Saturday, April 20, 2019

Presiden terpilih secara syah.


Kalau di AS, presiden dipilih electoral college. Jumlahn anggota Electoral College ini ada 538. Setiap negara bagian punya jumlah 'elector' yang jumlahnya proporsional dengan jumlah penduduk. Untuk menjadi presiden ,paslon  harus mendapatkan setidaknya 270. Artinya AS tidak menerapkan pemilihan langsung. Mengapa ? Ya, ketika seseorang mencoblos, sebenarnya yang mereka pilih adalah Electoral College. Di China juga sama. Presiden dipilih oleh 1000 anggota Komite Rakyat. Anggota komite rakyat ini dipilih langsung oleh rakyat lewat pemilu berjenjang dari tingkat Desa sampai ketingkan provinsi. Setiap provinsi dan Kota diwakili oleh anggota komite rakyat yang jumlahnya proporsional dengan jumlah penduduk.

Sebelum amandement UUD 45 tahun 2003, presiden dipilih oleh anggota MPR melalui sidang Umum MPR. Anggota MPR ini tidak semua dipilih langsung dalam Pemilu. Anggotanya terdiri dari anggota DPR, Perwakilan ABRI, dan Golongan. yang dipilih secara langsung adalah anggota DPR. Sementara perwakilan ABRI dan Golongan ditentukan oleh pemerintah. Artinya semua pihak terwakili untuk menentukan siapa pemimpin nasional. Kalau ada sengketa politik juga mudah menyelesaikannya. Yaitu melalui sidang istimewa MPR. Rapat plenno digelar, presiden bisa jatuh seketika, atau UU bisa dibatalkan. Karena tap MPR kekuatan sama dengan UUD.

Setelah reformasi, ketentuan pemilihan presiden diubah. Tidak lagi melalui perwakilan MPR tetapi dipilih langsung oleh rakyat. Metodenya pemilihan mengikuti UUD 45, Pasal 6A ayat (3) dan (4). Gimana? Pasal ayat (3) adalah syarat untuk terpilihnya seorang presiden. Apa syaratnya ? harus mendapatkan suara lebih dari 50% dengan sedikitnya 20% suara lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia. Ayat 3 ini untuk pilpres yang paslon lebih dari 2. Artinya kalau tidak ada paslon yang memenuhi syarat ayat 3 itu maka dipilih paslon yang jumlah suaranya paling mendekati ayat 3 itu untuk mendapatkan dua calon. Itu artinya pemilu dilakukan dua periode (Ayat 4). Siapa yang mendapatkan suara terbanyak, maka dialah sebagai pemenang. 

Lantas bagaimana bila suara banyak tidak mencerminkan mayoritas provinsi di Indonesia ? Seperti halnya sekarang berdasarkan QC Jokowi mendapatkan suara terbanyak, sementara Prabowo memenangkan lebih banyak jumlah provinsi memilihnya ?  Tahun 2014 masalah ini pernah dipertanyakan ke Mahkamah Konstitusi. Hasilnya keluarlah putusan MK No. 50/PUU-XII/2014. Apabila pasangan capres hanya 2, maka yang berlaku adalah suara terbanyak, tanpa memperhatikan sebaran pemilih lagi. 

Lantas dimana keadilan dengan provinsi yang memenangkan paslon gagal jadi presiden? Sistem politik kita menganut desentralisasi dan pemisahan kekuasaan yang jelas. Artinya kekuasaan Presiden bukan satu satunya kekuasaan di Indonesia. Dia bukan raja atau bukan otoriter. Dia hanya administratur negara dan pemerintahan. Tugasnya melaksanakan amanah UU dan itu berlaku bagi semua provinsi. Jadi walau Jokowi kalah di Sumbar, Aceh, Sumsel, dan lainnya,  secara UU dia wajib membangun provinsi itu.  Setelah Jokowi jadi presiden maka dia bukan lagi presiden yang memilihnya tetapi juga yang tidak memilihnya. Dan itu diikat dengan UUD, UU dan sumpah jabatan. 


