapai 0,53. Upah minimum di Vietnam paling tinggi sebesar US$173 atau setara Rp2,42 juta per bulan.  Vietnam juga memiliki jumlah hari libur umum paling sedikit di antara negara-negara Asia Tenggara. Jadi vietnam itu dari sesi kualitas SDM nya tinggi, kalau dikaitkan dengan produktifitasnya, upah vietnam jauh lebih murah dari Indonesia. Gimana kita mau bersaing. ? Yang buruhnya doyan demo dan banyak libur, produktifitas rendah tetapi minta upah terus naik.

Ketiga, Keterbukaan ekonomi menjadi faktor berikutnya yang menjadi daya tarik Vietnam.Vietnam memiliki 15 perjanjian perdagangan bebas  atau Free Trade Agreement (FTA) sehingga biaya ekspornya lebih efisien dan penetrasi pasar lebih mudah dibanding Indonesia. Faktor keempat adalah dukungan infrastruktur untuk investasi. Contoh listrik. konsumsi listrik vietnam mencapai dua kali lipat dari Indonesia. Vietnam memberi subsidi listrik bagi industri dengan tarif USD 0,07 per Kwh. Jauh lebih murah dari Indonesia yang USD 0,10 per kwh.

Keempat, stabilitas Makro Ekonomi menjadi faktor terakhir yang menjadi daya tarik Vietnam dibandingkan Indonesia. Pertumbuhan ekonomi negara ini melesat dari 5,03% pada 2012 menjadi 7,1% pada 2018. Kondisi itu antara lain didorong oleh pesatnya peningkatan investasi langsung. Investasi asing langsung atau foreign direct investment (FDI) dalam lima bulan pertama 2019 ke Vietnam mencapai US$16,74 miliar. Kelima, nilai tukar yang stabil. Dong Vietnam dianggap sebagai salah satu mata uang cukup stabil.

Nah berkaca dengan vietnam, maka kalau kita tidak bisa melakukan hal yang sama dengan vietnam, maka kita akan ditinggalkan investor dan penciptaan lapangan kerja tidak bertambah  atau mungkin  berkurang. Ekonomi akan jatuh. Jadi gimana agar bisa seperti Vietnam ? Pertama kita harus tahu mengapa vietnam bisa melakukan itu ? karena sistem politik vietnam memang terpusat. Sama seperti China. Jadi kebijakan apapun yang sesuai keinginan investor dapat diakomodatif dengan cepat. Sementara Indonesia sistem politik tidak terpusat seperti Vietnam. Akibatnya kalau menanti semua aturan datang dari DPR, saya yakin kita udah keburu jatuh. 

Kedua, setelah tahu biang persoalanya, maka solusinya adalah dengan menerbitkan UU Omibus Law atau UU Cipta Kerja/ Cilaker. Walau sistem kekuasaan kita tidak terpusat, dan menganut desentralisasi dan trias politika namun sistem negara kita adalah presidentil. Artinya secara konstitusi presiden punya hak diskresi untuk mengeluarkan UU yang bisa memayungi semua aturan yang bertujuan kemajuan ekonomi. 

 Lantas apa masalahnya ? 

Satu UU Omnibus Law  ini akan menjadi entry point untuk masuk ke 79 UU lainnya. Bayangkan kalau ada beberapa UU yang dijadikan sebagai Omnibus Law, berapa UU yang dapat dikendalikan langsung di tangan Presiden? Presiden akan menjadi sole maker of law. Timbul pertanyaan, apakah kewenangan pembuatan hukum merupakan bagian dari diskresi?  Mengingat output utama diskresi adalah action based policy,  bukan hukum. Bayangkan, Pasal 166 dan Pasal 170. Pasal 166 menyebutkan bahwa peraturan daerah bisa dicabut dengan peraturan presiden. Ada berapa banyak Perda yang jadi sumber pemerasan oleh elite PEMDA dicabut. Tentu Pemda akan meradang. Adapun Pasal 170 menyebut pemerintah dapat mengubah UU menggunakan peraturan pemerintah. Lantas dimana trias politika? Apakah ingin menempatkan presiden diktator secara konsitusi?

Menurut saya, terlepas dari itu semua yang diperdebatkan, keadaan sekarang di tengah krisis global dan terjadinya penurunan permintaan eksport serta semakin ketatnya likuiditas investasi global, kalau kita masih berpikir dan bekerja dengan metode trias politika, kita sedang mengubur diri kita sendiri.  Mengapa?  karena kita berpacu dengan waktu. Berpacu dengan pertumbuhan penduduk. Berpacu dengan ledakan angkatan kerja. Berpacu dengan harga terus naik.

Andaikan DPR periode pertama kerja yang benar, dan ketua DPR nya bukan kadrun, tentu tidak perlu ada UU Omnibus Law, dan sekarang kita sudah booming investasi seperti vietnam. Tapi DPR kita yang lalu membuang waktu 5 tahun dengan omong kosong, sementara mereka menghabiskan APBN sebesar kurang lebih Rp. 25 triliun. Memanfaatkan sistem presidentil dan hak prerogatif presiden dalam membuat UU tidak salah.Apalagi disaat krisis. Entah kalau DPR dan oposisi memang tujuannya untuk menghambar ekonomi dan berharap hidup dari produksi UU yang bertele tele. 

***
Di dunia ini apapun itu, stabilitas politik, keamanan, tergantung dari stabilitas ekonomi. Sejak dunia ini terkembang, konflik dan perang datang silih berganti, itu semua karena masalah ekonomi. Lahirnya idiologi, juga karena masalah ekonomi. Terbentuknya bangsa dan negara, itu juga karena masalah ekonomi. Cerai dan nikah, juga karena masalah ekonomi. Bicara ekonomi, artinya bicara soal survival. Apa artinya?, Kalau anda focus kepada ekonomi, maka masalah sosial, politik keamanan, kebahagiaan keluarga akan ikut. Jadi jangan di balik, bicara politik atau sosial atau keamanan atau agama, barulah bicara ekonomi. Kalau itu yang terjadi, pasti frustrasi.

Hal yang paling rasional di dunia ini adalah soal ekonomi. Mengapa saya katakan rasional? Anda boleh punya mimpi apapun. Membangun rumah tangga sakinah. Membangun negara di bawah lindungan Tuhan dan berkeadilan. Membangun bisnis membela buruh dan karyawan. Menciptakan kegiatan sosial yang membela orang miskin. Apapun itu. Tetapi kalau engga ada uang. Semua mimpi tinggalah mimpi. Sekuat apapun negara yang dibentengi tentara dan senjata, kalau ekonomi tumbang, semua ikut tumbang. Mau profesor, doktor, insinyur, ekonom, pengacara, tentara , apapun itu, kalau engga ada uang pasti bego.

Arab Saudi melepaskan dokrin agama yang sempit, membuang paham wahabi ke tong sampah, mengarah kepada moderenitas karena masalah transformasi ekonomi dari migas ke industri dan wisata. AS sebagai mbah kapitalisme, beralih ke market regulated, karena engga mau bangkrut di makan kompetisi China. China yang komunis bertransformasi menjadi kapitalisme karena alasan ekonomi. Engga mau jadi konsumen tetapi produsen.

Apapun etnis, agama, idiologi, yang paling baik, bukan yang hebat dalam retorika tetapi yang bisa produksi dan mendatangkan manfaat ekonomi. Karena dari aktifitas produksi dan ekonomi itu, menurut Amartha Sen, keadilan sosial bisa tegak, keamanan terjamin, politik kondusif , kehidupan beragama bisa tegak, peradaban berkembang. Sebaliknya semakin bangga dan sibuk membahas soal etnis, agama, idiologi, semakin frustrasi kalau ekonomi lesu dan kantong bokek.

Anehnya di kita. DPR sibuk membahas RUU Ketahanan Keluarga, sementara hal yang maha penting soal UU Omnibus law diperdebatkan dengan sejuta argumen populis. UU Omnibus Law ini UU akal sehat, paling rasional. Ini soal ekonomi. Soal perut. Bahkan, sangking petingnya, draft RUU nya di back up dengan kajian akademis yang sangat lengkap. Paling tebal halamannya dibandingkan RUU lainnya. DPR harus focus ke ekonomi. Mengapa ? Walau ada UU ketahanan keluarga, UU Kerukunan agama, Pancasila, dengan pasal berlapis, kalau ekonomi jatuh, PHK terjadi dimana mana, bukan hanya rumah tangga, negeri ini akan bubar dengan sendirinya. Dan lagi Anda duduk di DPR itu engga gratis, Kalau engga ada uang, emang mau duduk. Kalau tanpa uang emang bisa duduk. Pahami itu. Jadi, berhentilah omong kosong.

