Tahukah anda bahwa utang negara itu tidak berjangka pendek tetapi jangka menengah dan panjang. Berkisar 5-15 tahun. Utang yang di gali era SBY beruntun jatuh tempo di era Jokowi. Untuk bayar bunga dan utang saja selam tiga tahun kekuasaan Jokowi sebesar Rp. 939 Triliun. Jadi kalau sampai tahun 2017 Jokowi menarik utang sebesar Rp. 1.067,4 triliun, tolong juga lihat kemampuan Jokowi bayar utang dan bunga selama 3 tahun. Nah tahun 2018 harus keluar uang lagi bayar utang Rp. 390 Triliun dan 2019, sebesar 420 triliun. Sampai dengan tahun 2019 utang yang dibayar Jokowi masih utang era SBY. Utang yang ditarik Jokowi akan jatuh tempo tahun 2020. Apakah indonesia mampu membayar utang tersebut ?
Baik saya jelaskan dari sisi praktisi sebagai investor. Investor itu tertarik terus mendukung pembiayaan anggaran suatu negara atau business atas dasar pertimbangan sebagai berikut.
Pertama, Anda perhatikan, dalam kondisi tersulit dengan beban bunga dan cicilan yang begitu besar ,Indonesia tetap mampu bayar. Artinya likuiditas pemerintah terjaga sangat baik. Mengapa ? Karena tingkat kepercayaan semakin tinggi dimata investor sehingga pemerintah tidak sulit melakukan restruktur utang, misal melalui skema recycle bond atau utang lama di tukar dengan utang baru dengan bunga dan cicilan yang rendah, dengan mengalihkan ke SBN dalam negeri. Terjadinya restruktur anggaran pembangunan yang lebih efisien
Kedua, Likuiditas dalam negri sangat besar. Data Kemenkeu september 2017, utang Pemerintah Pusat Rp3.866,45 triliun, terdiri dari SUN sebesar Rp2.591,55 triliun (67,0%), SBSN sebesar Rp536,91 Triliun (13,9%), dan pinjaman sebesar Rp737,99 triliun (19,1%). Jadi 81 % utang negara kepada rakyat sendiri, yang 56% nya bermata uang rupiah. Sisanya mata uang asing. Siapa yang memberi pinjaman kepada pemerintah ? Ya Perusahaan asuransi, Dana pensiun, perusahaan sekuritas ( reksadana ) dan perbankan. Ini berkat reformasi sektor keuangan yang dicanangkan Jokowi tahun 2015.
Ketiga, terjadi penambahan asset produktif. Nah asset produktif indonesia itu adalah BUMN. Peningkatan asset BUMN di era Jokowi mencapai dua digit! Kementerian Badan Usaha Milik Negara memperkirakan aset BUMN dapat mencapai Rp 7.035 triliun pada 2017 atau meningkat 11,22 persen dibandingkan dengan Rp 6.325 triliun pada 2016. Nilai ini sama dengan 3 kali dari APBN. Jadi masih dibawah dari total utang negara atau dengan DER ( current Asset ) 55%. Itu masih sangat layak. Apalagi current asset indonesia itu didominasi oleh perusahaan lembagan keuangan. Jadi jangan GR seolah olah kita kaya SDA dan investor tertarik karena SDA kita. Kekayaan SDA tidak bisa di jadikan dasar untuk menilai solvabilitas negara Liat aja Venezuela yang kaya SDA, engga ada yang mau utangi dan bankrut.
Keempat, investasi yang dilakukan Jokowi berasal dari utang ( melalui pembiayaan anggaran) 60 % lebih masuk ke sektor produksi real yang berjangka pendek dampaknya dan hanya berkisar 40% investasi tak berwujud seperti pendidikan, kesehatan, ekonomi rumah tangga, yang berdampak jangka panjang. Artinya management utang sangat rasional, berdampak jangan pendek dan berspektrum jangka panjang dengan meningkatknya kesejahteraan rakyat untuk terjadinya pertumbuhan berkelanjutan.
Apakah penilaian saya itu salah ? tahun ini lelang SBN (Surat Berharga Negara) terakhir mengalami oversubscribe. Lebih tinggi permintaan daripada penawaran. Bahkan bukan rahasia lagi bahwa sebelum lelang SBN, inden sudah terjadi antrian. Dengan transfaransi APBN dan data makro ekonomi , investor menjadi penilai yang paling objectif tentang kinerja pemerintah. Apalagi SBN itu bertenor jangan menengah atau diatas 5 tahun. Kalau kinerja buruk, prospek buruk engga ada orang mau antri beli SBN. Mengapa ? karena investor pasti engga bego. Mana ada orang punya uang bego, kecuali pengamat yang hidup dari uang receh. Kalau investor percaya kepada Jokowi itu bukan karena jokowi jago pencitraan tetapi memang pemerintah Jokowi itu kredible dimata investor.
1 comment:
Post a Comment