Thursday, April 18, 2019

Dewasa berdemokrasi



Dalam sistem demokrasi, kekuatan politik itu bukan melulu berasal dari lembaga formal tetapi juga lembaga informal seperti media massa. Media massa adalah kekuatan keempat dalam sistem demokrasi yang diakui oleh UU. Artinya kebenaran itu bukan monopoli lembaga formal saja. Masyarakat juga berhak secara langsung mengawasi jalannya proses demokrasi. Nah dalam proses pemilu dikenal dengan Quick Count. Siapa yang melaksanakan quick Count itu? Ya lembaga Survey. Siapa yang menentukan kredibilitas dari Lembaga Survey itu? ya masyarakat lewat media massa. Contoh kalau ada lembaga Survey yang mengeluarkan hasil survey dan quick count namun tidak diakui profesinalitas nya oleh media massa maka hasil survey itu tidak akan diliput dan tidak akan dijadikan referensi berita.

Semua orang yang memahami aturan demokrasi harus paham ini. Bahwa dia tidak bisa seenaknya mengatur jalannya pemilu dengan berkonspirasi dengan KPU dan Bawaslu. Andaikan pemerintah merekayasa kemenangan pemilu terhadap Jokowi. Itu akan mudah dikoreksi oleh Lembaga survey. Media massa akan memberitakan itu sebagai bahan berita seksi. Seandainya pemerintah tetap ngotot menentukan hasil sepihak, maka ada lagi yang akan bersikap keras terhadap itu. Siapa ? Pelaku pasar. Investor akan menarik posisi di pasar uang dan modal. Ini dampaknya akan sistemik. Ini jauh lebih ditakuti oleh pemerintah daripada ancaman aksi people power. Makanya pemerintah yang sehat sangat paham bagaimana menjaga proses pemilu berlangsung bersih.

Mengapa ?ini menyangkut legitimasi hasil pemilu. Selisih  kemenangan itu tidak penting. Yang penting kemenangan yang berkualitas atas dasar prinsip dan nilai nilai demokrasi. Saya perhatikan soal proses pemilu ini sangat dijaga oleh Jokowi dengan memberikan kekuasaan penuh kepada KPU dan Bawaslu yang diamanahkan UU melaksanakan pemilu. Jokowi juga tidak terganggu dengan adanya lembaga survey yang melakukan quick count. KPU pun tidak bisa menghalangi media massa melaporan hasil quick count dari lembaga survey itu. Mengapa ? itu memang hak masyarakat untuk mengawal proses  pemilu agar jujur dan adil.

Hasil quick count memang tidak resmi untuk menentukan siapa pemenang. Namun itu bukan berarti tidak bisa dipertanggung jawabkan. Andaikan hasil survey dan quick count itu berjarak jauh dengan real count KPU maka masyarakat sendiri yang akan menghukum lembaga survey itu. Mereka akan ditinggalkan oleh masyarakat. Tentu lembaga survey tidak mau ambil resiko. Karena profesi ini menyangkut periuk nasi mereka. Di negara yang sudah maju yang menganut demokrasi, quick count dianggap sama dengan real count. Biasanya kandidat yang kalah berdasarkan quick count langsung memberikan ucapan selamat kepada pemenang. Para pendukung yang kalah bisa menerima. Itulah indahnya demokrasi. 

Saya salut dengan Fauzi wibowo yang ketika mengetahui hasil quick count dia dinyatakan kalah terhadap Jokowi dalam Pilkada DKI, dia langsung telp Jokowi untuk mengucapkan selamat. Begitu juga Ahok yang segera telp Anies mengucapkan selamat.  Jadi menentang hasil quick count dengan tuduhan tendesius secara negatif adalah sikap kekanakan. Belum dewasa berdemokrasi. Menang kalah itu biasa. Tapi yang luar biasa adalah lapang dada menerima kekalahan. Saya yakin Prabowo-Sandi adalah demokrat sejati, tetapi ada penumpang gelapnya yang memang anti demokrasi. Bagi mereka pemilu adalah segala galanya. Soal hidup mati.