***
Indonesia masuk negara Maju
AS mengeluarkan Indonesia termasuk China dari daftar negara berkembang. Otomatis secara politik, sikap AS terhadap Indonesia sama dengan negara maju lainnya. Apa dampak dari masuknya Indonesia sebagai negara maju? Indonesia akan kehilangan insentif terhap beberapa komoditas yang mendapat fasilitas GSP ( Generalized System of Preference) dari AS. Padahal dengan adanya GSP ini sangat membantu daya saing Indonesia di pasar AS, dan tentu menjadi bagian dari daya tarik investasi langsung di Indonesia yang berharap masuk ke pasar AS. Mengapa AS bersikap seperti itu?

Kebiasaan AS yang utama adalah membujuk negara lain agar tujuan hegemoninya tercapai. Kalau bujukan tidak efektif, maka AS akan lakukan dengan cara menekan. Kalau menekan juga tidak efektif maka AS akan jatuhkan itu pemerintah. Apapun akan dia lakukan. Begitulah apa yang terjadi pada Indonesia. Sikap indonesia di laut China selatan, membuat AS kecewa. Karena Indonesia berusaha netral. AS berusaha menahan kecewa itu dengan membujuk Indonesia, dengan pembiayaan melalui kerjasama antara IDFC ( International Development Finance Corporation), UEA dan Softbank. Tetapi rencana itu sulit terealisir karena mengharuskan Indonesia mendukung skema Sovereign Wealth Fund. AS sudah kehabisan sabar.

Nah upaya memasukan Indonesia dari daftar negara maju, dan sekaligus tentu menghapus insentif GSP, itu cara menekan yang efektif. Apalagi Indonesia sedang mengalami tekanan neraca pembayaran dan defisit perdagangan. Dengan adanya trade war antara AS dan China, otomatis Indonesia akan kena cipratan lumpur. Mengapa ? Kebijakan tarif AS dengan adanya trade war, berlaku hanya untuk negara maju, bukan negara berkembang. Tentu yang diuntungkan adalah negara ASEAN lainnya, terutama Vietnam dan Thailand yang akan semakin punya daya saing baik eksport maupun investasi.

Dengan adanya indonesia masuk dalam kelompok negara maju, akan semakin sulit indonesia untuk menang dalam gugagatan sengketa dagang di forum WTO. Karena sebagian besar gugatan itu berkaitan dengan subsidi secara tidak langsung terhadap komoditas kita. Selama ini kita belum terkena ban WTO karena status kita sebagai negara berkembang. Tetapi dengan status sebagai negara maju, maka subsidi akan dianggap sebagai kebijakan dumping. Ini akan beresiko besar terhadap pasar ekpor Indonesia.

Sudah saatnya Indonesia mulai berani bersikap sebagai negara maju dan sudah saatnya kebijakan subsidi yang populis di bidang apapun dihapus. Sudah saatnya kebijakan yang tranformatif sebagai negara industri dilaksanakan. Sudah saatnya masalah regulasi tidak lagi bertele tele. Segara sahkan UU Omnibus law, atau kita akan masuk kubangan resesi yang rumit, dan struktural.

Prahara akan datang
Yang saya engga habis piki adalah tidak ada sense of crisis dimiliki oleh elite politik. Awal tanggal 21 januari 2020, saya menulis tentang “ Tahun 2020 tahun berat”. Kemudian ketika terjadi wabah virus corona di China, saya menulis “ Ekonomi Indonesia dan virus corona”. Salah satu teman kader partai sempat kirim WA ke saya “ Kamu terlalu pesimis”. Saya bukan tipe pesimis. Kalau saya pesimis engga mungkin saya bisa survival sebagai pengusaha dari 6 rezim yang pernah berkuasa. Saya lahir bukan dari keluarga kaya. Saya hidup merangkak dari paling bawah. Kalau saya rasional , itu ada benarnya. Berpikir rasional adalah berpikir realistis untuk menemukan solusi dalam situasi terpahit sekalipun. Tanpa terjebak dengan ilusi.

Belum berakhir kwartal pertama tahun 2020, dalam beberapa minggu sudah nampak dampak buruknya dari apa yang saya tulis tersebut. Wakil Gubernur Bali Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati mengatakan, penurunan wisman di Bali sangat signifikan. Biasanya, sekitar 100.000 wisman China atau 3.000 - 3.500 per hari bertandang ke Bali saat libur panjang Tahun Baru Imlek. Namun imlek tahun ini, hanya sekitar 460 wisman China yang berkunjung ke Bali. Secara nasional potensi kehilangan devisa tahun ini akan mencapai sebesar Rp 40,7 triliun. Itu  kehilangan devisa wista dari wisatawan asal China yang tahun lalu mencapai 2,07 juta.

Sementara defisit perdagangan tahun ini, BPS mencatat posisi neraca perdagangan pada Januari 2020 sebesar US$ 864 juta atau US$ 0,86 miliar. Perolehan ekspor drop sebesar 7,16 persen, dibandingkan tahun lalu pada bulan yang sama. Padahal sepanjang januari impor turun karena china menghentikan penjualannya. Padahal tahun lalu , Badan Pusat Statistik (BPS) mencatatkan neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit sebesar 3,20 miliar dollar AS di sepanjang tahun 2019. Tahun 2018 juga tetap defisit. Apa artinya, struktur ekonomi retak akibat goncangan terus menerus.

Memang secara makro daya tahun ekonomi kita masih positip. Cadangan devisa masih kuat, tingkat inflasi yang rendah. serta pertumbuhan ekonomi yang masih plus. Namun ancaman defisit perdagangan, itu jangan dianggap enteng. Kalau tidak ada langkah pragmatis dan revolusioner , tidak mungkin kita bisa mengatasi hambatan di tengah situasi ekonomi global yang belum ada tanda tanda akan pulih, ditambah lagi dengan adanya trader war. Yang jadi masalah solusi keluar dari jebakan defisit perdagangan ini, memerlukan kebijakan politik pragmatis. Nah sementara DPR tidak menyadari masalah serius yang sedang mengancam ekonomi negara ini. Akibatnya pembahasan soal kebijakan politik bidang ekonomi, perdagangan dan investasi jadi bertele tele. 

Sementara keadaan dari minggu ke minggu eskalasi tekanan semakin kencang. Tanpa ada tekanan eksternal dari status indonesia masuk negara maju saja kita sudah defisit, apalagi dengan status negara maju yang tidak boleh ada subsidi , tentu daya saing semakin rendah dan pasar menyempit. Belum lagi ancaman krisis bursa yang hanya masalah waktu akan meledak. Akan lebih buruk dari tahun 2008. Saat itu bukan lagi angin kencang tapi sudah angin tornado. Apapun akan tersapu. Kalau DPR terlambat mengesahkan UU Omnibus Law,  saya yakin semua sudah terlambat.  Recovery nya butuh waktu lama, dan yang korban rakyat kecil.

Wednesday, February 12, 2020

Primordialism?

Primordial
Waktu Indonesia ingin memproklamirkan kemerdekaan. Para tokoh pendiri bangsa ini berangkat dari identitas mereka masing. Ada kelompok Agama, kelompok Saudagar, kelompok cendekiawan, sosialis, kamonis, kelompok suku dan kedaerahan. Namun waktu mereka berkumpul, mereka takut sendiri menampilkan siapa diri mereka. Mungkin tepatnya bukan takut tetapi “ malu” menonjolkan siapa mereka. Mengapa? karena memang selama 350 tahun Indonesia di bawa kolonial Belanda, kelompok dan golongan itu sudah kehilangan reputasi. Mereka kumpulan orang gagal. Gagal melawan kolonialism. Penyebanya mereka juga sangat paham. Apa itu? gagal bersatu. Makanya pandangan mata tertuju kepada Soekarno dan Hatta yang membawa paham nasionalisme, yaitu persatuan dan kesatuan.