Tuesday, April 9, 2019

Niat buruk



Tadi teman yang punya business hedge fund memperlihatkan koran bisnis “ Coba kamu baca berita ini “ katanya. Judulnya menyebut seorang CEO dan pemegang saham mayoirtas Perusahaan Airline terkenal di Asia meninggal. Dalam berita itu menyebutkan bahwa semua karyawan mengancam boikot kerja apabila CEO digantikan oleh anggota keluarga dari pemegang saham. 
“ Mengapa sampai segitunya karyawan tidak menyukai keluarga CEO itu?
“ Reputasi mereka sangat buruk. Bukan rahasia umum kelakun keluarga pemegang saham itu sangat hedonis. Tempramental dan tidak memahami sepenuhnya bagaimana bisnis airline. Tapi mereka mau berkuasa di perusahaan.”
“ Ok. Apanya yang menarik bagi saya untuk mengetahui ini ? 
“ Perusahaan itu punya utang off balance sheet sebesar 6 kali dari asset nya. Semua utang itu non arbitrase. Itu artinya value perusahaan itu tinggi sekali. Bisnis model mereka bertumpu kepada kemitraan dengan vendor pesawat terbang dan mendapatkan dukungan dari lembaga keuangan papan atas. “
“ OK. “
“ Saya kenal dengan ketua konsorsium lender perusahaan itu. Mereka sedang cemas. Kawatir RUPS menunjuk salah satu anggota keluarga sebagai CEO. Ini akan berdampak kepada boikot karyawan. Harga saham akan jatuh. Nah mereka ingin saya terlibat akuisisi perusahaan itu.
“ Berapa kira kira nilai akuisisi tersebut “
“ Menurut analis nilainya sekitar USD 3 miliar.”
“ Wow.Luar biasa. Dampak dari bad reputasi”
“ Kamu tahu.” katanya “ program bisnis dari salah satu direksi yang akan menggantikan CEO itu adalah menghentikan ekpansi yang sudah direncanakan oleh pendiri dan CEO yang lama. “
“ Apa alasannya ?
“ Untuk mengurangi utang. Padahal kamu tahu kan, utang itu semua off balance sheet. Tetapi sudah bisa ditebak bukan itu alasan sebenarnya. Dia tidak mau menerapkan keterbukaan dengan  lender. Dia ingin bebas menjarah perusahaan itu sampai tidak ada lagi yang tersisa.”
“ Dan itu terbaca oleh karyawan”
“ Tepat sekali. Dan tentu jadi target saya.” Kata teman itu dengan tersenyum. 
“ gimana strateginya ? 
“ Kita akan mendukung penuh anggota keluarga dalam RUPS. Agar salah satu dari mereka jadi CEO. Setelah itu lender akan panik. Karyawan demo.Harga saham jatuh. Saat itulah kita masuk”
“ Kita ?
“ Ya kamu juga.”
“ No way. “ kata saya menepiskan tangan dihadapannya.

Saya termenung. Tadi siang saya membaca koran digital dimana team Pakar Prabowo-sandi berencana apabila menang maka mereka akan menghentikan sebagian program pembangunan infrastruktur yang udah direncanakan era SBY dan dilaksanakan oleh Jokowi. Caranya? mereka akan menyisir semua proyek yang sudah direncanakan dan sedang dilaksanakan, untuk dipilah mana yang harus dihentikan atau diteruskan. Apa tujuannya? Untuk mengurangi utang. Padahal semua anggaran infrastruktur itu dibiayai dari luar APBN atau off balance sheet atau PINA. Dimana sumber pembayaran utang itu berasal dari proyek itu sendiri tanpa mengorbankan penerimaan negara dari pajak. 

Kalau begitu, mengapa harus dikurangi program pembangunan infrastruktur ? karena bagi mereka pembangunan berbasis off balance sheet itu tidak membuat mereka bebas menggunakan sumber daya negara. Engga ada duit yang bisa dibancaki. Ya gimana mau dibancakin?, Semua pembiayaan itu diawasi oleh lender dan dikerjakan oleh EPC yang berkelas dunia, dan harus dipastikan layak secara ekonomi agar bisa mengembalikan pinjaman. Cara seperti itu engga menarik bagi mereka yang berniat ingin hidup senang dari penguasaan sumber daya negara. Jadi sama dengan ulah keluarga CEO cerita diatas.