Itu sebabnya ketika rapat BPUPKI, proposal sekterian tidak mengemuka. Kalaupun ada riak dari golongan islam, itu tidak mempengaruhi tekad untuk membuang semua sekat perbedaan. Mereka lebih focus kepada persamaan yang ada untuk lahirnya persatuan Indonesia. Mungkin sejarah lahirnya Indonesia lewat forum segelintir orang dalam sidang BPUPKI itu adalah karya ilmiah yang terbaik sepanjang sejarah dunia, yaitu mampu melahirkan konsep persatuan diatas masyarakat yang primodial. 

Apa itu primordial ? Primordial adalah sebuah pandangan atau paham yang memegang teguh hal-hal yang dibawa sejak kecil, baik mengenai tradisi, adat-istiadat, kepercayaan, maupun segala sesuatu yang ada di dalam lingkungan pertamanya. Dalam primodial ada hubungan emosional antara patron dan clients. Siapa itu Patron ? Mereka adalah tokoh adat, tokoh daerah, tokoh agama/ustad/ulama/pendeta/romo/biksu. Mereka kadang bernaung di bawah ormas, dan kadang ormasnya terafiliasi dengan partai. Sementara clients adalah para follower, rakyat banyak. 

Perubahan peradaban
Perubahan peradabann ditandai dari perubahan sistem ekonomi dunia. Seperti yang diuraikan oleh oleh Max Weber, yang mengacu teori dari Werner Sombart yaitu Eigenwirtschaft, Handwerk, dan Kapitalisme. Pada awalnya peradaban tidak begitu banyak komunitas. Ini disebut era Eigenwirtschaft. Pada era ini, manusia memproduksi sendiri barang barang kebutuhannya. Belum ada pertukaran barang. Perluasan wilayah terjadi, perang terjadi. Itu karena komunitas bertambah dan orang butuh makan untuk hidup. Pada era ini di nusantara berdiri kerajaan hindu seperti Sriwijaya dan Majapahit. Di era ini terjadi perpindahan penduduk dari satu wilayah yang padat ke wilayah taklukan lainnya. Kemakmuran hanya pada keluarga dan kroni kerajaan saja.

Namun berlalunya waktu, manusia terus bertambah.  Perluasan wilayah tidak bisa lagi sebagai solusi. Maka lahirlah era Handwerk. Pada era ini ditandai dengan dimulainya aktifitas ekonomi berupa proses produksi dan pertukangan.  Pada zaman Handwerk inilah kerajaan islam berdiri di Nusantara. Itu sebagai kelanjutan dari kerajaan Majapahit. Pada era ini perdagangan antar wilayah  sudah menjadi peradaban baru. Pedagang Arab, China, Spanyol, Inggris berdatangan ke Nusantara untuk melakuan barter. Antara pedagang dari luar dan penduduk kerajaan saling menguntungkan. Kemakmuran terjadi meluas pada kerajaan Islam.

Kemudian akibat perubahan ekonomi yang begitu cepat di bidang perdagangan dan manusia terus bertambah, maka munculah era kapitalisme. Pada abad ke 16 (1586-1609) terjadi revolusi kaum kelas menengah di Belanda yang mengubah perekonomian local menjadi international. Berbeda dengan inggris dan spanyol yang menerapkan kolonialisme. Sementara Belanda menerapkan pendekatan bisnis. Caranya ? Belanda membentuk konsorsium pemodal dalam bidang perdagangan. Namanya VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie). Belanda datang ke Nusantara tidak menjajah tetapi menawarkan kerjasama dengan kerajaan yang ada di Nusantara. Istilah sekarang namanya konsesi bisnis di bidang SDA. 

Belanda lah yang mengajarkan budaya kapitalisme lewat praktek suap dan upeti kepada raja dan elite Kerajaan. Belanda juga memanfaatkan primordialism dengan memanjakan para patron dengan suap dan posisi centeng. Dengan begitu Belanda menguasai kekuasaan formal maupun informal. Situasi ini berlangsung selama dua abad tanpa tergoyahkan. Selama itupula  kesultanan Islam yang ada di Nusatara mengalami demoralisasi karena korup dan rente.  Demoralisasi bukan hanya terjadi pada elite kerajaan, tetapi juga pada pegawai VOC. Wabah korupsi VOC terjadi sangat parah, sehingga tahun 1692 VOC mengalami kemunduran. Pemerintah Belanda melakukan restrukturisasi bisnis VOC dari perusahaan dagang menjadi supply chain untuk mendukun revolusi industri di Inggris.  Tapi itu tidak berlangsung lama. Karena tahun 1789 terjadi Revolusi Prancis. Belanda di bawah jajahan Prancis, termasuk wilayah koloni Belanda.

Keadaan ini dimanfaatkan oleh elite Belanda dengan membentuk Republik Batavia (1795-1806). Tujuannya merebut kekuasaan wilayah koloni Hindia Timur Belanda dari Prancis.  Selama periode yang pendek ini, tahun 1798 VOC bangkrut total. Namun Republik Batavia berakhir ketika Napoleon Bonaparte memasang sepupunya, Louis Bonaparte, sebagai Raja Belanda pada tahun 1806. Tahun 1815, Napoleon jatuh dan Belanda memperoleh kembali kemerdekaannya. Inggris, yang memegang kendali Hindia Timur di bawah Raffles tahun 1811, mengembalikannya ke Belanda pada tahun 1815. Namun selama era kekacauan itu, Belanda berhasil menaklukan Mataram yang merupakan kerajaan islam terbesar di Jawa dan memastikan Belanda berkuasa di Jawa.

Secara berlahan lahan elite lokal kerajaan di Nusantara masuk ke dalam sistem kekuasaan kolonial. Ini dikarenakan cinta dunia sudah sampai memabukan. Mereka tidak peduli lagi soal kekuasaan itu adalah amanah Tuhan. Kalau tadinya elite kerajaan diberi hak mengontrol sendiri wilayahnya namun kini mereka menjadi orang bayaran dari Belanda, dan bekerja sesuai dengan hukum dan aturan Belanda. Selanjutnya Belanda menerapkan sistem kapital penuh untuk meningkatkan produksi pertanian. Saat itulah perkebunan besar terjadi meluas di Indonesia. Siapa yang melakukan investasi? Ya pemodal. Pemerintah kolonial hanya memberikan izin konsesi dan mendapatkan pajak dari kegiatan investasi tersebut. Sementara rakyat hanya jadi pekerja kebun yang berupah murah. 

Sistem kapitalisme tersebut berkembang pesat. Bukan hanya di Nusantara tapi juga di daerah kolonial lain seperti di Malaya dan Burma oleh Inggris, Prancis di Vietnam, Laos, Kamboja, AS di Filipina. Kemajuan dalam transportasi dan komunikasi antara Asia Tenggara dan Eropa juga berkontribusi pada perkembangan ini, terutama dibukanya Kanal Suez pada tahun 1869 dan di bentangkannya kabel bawah laut untuk telekomunikasi telegraf antara Eropa dan Asia pada tahun 1860an dan 1870an. Antara tahun 1870an hingga 1920an merupakan periode boom kapitalis. Ekonomi koloni Asia Tenggara moderen mencapai pertumbuhan luar biasa di bawah sistem perdagangan dan finansial internasional yang berpusat di Inggris.

Namun perkembangan ekonomi yang hebat ini tentu membutuhkan SDM yang banyak khususnya kaum terpelajar. Tidak bisa terus bergantung dengan tenaga akhli dari luar. Nah saat itulah Pemerintah Kolonial Belanda mulai membangun sekolah dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Dan kaum pribumi mulai diseleksi untuk bisa sekolah agar kelak jadi pekerja kelas menengah untuk  jadi masinis kereta api, dokter, kasir, guru, dan manager. Inilah cikal bakal dari lahirnya kelas menengah kaum terpelajar di Indonesia. Kelak mereka inilah yang jadi motor pembaharu dan persatuan Indonesia untuk lahirnya kemerdekaan Indonesia.

Lambat namun pasti perkembangan dunia ternyata dipelajari dengan seksama oleh kaum terpelajar Indonesia, baik yang ada di dalam negeri maupun di luar negeri. Paham nasionalisme mulai bangkit dari kalangan terpelajar. Mereka awalnya terinspirasi dengan Revolusi Prancis, semangat liberté, égalité, fraternité. Namun dengan kekalahan pasukan Tsar Rusia oleh Jepang menimbulkan rasa percaya diri di kalangan mereka. Bahwa ternyata kehebatan orang Eropa itu hanya mitos.  Kemudian yang tak kurang menginspirasi adalah Revolusi Rusia, revolusi Proletariat. Ini menjangkiti seluruh dunia, termasuk wilayah koloni Indonesia. Makanya bisa dimaklumi bila tahun 1920, Partai Komunis Indonesia adalah kekuatan utama dari perjuangan pembebasan Indonesia dari tangan penjajah. Banyak tokoh pergerakan Islam bergabung dalam PKI. 

Berikutnya dunia mengalami Depresi hebat sehingga memukul ekonomi hindia Belanda. Maklum karena ekonomi sangat tergantung pada pasar internasional. Keadaan ini disikapi secara preventip oleh kolonial Belanda dengan meredam kaum pembangkang agar upaya stabilitas ekonomi dapat berlangsung mulus. Penangkapan terhadp kaum pergerakan terjadi dimana ribuan orang dikirim ke kamp konsentrasi Boven Digul. 

Gerakan nasionalis Indonesia mendapatkan momentumnya kembali setelah kekalahan Belanda di tangan Jepang pada tahun 1942, menandai berakhirnya tiga-setengah-abad penjajahan Belanda dan tiga-setengah-tahun penjajahan Jepang. Namun jenis nasionalisme yang bangkit adalah nasionalisme kelas menengah. Kelas orang rasional. Hidup ini bukan soal siapa kamu, apa agama kamu, tetapi kita adalah kita. Kemerdekaan adalah soal ekonomi. Itu diperlukan orang waras yang focus kepada produksi. Kuncinya ada pada kebebasan individu tanpa terbelenggu oleh primordial. Hanya dengan cara itu kemerdekaan akan melahirkan kemakmuran.  Kalau engga , akan melahirkan penjajahan primordial  penjajahan gaya baru atau neocolonialism. Dijajah oleh bangsa sendiri!

Setelah Indonesia merdeka, dan Indonesia masuk dalam sistem demokrasi, primordia itu bangkit lagi. Hasil pemilu 1955 adalah contoh konkrit bahwa primordialism itu membuat gagal sidang konstituate membuat UUD yang baru. Politik persatuan dikacaukan oleh kehendak golongan Islam yang ingin memasukan idiologi Islam dalam UUD 45 dan Pancasila. Jelas ini ditolak oleh Soekarno yang kemudian mengeluarkan dekrit membubarkan dewan konstituante dan kembali kepada UUD 45 yang  asli. Di era Soeharto dia berhasil membungkam Primodialism ini berkembang untuk menyerangnya namun dia gunakan primodial untuk memperkuat kekuasaan politiknya lewat Golkar dan underbow nya.

Di era reformasi, primordialism semakin mengemuka dalam ranah politik. Ini bukan hanya karena bangsa kita adalah bangsa yang beragam, tetapi ada yang non-primordial faktor yang terlibat; masalah ide politik, perilaku memilih dan fungsionaris strategis partai politik. Faktor pertama itu memperkuat primordialisme. Misalnya, hampir setiap kontestasi politik di keduanya pemilihan gubernur, walikota dan bupati rata-rata kontestan memiliki ide yang sama atau bahkan menyalin dengan sedikit modifikasi dari kontestan lain, misalnya kata "Gratis" digunakan sebagai kata akhir untuk setiap program mereka, termasuk; "Pendidikan gratis", "kesehatan gratis" dan sebagainya. 

Ini menunjukkan bahwa politisi kita kurang memiliki gagasan politik, akibatnya pemilih tidak mendapatkan perbedaan antara satu sama lain tetapi perbedaan karena aspek primordial. Faktor kedua adalah perilaku politik, para pemilih di daerah hampir tidak peduli tentang program strategis kandidat karena mereka berasumsi bahwa "strategi program" hanya layanan bibir “. Program hanya hadir ketika ada kampanye, dan setelah musim kampanye, program ini hanya berupa dokumen Visi dan misi ketika pendaftaran calon, bukan sebagai arah kebijakan di masa depan. 

Pengalaman ini dipengaruhi oleh perilaku pemilih yang memang tidak focus kepada ide-ide kandidat. Mereka lebih mudah digiring oleh patron dalam hubungan primodial seperti etnis, agama, garis keturunan. Hubungan antara patron-clients lebih cair, dan mudah dikomunikasikan. Karena berkaitan dengan “ kamu akan dapat ini atau itu kalau bapak itu jadi menang. Kita akan dapat ini dan itu, kalau calon itu menang pilkada. “ Rakyat lebih paham soal hal yang praktis daripada hal yang rumit tentang visi dan misi. Akibatnya dalam sistem demokrasi langsung, justru yang menguat bukan hubungan antara partai dengan pemilih tetapi antara patron dan clients. Karena itulah hubungan patron dengan politisi atau partai sangat saling bergantungan. Mutual simbiosis. Patron menguasai jaringan informal dan elite politik atau partai melegitimasinya dalam Pilkada dan Pemilu.

Sisi buruk Patron
Makanya jangan kaget bila Patron itu bagian dari sistem kekuasaan. Yang namanya kekuasaan tentu tidka jauh dari uang dan harta. Ada bisnis yang tidak perlu anda bangun pabrik atau bangun jaringan franchise atau bangun Unicorn, untuk kaya raya. Cukup dengan menjadi bagian mesin primordial anda sudah bisa kaya raya. Mari kita perhatikan. Para patron itu, tidak perlu kerja. Uang akan mengalir dari mereka yang ingin mengakses kekuasaan melancarkan bisis rentenya, baik di pusat maupun di daerah. Contoh tata niaga ekspor dan impor itu mendatangkan fee tidak kecil kepada patron nasional. Siapa yang memberi fee ? ya pengusaha. Karena patron itu yang loby pemerintah, dan pemerintah demi politik primordial , tidak punya pilihan untuk menolak.

Setiap menjelang Pilkada, pasti patron panen uang. Semua partai mendekatinya dan memberinya uang. Kalau anda mau bangun bisnis di daerah dalam skala besar, kalau anda tidak sowan ke patron, jangan heran walau udah ada izin, itu tidak akan menjamin anda aman. Akan ada yang ganggu, dengan aksi demo. Banyak sekali alasannya. Yang jelas kalau anda tidak memberi uang kepada patron, kelar itu bisnis. Pemerintah? hanya diam saja. Karena kepala daerah juga engga mau head to head dengan patron. Mereka taku nanti pilkada bisa kalah. Cukup ? belum.

Ada lagi, patron juga menggalang dana dari client nya dengan alasan aksi atau mendirikan tempat ibadah atau kegiatan sosial keagamaan. Uang ini mengalir ke yayasan. Apakah ada yang berani audit tuh yayayasan? Ingat engga, uang aksi 212 di kirim ke Suriah membantu ISIS, padahal secara hukum yayasan itu milik negara dan BPK berhak audit. Tapi faktanya yayasan itu tumbuh tanpa tersentuh. Bahkan banyak yang berkembang turun temurun ke keluarga Patron. Ini uang tidak sedikit untuk kaya raya tanpa kerja keras. Cukup? belum.

Ada lagi, Para patron atau keluarganya, kadang jadi komisaris perusahaan yang butuh power politik agar usaha bisa berkembang. Dari sini mereka dapat lagi golden share dan gaji sebagai komisaris. Makanya jangan kaget bila patron bisa sekolahkan anaknya ke luar negeri dan punya rumah mewah dan kendaraan mewah. Walau mereka mengajarkan hidup sederhana namun prilaku mereka hedonis. Cukup? belum.

Ada lagi , mereka juga dapat uang dari iklan kalau jadi bintang iklan produk halal. Ada juga dapat uang celeb mengisi acara TV yang mendatangkan rating dan iklan bagi TV. Mereka juga dilibatkan oleh Youtuber untuk dapatkan uang dari google add. Ini semua uang yang tiada henti mengalir ke rekening mereka. Kalau ada riak politik, mereka akan kebagian uang memberikan opini di media massa agar menguntungkan partai tertentu. Atau ikut merestui demo, yang tentu dapat uang dari aksi tersebut. Hampir semua bisnis MLM yang fraud butuh endorsed dari Patron. Kalau MLM seperti First travel, investasi syariah dan lainnya masuk ranah pidana, tidak ada patron itu kena hukum. Padahal mereka dapat fee dari adanya MLM fraud itu.