Mau tahu gimana dahsyatnya penjarahan uang negara secara sistematis dan legitimit terjadi? Liatlah APBD DKI.  Laporan Keterangan Pertanggung jawaban (LKPJ) Guberur Tahun 2018 di DPRD DKI Jakarta, Selasa (9/4/2019), ternyata menurut anggota DPRD DKI Bestari Barus, serapan anggaran tinggi tetapi yang dirasakan rakyat sangat rendah. Apa artinya ? Rp. 72 triliun uang APBD tidak efektif. Yang bisa dirasakan langsung oleh rakyat sangat kecil. Kemana uang itu? ya SKPD itu jago membuat program untuk belanja yang sesuai dengan SOP sehingga tidak melanggar hukum. Padahal era Ahok serapan anggaran rendah namun hasilnya  dapat dirasakan oleh rakyat DKI.  Ya karena sebagian besar pembangunan infrastruktur DKI dibiayai Ahok lewat off balance sheet. Sama dengan Jokowi yang sebagian besar anggaran infrastruktur dibiayai dari off balance sheet.

Nah kalau Prabowo menang dan benar menjalankan program yang mereka usung tersebut. Maka yang terjadi tidak ubahnya dengan DKI. APBN habis, hasilnya tidak optimal dirasakan lagnsung oleh rakyat. Pemimpin setiap hari sibuk melayani nyinyiran rakyat lewat media massa. Hari hari hanya diisi dengan retorika populis dan agamais. Investor lokal dan asing hengkang keluar negeri. Tanpa terasa waktu habis, uang tak bernilai, produksi jatuh. Pemain hedge fund akan masuk dengan menawarkan program solusi lewat akuisisi seperti  kasus Venezuela. Apa itu ? Akuisisi dengan skema NATO ( No alternative to objection). Patuh, atau mati kelaparan. Akhirnya hanya masalah waktu negeri kita akan dikuasai pemain hedge fund tanpa ada lagi kehormatan. Karena kemitraan yang tidak equal. Benar benar masa depan yang buruk. Karena niat buruk. Semoga Jokowi menang. 

Thursday, April 4, 2019

Kepemimpinan.

Salah satu direksi holding saya mengundurkan diri. Alasannya karena dia ingin focus dalam pengobatan kanker nya yang sudah stadium 4. Saya harus mencari penggantinya. Data dari HRD saya pelajari semua. Pendidikan tidak menjadi perhatian saya. Focus saya kepada track record setiap calon yang pantas masuk seleksi. Setelah ditentukan siapa yang pantas ikut seleksi, proses test dilakukan. Akhirnya tersedia dua calon yang lolos. Saya harus memutuskan salah satu dari mereka. Saya panggil mereka untuk ikut wawancara. Wawancara ini tidak dilakukan dikantor tetapi di cafe. Situasi sangat santai. Mengapa?karena saya ingin mengetahui karakter mereka.

Dalam suasana santai itu saya bercerita tentang kehidupan sosial. Tentang ketidakadilan. Tentang ketidak seimbangan ekonomi global. Tentang demoralisasi. Saya perhatikan salah satu mereka, tidak terkesan dengan cerita saya itu. Keliatan dari wajahnya. Keningnya tidak bergerak. Matanya tidak terlihat bersinar. Yang satunya keliatannya antusias namun tidak cepat menanggapi. Sementara yang nampak tidak terkesan dengan kata kata saya, justru cepat sekali menanggapinya. Tanggapanya seperti dia ingin jadi ratu adil, orang suci dan superhero yang ingin mengubah dunia. Sementara yang antusias mendengar saya bicara lebih suka menyimak.

Usai ketemu mereka, saya kirim WA ke Direktur HRD bahwa saya memilih calon yang tidak cepat menanggapi kata kata saya itu. Dia mantan direktur Bank di Eropa. Bagi saya, orang yang terlalu cepat menanggapi dan menempatkan dirinya sebagai solusi, itu tanda dia tidak bisa menjadi solution provider. Mengapa ? penyedia solusi bukan orang yang terlalu banyak bicara dan yakin dengan pikirannya tetapi orang yang mau mendengar. Setiap solusi tidak ada yang menjamin semua akan beres sekali ayun. Setiap solusi selalu melahirkan masalah baru dan manusia berkembang karena justru ada masalah. Tanpa ada masalah, manusia atau organisasi akan stuck.