Para patron itu lebih jagoan dan lebih untouchable dibandingkan birokrat, politisi sekalipun. Mereka kaya dan tentu tidak perlu bayar pajak secara real. Itu sebab , politisasi agama itu semakin hidup dalam sistem demokrasi. Karena itu memang bisnis yang mendatangkan uang dengan mudah. Itu bukan hanya pada islam, tetapi semua agama, sebagian besar partronnya sama aja kelakuannya. Kemaruk uang.

Ancaman perpecahan SARA.
Teman saya kader partai Islam pernah saya tanya, mengapa kepala daerah cenderung berpihak kepada keinginan mayoritas Islam? Apakah mereka tidak tahu politik persatuan yang tertuang dalam UUD 45. Apakah mereka tidak paham, bahwa ketidak adilan itu akan menimbulkan bibit intoleran yang bisa menghancurkan persatuan dan kesatuan RI. Apalagi negeri ini merdeka berkat semangat persatuan itu. Teman saya tidak ingin menjawab secara langsung ketika itu. Namun waktu Pilkada DKI AHok jatuh, padahal Ahok punya elektabilitas tinggi dan sangat populer. Jawaban saya dapat, itu karena secara pribadi Abas memang sudah mampu merebut hati umat islam secara langsung lewat Ormas, atau patron islam. Kedekatannya dengan patron Islam, dan berjaraknya Ahok dengan patron islam, memudahkan ABas menang.

Bukankah program Ahok sangat islami dan membuat orang islam di DKI sangat tertolong. Tetapi, kata teman, massa islam itu pada akhirnya sangat tergantung kepada Partron nya, bukan kepada Kepala daerah atau orang yang memberinya uang. Memang tidak semua orang islam loyal dengan patronnya, terutama kaum terdidik, tetapi yang loyal jauh lebih banyak. Kemenangan Jokowi pada pemilu 2019, karena kekuatan patron Islam melemah untuk menggiring rakyat menundukung Prabowo. Itu karena adanya Ma’ruf Amin sebagai Cawapres. Memang suara karena MA tidak significant tetapi keberadaan MA sangat significant mengurangi tekanan dari patron Islam. Inilah politik.

Siapapun kepala Daerah terutama yang berada di daerah yang masih kental primorodialnya , harus berusaha menjaga perasaan patron Islam. Hal yang berkaitan dengan program pengembangan Agama lain seperti bangun Gereja, atau makanan halal, dan lain sebagainya adalah issue yang sangat mudah meledak. Kalau kepala daerah mencoba bersikap adil sesuai UU berpihak kepada minoritas, jelas dia akan dijauhi oleh Patron agama. Ketika nanti Pilkada dia pasti akan gagal mendapatkan dukungan dari patron. Kalaupun dia berhasil membujuk partron dengan uang , itu tetap tidak akan berhasil. Karena patron tetap tidak mau memaksa massanya untuk percaya kepada orang yang membela minoritas. Primodial juga sebagai pemicu lahirnya banyak Perda syariah yang membuat sistem UUD 45 dan Pancasil berderak retak. 

Makanya sistem otonomi Daerah dan Pilkada Lansung untuk memilih Gubernur, Bupati, Walikota sangat berpotensi menimbulkan perpecahan. Apalagi di tengah narasi islamisme yang dari tahun ketahun semakin kencang bertiup. Di tengah masyarakat yang masih terperangkap hubungan client-patron, politik primodial tidak bisa dihindari. Jokowi tidak bisa berbuat banyak soal situasi yang dari tahun ketahun semakin mengarah kepada intoleran terhadap hak hak minoritas, kecuali ada kemauan DPR/MPR untuk mengubah UU tentang Otonomi daerah dan Pemilu. Ubahlah, karena intoleran itu sudah sangat mengkawatirkan.

Pancasila musuh agama. ?
Tadi siang saya bertemu dengan teman. Ada yang menarik. Karena teman ini akademisi, dan juga paham soal agama. Saya tergelitik untuk bertanya seputar pernyataan dari Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Yudian Wahyudi yang menyebut agama merupakan musuh Pancasila. Sebetulnya kalau kitai baca secara utuh ungkapanya itu, tidak ada yang salah. Mengapa ? ada tiga yang harus kita pahami. 

Pertama, Topik bahasannya adalah politik. Kan dia ketua (BPIP). Itu lembaga pendidikan politik. Jadi harus dilihat dalam konteks politik, bukan agama. Kalau dia mengatakan bahwa “ Agama adalah musuh Pancasila, itu dalam konteks politik kebangsaan. Harap maklum bahwa sesuai UUD 45 bahwa Pancasila itu adalah falsafah negara yang setiap warga negara harus mengakui dan mematuhi itu. Apapun idiologi yang mencoba mensabotase Pancasila, maka dia sudah bisa dianggap makar. 

Kedua, Yudian Wahyudi itu adalah intelektual agama. Dia Rektor Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga. Artinya secara ilmu agama dia termasuk mumpuni. Tidak perlu diragukan wawasan kaagamaannya.  Apa yang dia sampaikan itu bukan hanya hipotesa tetapi didukung oleh fakta dan realitas yang terjadi dalam perpolitikan sekarang ini. Hadirnya gerakan khilafah, syariah islam, dan sentimen negatif terhadap nilai nilai keberagaman, itu adalah fakta nilai pancasila tereduksi oleh agama. 

Masih belum paham? contoh kasat mata pilkada DKI adalah realita politik yang tidak bisa dibantah bahwa politisasi agama telah mereduksi nilai nilai Pancasila. Diskriminasi terhadap pemeluk agama lain itu juga contoh fakta rusaknya nilai  pancasila oleh karena agama. Kalau diteruskan fakta yang ada, maka kita sampai pada kesimpulan yang mengkawatirkan akan nasip persatuan dan kesatuan bangsa ini. Padahal bangsa besar seperti Indonesia dengan penduduk diatas 250 juta sangat membutuhkan persatuan untuk bisa membangun berkelanjutan.

Ketiga, Yudian Wahyudi sedang melakukan pendidikan politik kepada masyarakat.  Berharap masyarakat memahami itu, dan punya semangat sama untuk menjaga nilai nilai Pancasila. Dia berharap para elite politik dan tokoh masyarakat ikut bertanggung jawab menjaga nilai nilai Pancasila. Bahwa tidak ada ruang lagi untuk berdebat soal Pancasila. Karena itu sudah final. Yang harus dilakukan oleh semua pihak adalah bagaimana mereka bisa paham mana ruang privat dan mana ruang Publik. Semua orang harus menghormati agama sebagai ruang privat namun ketika masuk ke ruang politik, maka patuhilah hukum dan UUD. Tidak ada saya, atau kamu, tapi kita. Tidak ada islam, atau kristen, atau budha. yang ada adalah kita. Semua kita sama, dan bersaudara. Itulah Pancasila.

Mereka yang reaktif terhadap pernyataan dari ketua BPIP adalah partai yang hidup bergantung dari primordial dan ormas yang cari massa dari primodial. Mereka sudah menjadikan hubungan patron dan clients sebagai sumber bisnis dan kekuasaan. Ini jelas sangat buruk bagi pendidikan politik. Mengapa? Kebangkitan umat bukanlah kebangkitan partai islam atau harakah islam tetapi meningkatnya akhlak umat, yang tangguh, mandiri , amanah, menguasai sains dan mudah dipersatukan dalam semangat gotong royong senasip sepenanggungan. Kalau focusnya kepada kebangkitan harakah dan partai maka yang lahir adalah gerombolan tukang tipu seperti ISIS. Umat hanya jadi korban kebodohan. Itulah esensi mengapa bapak pendiri bangsa ini melahirkan Pancasila. Agar politik negara adalah politik mencerdaskan rakyat. Kebebasan individu tanpa terbelenggu oleh primordial.

Thursday, February 6, 2020

Sikap Jokowi atas ex 600 kombat ISIS?



Pendahuluan
Saya masih ingat beberapa tahun lalu bagaimana para aktifis khilafah begitu bersemangatnya menggaungkan kemenangan ISIS di Irak dan Suriah. Beberapa video diedarkan seakan kemenangan ISIS sudah sesuai dengan janji Allah yang akan melahirkan khilafah memimpin dunia. Apalagi ada video ISIS memenggal pastur. Itu disambut dengan kalimat Allahuakbar. Empat tahun era kejayaan ISIS, tidak sedikit warga negara Indonesia yang pindah ke Wilayah yang dikuasai ISIS. Mereka dinjanjikan, akan dapat jaminan semuanya: listrik, air rumah, gratis. Dan bahkan utang mereka akan di lunasi oleh ISIS. Yang percaya itu bukan hanya orang awam, banyak juga yang terpelajar. Banyak diantara mereka yang membawa anggota keluarganya. Begitu dahsatnya pengaruh propaganda khilafah.

Ketika bergabung dan menjadi Warga di wilayah pendudukan ISIS, mereka disumpah setia kepada ISIS dan siap berjihad untuk ISIS dimana saja berada. Mereka juga membakar passport Indonesia. Namun sejak kekalahan ISIS dimana mana dan akhirnya terpaksa hengkang dari semua wilayah pendudukannya, para mereka yang sudah terlanjur sumpah setia kepada ISIS menjadi stateless ( tidak punya warga negara ). Mengapa saya katakan stateless ? Tidak ada lagi KTP dan passpor. Karena sudah dibakar sebagai bentuk setia kepada ISIS. Mereka juga tidak lagi melapor kepada kedutaan Indonesia di Irak dan Suriah bahwa mereka warga negara Indonesia. Kini mereka terlunta lunta di Kamp pengungsian di perbatasan Suriah.

Apakah negara perlu bertanggung jawab terhadap nasip mereka? Teman saya aktifis islam berkata bahwa ini soal kemanusiaan. Mereka harus di evakuasi dari kamp pengungsiaan untuk kembali ke tanah air. Karena bagaimanapun mereka adalah korban dari propaganda politik, yang membuat mereka bodoh dan tolol. Kepada warga asing saja seperti rakyat Rohingya yang jadi stateless kita bertanggung jawab menampung mereka. Mengapa kepada mereka yang lahir di Indonesia tidak diperlakukan sama. ? Jangan zolim lah. Katanya.

Namun dari sisi hukum, timbul pertanyaan. Apa dasar hukum nya bahwa mereka masih warga negara Indonesia? toh mereka sudah tidak punya passport. Tidak mematuhi aturan sebagai Warga negara Indonesia di luar negeri. Bukankah mereka sekarang di bawah UNHCR? Lantas gimana caranya pemerintah evakuasi? kalau mengkuti standar evakuasi UNHCR, pemerintah harus memberikan pekerjaan dan tempat tinggal bagi mereka. UNHCR jelas tidak mengizinkan pemerintah melakukan program deradikalisasi kepada mereka. Itu melanggar HAM.

Teman saya pengamat analis investasi punya pendapat lain soal rencana pemerintah memulangkan 600 orang ex kombat ISIS. Menurutnya, sejak posisi AS teracam di Irak akibat konflik dengan Iran dan mundurnya tentara AS dari Suriah, bagaimanapun AS ingin menghidupkan kembali semacam ISIS untuk merebut hegemoni mereka di Timur Tengah khususnya di Suriah dan Irak. Kalau sekarang sikap pemerintah ingin meng evakuasi ex Kombat ISIS, itu bisa saja bagian dari tekanan AS atas dukungan investasi ratusan triliun yang ditandangani di Abudhabi kemarin. AS butuh Indonesia untuk tempat mebran ex ISIS agar setiap saat bisa dikirim kembali ke Suriah dan Irak.

Sejak hubungan Beijing dan Jakarta tidak semesra tahun lalu, bandul politik memang ke Washington, para jihadis dan gerakan syariah islam mendapat angin segar untuk semakin kuat pengaruhnya dalam politik nasional, dan ABAS semakin percaya diri untuk the next presiden. Yang dikawatirkan adalah bagaimana bila ex ISIS itu justru menyerang tempat mebran nya sendiri seperti Virus Corona? Indonesia akan runtuh dan berganti dengan khilafah. Yang terjadi, terjadilah…Kata teman. Saya hanya termenung. Semoga tidak!

Identitas ex Kombatan ISIS?
Secara pribadi Jokowi menolak untuk menerima Ex kombat ISIS. Namun nanti tergantung dari ratas ( Rapat terbatas) kabinet. Hasil Ratas ada dua seperti yang diungkapkan oleh Menko Polkam, dievakuasi atau tidak. Kalau dievakuasi tentu ada syarat dan kalau tidak tentu ada alasan. Dalam bahasa politik sikap presiden jelas sebuah diplomasi untuk mengatakan “ tidak bisa menolak begitu saja”. Ini masalah kemanusiaan dan hukum. Jokowi sebagai pribadi satu hal tetapi Jokowi sebagai kepala negara atau presiden lain hal. Dia harus mendengar menteri dan pejabat terkait soal nasip mereka ex combat ISI.

Menurut pakar hukum tata negara sekaligus Guru besar Fakultas Hukum Universitas Sumatra Utara, Profesor Dr M Solly Lubis, mengatakan apabila orang-orang itu terbukti membakar atau menyobek paspor Indonesia secara sengaja, maka status kewarganegaraannya dapat dicabut. Mengapa ? Saya pernah punya pengalaman tahun 2011 waktu ke Eropa Timur. Passport saya dibuka paksa dari cover tambahannya oleh petugas Imigrasi Eropa Timur. Sehingga jahitan tengah dari buku passport itu rusak. Waktu masuk Beijing, petugas imigrasi China meminta saya tidak keluar dari China sebelum ada keterangan dari Kedutaan Indonesia mengenai passport saya rusak.

Saya langsung mendatangi konsulat Indonesia di Guangzou. Di konsulat, proses nya tidak mudah. Mereka tanya detail mengapa sampai passport saya dirusak. Untuk dapatkan passport baru, itu harus ada keputusan langsung dari Dubes. Tentu makan waktu lama. Tetapi karena saya ada teman di DPP Partai, saya katakan agar mereka hubungi nama dan telp seseorang yang saya maksud. Entah mengapa, dalam 4 jam selesai. Namun saya tidak dapat passport baru. Tetapi passpor sekali jalan. Saya tetap harus mendapatkan passport baru di Indonesia, dengan melaporkan kasus itu ke Dirjen Imigrasi. Dari mereka saya paham seperti ungkapan dari Profesor Dr M Solly Lubis. Artinya saya harus hati hati menjaga passport itu. Janga sekali sekali dirusak. Kalau ada yang merusak. Segera hubungi keduataan terdekat.  Secara hukum jelas, kalau orang sudah tidak ada passport lagi atau sampai merusak bahkan membakar passpor maka secara hukum stantus warga negaranya bisa dicabut. 

Mengapa mereka bergabung dengan ISIS.
Kompas TV, Kamis (14/9/2017) pernah menayangkan ex ISIS Nurshadrina Khaira Dhania dalam talks show. Dia, gadis berumur 19 tahun. Awal mula dirinya bergabung menjadi simpatisan ISIS sejak 2015 karena bujuk rayu pamannya yakni Djoko Wiwoho eks pegawai BP Batam yang juga simpatisan ISIS. Selain itu, dia juga penasaran dengan sejumlah kabar simpang siur mengenai ISIS.  Saya seorang pribadi yang curious yang ingin tahunya tinggi, cari-cari sendiri di internet," ujar Nurshadrina. Melalui internet, ia menemukan sebuah blog yang isinya tentang cerita kehidupan umat Muslim di bawah kekuasaan ISIS di Suriah. "Ketemu di Tumblr, ada sebuah kisah orang yang sudah sampai di tanah Suriah. Orang itu menceritakan keadaan di sana," ujar dia.

Nurshadrina juga melihat video-video pengakuan simpatisan ISIS lainnya yang membuat keinginannya untuk berhijrah semakin tinggi. "Mereka mengajak semua Muslim hijrah. Saya lihat video mereka semua. Anak-anak sekolah terjamin kehidupannya, semua yang bagus-bagus, sekolah gratis," kata dia. Bahkan, kata dia, ISIS berjanji kepada dirinya dan lima anggota keluarganya untuk mengganti semua biaya keberangkatan dan menjamin kehidupannya usai sampai di Suriah. 