Tugas pemimpin bukan menghindari masalah. Seperti, gaji kamu kecil, saya akan naikan. Produksi rendah, saya akan naikan. Efisiensi rendah, kita akan naikan. Laba rendah, saya akan naikan dan lain sebagainya. Memang kedengarnya dengan keputusan itu masalah selesai. Tetapi lupa. Pada waktu bersamaan masalah baru yang lebih rumit muncul. Gaji naik akan meningkatkan biaya tetap. Meningkatkan produksi akan meningkatkan biaya produsksi dan pemasaran. Peningkatan efisiensi akan meningkatkan sistem pengawasan. Peningkan laba membutuhkan ekspansi. Semua itu berujung kepada anggaran. Pengeluaran pasti terjadi pemasukan belum tentu.

Jadi tugas pemimpin itu bukan sekedar menghindari masalah tetapi bagaimana menghadapinya. Mengapa ? Pemimpin tidak bisa membuat keputusan yang bisa memuaskan semua orang. Karena pemimpin bukan pedagang es krim. Seorang pemimpin harus bisa melihat persoalan secara menyeluruh dan menyelesaikannya melalui proses, berdasarkan skala prioritas. Engga bisa semua hal diselesaikan sekaligus. Itu utopia namanya. Perhatikan cara kerja Jokowi, periode petama kekuasaanya, dia focus merestruktur APBN dan sistem pengawasan. Mengapa ? kalau APBN sehat, kredibel maka kepercayaan publik semakin tinggi. Kebijakan ekonomi lebih transparent. Dan Jokowi sukses. Indonesia mendapatkan predikat investment grade. Diakui dunia.

Periode kedua, Jokowi akan focus kepada pengembangan SDM. Mengapa ? dengan APBN sehat maka financial resource akan terbuka lebar, investasi akan meningkat, dan itu butuh SDM. Bukan SDM bayar orang tetapi bayar kerjaan. Bayar kinerja. Bayar profesionalitas. Saat itulah orang bisa merasakan kemakmuran. Bukan karena subsidi tetapi karena kerja kerasnya dan kompetensinya. Harga naik tidak lagi dikutuki karena peningkatan penghasilan jauh leih tinggi dari kenaikan harga. Jadi, pilihlah pemimpin yang tidak menjanjikan kemudahan, tetapi pilihlah karena dia mau bekerja. Sekali anda percaya dengan orang yang menjajikan kemudahan, saat itulah anda jadi korban “ modus”

Wednesday, April 3, 2019

Distrust pada KPU dan BAWASLU.


Semakin mendekati hari H pemilu 17 April, kubu pasangan nomor 02 semakin paranoid dengan KPU. Bahkan akan mengancam membawa kasus kecurangan tingkat international.  Semua kecurigaan yang mereka sampaikan sampai sekarang tidak terbukti. KPU dapat dengan mudah membantahnya dengan bukti. Apalagi ? Namun mereka tetap saja paranoid. Amin Rais mengancam akan melibatkan people power kalau sampai ada kecurangan. “ Menurut saya, sikap paranoid dari kubu 02 itu tidak lebih sikap tidak percaya diri dan rasa tidak aman karena membayangkan hal buruk kalau sampai pasangan 02 gagal jadi presiden. “ kata teman saya pengacara. “ namun sikap paranoid itu semakin menegaskan bahwa pasangan 02 sedang membangun bad image terhadap sistem pemilu di Indonesia dan tujuannya adalah melahirkan distrust terhadap lembaga tersebut.” lanjutnya.

Padahal pasangan 02 itu diusung oleh partai yang punya wakil di DPR yang terlibat dalam menyusun UU PEMILU. Mereka setuju dengan UU PEMILU, dan karenanya menjadi UU yang harus dijaga oleh semua partai berserta kekuatan politik nasional. Bagiamana kalau terjadi kecurangan ? Itupun sudah disediakan kanalnya agar pihak yang merasa dirugikan punya hak menuntut keadilan. Caranya? Kalau kecurangan hasil pemilu, maka bisa dibawa ke Mahkamah Konstitusi. Silahkan bertarung di MK untuk membuktikan kecurangan itu terjadi. SIdangnya pun terbuka untuk umum. Kalau ada pelanggaran kampanye ya ada BAWASLU yang akan menjadi hakim. Dari sejak TPS masing masing calon menempatkan wakilnya sebagai saksi. Rakyatpun bisa menjadi saksi dengan menyebarkannya lewat sosial media atau ikut gotong royong terlibat dalam sistem IT kawal pemilu.