"Mereka sendiri janji, biaya ke sana (Suriah) akan mereka gantikan. Penggantian utang, ada pekerjaan, gajinya tinggi. Jadi jangan takut kehilangan pekerjaan," ujar Nurshadrina. "Saya sudah termakan dengan berita mereka bahwa kewajiban berhijrah nanti akan masuk surga. Ketika ke sana (Suriah), dunianya dapat, akhiratnya pun akan dapat. Jadi saya ingin keluarga saya juga, saya ajak mereka semua," tuturnya.

Di samping itu, ketika ISIS tampil di Suriah dan Irak, pemerintah Indonesia dengan tegas tidak mengakui ISIS. Karena sikap inilah, para mereka yang sudah terpapar paham khilafah di Indonesia merasa terpanggil untuk membantu saudara muslimnya di Suriah. Mereka anggap ISIS membantu umat islam memerangi rezim Assad yang syiah. Memerangi Assad juga sama dengan memerangi rezim yang anti ISIS, termasuk pemerintah Indonesia. Inilah soal pilihan hidup untuk menjadi jihadis.

Penduduk Suriah yang bergabung dengan ISIS hanya ex residivis para pemerkosa, kriminal yang dibebaskan ISIS dari penjara setelah kota ditaklukan oleh ISIS. Sementara pemuda baik baik  di Suriah tidak ada yang mau bergabung dengan ISIS. Karena mereka tahu dan paham siapa itu ISIS. Mereka tidak mudah ditipu oleh propaganda ISIS. Sementara orang Indonesia dan warga asing lain nya bergabung dengan ISIS lebih karena ketidaktahuan informasi. Umumnya informasi didapat dari ustad dan berita internet yang memprovokasi mereka untuk bergabung dengan ISIS. Apalagi tidak ada fatwa MUI ketika itu yang mengharamkan bergabung dengan ISIS. Jadi dasar mereka bergabung benar benar karena faktor  provokasi ustad dan ingin mengubah nasip yang terpuruk di Indonesia. 

Status mereka setelah bergabung dengan ISIS?
Kalau merujuk Pasal 23 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, terdapat sejumlah hal yang bisa menyebabkan seorang warga negara Indonesia kehilangan kewarganegaraannya. Salah satunya adalah seperti tercantum dalam huruf a yang berbunyi “memperoleh kewarganegaraan lain atas kemauannya sendiri;” dan huruf f yang berbunyi “Secara sukarela mengangkat sumpah atau menyatakan janji setia kepada negara asing atau bagian dari negara asing tersebut;” 

Benarkah UU tersebut bisa diterapkan kepada ex Combatan ISIS? Pertama, mereka tidak pernah pindah warga negara lain. Walau mereka bergabung dengan ISIS, namun ISIS bukan negara. ISIS hanya kolompok kriminal yang melakukan terorisme. Bukan negara yang diakui oleh PBB. Kedua, mereka tidak bisa dilindungin oleh UNHCR. Indonesia yang harus melindungi. Mengapa ? karena mereka tidak diusir karena alasan politik. Mereka pergi atas keinginan sendiri, yang berharap tinggal di negara yang menerapkan hukum islam ( Khilafah Islamiyah). Ketiga, walau mereka sudah tidak ada passport lagi atau passport nya diambil oleh ISIS atau dibakar. Itu tidak otomatis menghilakan status warga negara nya. Itu harus melalui pengadilan untuk memutuskan apakah mereka masih WNI atau tidak.  Mereka kini  bersama warga asing yang tergabung dengan ISIS berjumlah 73.000, dalam status  pengungsi di kamp Al-Hawl dan di kamp lainnya.

Dilema
Ada dua solusi. Pertama, para ex Combatan ISIS itu dievakuasi dari kamp pengungsian. Kedua, tidak di evakuasi. Kalau pilihan pertama, yang jadi masalah adalah mereka bukan hanya dicurigai tetapi memang sudah terpapar paham radikal. Termasuk anggota keluarga yang ikut ayah atau suaminya. Apapun dalih mereka merasa dibohongi, itu tidak menjamin  bahwa mereka sudah tobat. Kalau mereka ditampung di kamp deradikalisasi, timbul lagi permasalahan. Seperti apa Kamp deradikalisasi itu? Jangan jangan akan menimbulkan fitnah baru lagi terhadap pemerintah, seperti kasus muslim Uighur di China yang ditempatkan di Kamp deradikalisasi.

Pertanyaan berikutnya adalah apakah setelah mereka usai mengikuti program deradikalisasi di kamp dapat dipastikan mereka bersih dan setia kepada NKRI? Masalahnya resiko penyebaran radikalisasi di luar Kamp jauh lebih dahsat. Banyak ormas yang sampai sekarang exist, tidak merasa takut menyebarkan paham khilafah. Bahkan mereka berani menantang  pemerintah yang ingin mengatur dakwah di Masjid agar tidak menyebarkan paham radikal. Belum lagi politisi seperti Gerindra dan PKS ikut membela penyebaran paham radikal. Faktanya sampai sekarang pemerintah masih dianggap gagal meredam radikalisme itu. Mau tambah lagi dengan ex combatan? 

Kedua, kalau pemerintah menolak mengevakuasi mereka dari kamp pengungsian, maka timbul pertanyaan, apakah Indonesia bisa menolak deportasi yang dilakuan pemerintah Suriah terhadap warga negara Indonesia itu? Karena bagaimanapun mereka tidak masuk dalam perlindungan UNHCR. Ya harus indonesia yang tanggung jawab. Penolakan indonesia akan berimplikasi buruk terhadap HAM international. Ini bukan soal politik tetapi soal kemanusiaan.  Dua solusi yang memang dilema. Dimakan roti emak mati, engga dimakan Ayah mati.

Menentukan sikap
Menghadapi dilema tersebut , pemerintah seyogianya jangan memilih  yang mudharatnya lebih besar.  Perhatikan. Ada 73.000 pengungsi Ex Kombatan ISIS di kamp pengungsi. Mereka memang bukan tentara ISIS. Yang jelas tentara berada di penjara di Suriah. Umumnya mereka adalah keluarga dari pendukung ISIS. Namun pengembalian mereka ke tempat asal mereka menimbulkan kekawatiran atas rencana besar khilafah islam untuk menyebarkan pengaruhnya ke negara lain. Tanpa dukungan AS tidak mungkin ISIS dapat melakukan itu. Antara ISIS dan AS saling memanfaatkan. AS punya kepentingan mengamankan geopolitik dan geostrategisnya, sementara ISIS ingin meluaskan pengaruh idiologinya mendirikan khilafah islam di seluruh dunia.

Anda mungkin mengerutkan kening hubungan antara AS dan ISIS.  Tapi semua tahu bahwa ISIS itu terusan dari AL Qaeda yang dibentuk oleh AS. Tujuannya melawan pengaruh Rusia dan Iran. Walau AS bersama koalisi Arab, Irak, Turki, bersama dengan Rusia dan Iran mengusir ISIS di Irak dan Suriah, namun dalam perjalanannya, AS menarik diri dari Koalisi. Secara tidak langsung AS mengingkari kemitraanya dalam koalisi melawan ISIS di Suriah. Tentu keputusan itu merupakan hadiah bagi ISIS dan peluang besar untuk mengulang kejayaannya merebut Suriah dan Irak seperi tahun 2014. 

Ada indikasi dua tahun setelah kehilangan wilayah terakhirnya di negara Iran, ISIS melakukan reorganisasi di Irak. Mereka  bersembunyi di Pegunungan Hamrin Irak. ni adalah pegunungan yang panjang, dan sangat sulit bagi tentara Irak untuk mengendalikan. Ada banyak tempat persembunyian dan gua. AS jelas akan memperkuat ISIS dengan senjatan dan uang. Karena As tidak ingin kehilangan asset ( proxy) yang sangat berharga di Irak sejak kekalahan ISIS dan semakin menguatnya pengaruh Iran di Irak. Apalagi setelah perisitiwa pembuhunah Qasem Soleimani hubungan Iran dan Irak semakin kental dan AS semakin tersudutkan di Irak. Jadi rencana untuk menghidupkan kembali ISIS itu menjadi rasional untuk menyelamatkan perang kepentingan AS di Irak dan Suriah.

Para mereka yang berasal dari beberapa negara , yang bergabung dengan ISIS, itu bukanlah hanya sekedar terpapar radikalisime ISIS. Tetapi lebih dari itu selama mereka berada di Suriah, di pendudukan ISIS, mereka telah menerima dokrin terus menerus. Mereka juga menyaksikan dengan wajah dingin penyembelihan para musuh ISIS. Itu bukan hanya para kombatan tetapi juga keluarga mereka. Anda bisa bayangkan anak anak dan wanita yang bertahun tahun berada di wilayah konflik dengan dokrin jihadis, itu tidak mudah mengubah mereka berbelok haluan. Mereka sudah terlatih bersiasat , termasuk berbohong demi mencapai tujuannya.

Kalau mereka kembali ke tanah air, maka design intelijen mengendalikan mereka pasti terus berlanjut. Apalagi ISIS dalam reorganisasinya mendapatkan dukugan dana besar dari AS. Dana ini akan mengalir untuk membina para jihadis yang pulang ke negara asalnya. Mereka akan jadi agent penyebaran pengaruh khilafah islamiah dan sekaligus sebagai mesin pembunuh kapan saja. Jangan dianggap enteng. 600 orang yang militan itu sama dengan kekuatan 60 juta orang yang diam. Di Irak dan Suriah , tadinya ISIS hanya ratusan saja. Tetapi ratusan itu bisa meluluh lantakan negeri seperti Suriah dan Irak.

Ingat peristiwa teroris di Surabaya yang melibatkan anak dan istri dalam aksi bomb bunuh diri terhadap Gereja.  Aksi ini akan sangat efektif sebagai alat menekan pemerintah untuk mengikuti kebijakan geopolitik AS. Pada waktu bersamaan Partai yang memberikan dukungan kepada ISIS akan mendapatkan dana politik dari AS untuk merebut kemenangan dalam setiap pilkada dan pemilu. Agar mereka menjadi asset ( proxy) AS untuk mengamankan geostrategis AS. Seyogianya pemerintah dalam melihat persoalan pengembalian ex kombatan ISIS ini tidak hanya dari sisi kemanusiaan terhadap nasip 600 orang itu yang ada di kamp pengungsian di Suriah. Tetapi lebih dari itu adalah kemanusiaan yang adil dan beradab bagi 250 juta rakyat Indonesia. 

Mayoritas rakyat Indonesia itu inginkan damai. Secara mental mereka tidak siap ribut seperti Suriah. Kalau sampai terjadi, ini akan jadi perang horisontal yang panjang dan penuh amis darah. NKRI akan pecah. Mengapa ? Selama lebih 10 tahun pemerintah gagal meredam radikalisme. Bahkan sekarang semakin pesat perkembangannya. Karena itu, suka tidak suka, selama lebih dari 10 tahun politik kita seperti api dalam sekam. Hanya butuh ledakan kecil maka akan meluas tanpa bisa dikendalikan lagi. Sebaiknya para elite politik jangan menggampangkan masalah ex kombatan ISIS ini. Jangan karena politik dibawah tekanan AS lantas ragu membela 260 juta rakyat demi menyelamatkan 600 ex kombatan ISIS.

Pendidikan politik.
Kombatan ISIS adalah WNI, seperti juga WNI yang kena ancaman virus korona, mereka juga mesti diurus negara. Karena memang negara mesti hadir. Dan penanganan yang tepat justru jadi management knowledge yang mahal untuk SOP masa depan," kata Mardani dalam keterangan tertulis. Dia membandingkan polemik tersebut dengan pemulangan WNI dari Tiongkok yang terancam wabah virus korona. Kalau dicermati sekilas, ungkapan Mardani itu terkesan sangat bijak. Tetapi sebetulnya ungkapan itu bernuansa politik. Padahal  WNI di Wuhan dan di pengungsian Suriah, dua hal yang berbeda, dalam hal esensi maupun konteks persoalannya.

Umat islam yang merupakan basis suara PKS, khususnya orang awan, langsung punya konotasi “ kalau urusan dengan China , dengan orang kafir , semua gampang. Tapi kalau urusan dengan orang islam, semua jadi sulit”. Orang awam tidak paham siapa dan mengapa WNI ada di China itu. Siapa dan mengapa WNI yang ada di Suriah bersama ISIS. Kalaupun mereka sedikit paham, itu tidak mempengaruhi stigma bahwa pemerintah zolim kepada orang islam. Ini cara berpolitik yang benar benar tidak mendidik.

Mengapa ? Di dalam negara itu ada rakyat, Ormas, tokoh  masyarakat, pemerintah. Semua punya tanggung jawab masing masing. Engga bisa kalau bicara negara artinya itu hanya melulu soal pemerintah. Artinya kalau negara diminta hadir dalam setiap persoalan, maka kita semua juga harus ikut bertanggung jawab terhadap persoalan bangsa ini.

Seharusnya Mardani memanfaatkan momentum polemik evakuasi WNI ex ISIS ini untuk melakukan pendidikan politik. PKS harus berkata kepada publik “ Jangan pernah percaya jargon khilafah islamiah. Itu semua adalah  pembodohan dan penipuan. Lihatlahn contoh umat islam yang sekarang ada di kamp pengungsian. Mereka meratap atas kebodohannya dan berharap dipulangkan ke Indonesia.”

Seharusnya MUI dan Ormas Islam juga mengeluarkan pendapat keagamaan, bahwa mempercayai ISIS atau sejenis yang mempropagandakan khilafah adalah haram. Ini momentum yang tepat. Saat yang tepat untuk mendidik masyarakat dan sekaligus mencerdaskan masyarakat agar tidak melakukan kezoliman terhadap dirinya sendiri.

Seharusnya pemerintah, menteri agama, juga mengeluarkan pernyataan “ Ex ISIS ini adalah bukti nyata kalau rakyat tidak patuh kepada pemerintah. Dulu diperingatkan jangan ke Suriah tetapi bandel dan merasa benar dengan keyakinan beragama. Padahal salah. Kalau sudah begini kan membuat repot semua orang. Bukankah biaya kepulangan itu menggunakan uang pajak rakyat termasuk pajak umat agama lain yang dianggap kafir oleh pengusung khilafah islamiah.”

Dengan sikap seperti tersebut diatas, maka polarisasi di tengah masyarakat, tidak terjadi. Masyarakat focus kepada nilai nilai kemanusiaan terhadap nasip saudaranya yang jadi korban kebodohan ISIS. Tetapi dengan cara membela mereka Ex ISIS itu, dengan alasan kemanusiaan , dan menyalahkan faktor kemiskinan dan ketidak adilan sehingga paksa pemerintah tanggung jawab mengevakuasi mereka, itu semakin menimbulkan persoalan politik, bukan lagi kemanusiaan. Jangan salahkan orang lain bila beranggapan partai dan Ormas juga berperan mempropagandakan orang berangkat dan bergabung dengan ISIS. Lantas mengapa negara harus tanggung jawab memulangkan mereka.?

Lihatlah China ketika ada wabah virus corona, itu kesempatan bagi elite politik mencerdaskan rakyat agar rakyat tidak lagi mengkonsumsi hewan liar, dan mengutamakan kesehatan dengan menjaga kebersihan dan menjaga lingkungan tetap sehat. Tanpa disadari wabah ini menjadi ajang pendidikan mental terbaik secara nasional dan sekaligus upaya revolusi budaya dari hedonis menjadi egaliter seperti prinsip komunisme. Setelah wabah virus ini, China akan menjadi lebih kuat secara mental. 

Bangsa ini terpuruk dan sulit mengatasi hambatan menjadi peluang seperti China, karena para elite tidak pernah mendidik dan mencerdaskan masyarakat secara politik. Mereka justru memperbodoh rakyat dan menggiring narasi dalam setiap persoalan agar rakyat tergantung kepada  elite. Ini benar benar berpolitik dengan cara cara Machiavellianisme. Sangat destruktif terhadap pendidikan mental dan akhlak. Kalau sikap ini tidak diubah, negari ini sangat renta dari pengaruh globalisasi. Kita benar benar berada diatas tungku dan setiap orang mengenggam bara. 

Bukan sistem yang salah tapi moral.

  Kita pertama kali mengadakan Pemilu tahun 1955. Kalaulah pemilu itu ongkosnya mahal. Mana pula kita negara baru berdiri bisa mengadakan pe...