Belum cukup ? lembaga survey pun akan terlibat dalam quick count untuk menghitung secara jenial akademik hasil pemilu sebelum resmi di umumkan KPU.  Berdasarkan pengalaman, hasil quick count tidak jauh beda dengan hasil resmi yang diumumkan KPU. Jadi kalau KPU mencoba merekayasa hasil pemilu akan mudah diketahui oleh publik. Dan tentu tidak mungkin KPU mau mengorbankan legitimasi hasil pemilu hanya karena masalah politik menguntungkan salah satu calon. Apalagi pemilu ini dibiayai oleh rakyat lewat APBN yang mencapai Rp24,8 triliun. Artinya harga untuk mendapatkan seorang presiden dan wakil itu mencapai 24,8 Triliun. Kalau dibagi untuk dapatkan 575 anggota DPR maka itu artinya setiap korsi seharga Rp. 43 miliar. Itu jumlah engga kecil. Mahal sekali taruhannya kalau hanya ingin menjadikan pemilu main main.

Dan lagi bagi indonesia yang menerapkan sistem demokrasi langsung, hasil pemilu sangat menentukan kekuatan legitimasi pemimpin terpilih. Semakin clean hasil pemilu semakin kuat posisi tawar politik dan financial negara dihadapan komunitas dunia dan pasar uang. Artinya hasil pemilu sangat menentukan masa depan pembangunan nasional yang tidak bisa dipisahkan dengan faktor eksternal. Nah kalau sampai akhirnya hasil pemilu tetap tidak diakui sebagai output dari sistem yang disepakati bersama, maka saya yakin niat yang ingin menuntut sampai ke PBB dan aksi people power tidak lain merupakan upaya untuk membangun distrust terhadap pemerintah yang syah. 

“ Bagi yang kalah dan tidak bisa menerima kekalahan itu sebetulnya sadar bahwa dari awal mereka sudah tahu akan kalah. Namun bagi mereka Pemilu bukan akhir dari segala galanya. Perjuangan mereka adalah merebut kekuasaan dengan cara menciptakan chaos politik dan sosial.  Makanya upaya mengugat hasil pemilu melalui jalur diluar system dan UU yang ada,  tak lain untuk membangun image distrust terhadap pemenang pemilu.“ kata teman.

“ Nah mereka sangat paham bahwa likuiditas indonesia tergantung kepada pasar uang. Apa jadinya kalau gugatan international dan people power itu terus dilakukan berjilid jilid ? Lambat namun pasti  credit rating kita akan jatuh dan kalau jatuh akan berdampak sistemik. Rupiah akan terjun bebas dan pasar uang mengering ditinggal investor. Negara kita akan jadi negara gagal. Saat itulah  pejuang khilafah tampil sebagai alternatif. Revolusi sosial terjadi, kaum kafir dibantai.  Balas dendam politik tidak bisa dihindari. Disintegrasi akan terjadi meluas. Akan terbentuklah negara negara kecil. Bali, Manado, sebagian Kalimantan. Papua , akan memisahkan diri dari NKRI. 

“ Kalau itu terjadi, masa gelap negeri ini akan berlangsung sangat lama dengan korban 10 kali dari korban sipil perang Suriah. Semoga para elite politik yang paranoid segera sembuh dan kalau tidak juga sembuh, mohon TNI dan POLRI bersikap tegas. “ Lanjut teman. 

Sampai dirumah saya mendatangi kamar tidur cucu saya. Saya peluk mereka. Saya membayangkan orang tua sebelum saya yang telah berkoban untuk negeri ini agar saya bisa menikmati kemerdekaan dan kedamaian. Akankah saya juga bisa mewariskan hal yang lebih baik kepada cucu saya. Saya hanya berdoa kepada Tuhan. Moga Pemilu kali ini air mata Ibu Pertiwi tidak harus jatuh. Semoga happy ending.



Bukan sistem yang salah tapi moral.

  Kita pertama kali mengadakan Pemilu tahun 1955. Kalaulah pemilu itu ongkosnya mahal. Mana pula kita negara baru berdiri bisa mengadakan pe...