Saturday, December 17, 2016

Belajar dari Suriah, Aleppo


Sejak bulan Agustus lalu , Pasukan pemerintah Suriah bersama koalisi ( Rusia , Iran, Libanon)  dengan dukungan milisi sipil pro pemerintah melakukan pengepungan terhadap Aleppo Timur. Teman saya sempat bertanya kepada saya " ada apa sebenarya ? Mengapa harus ada pengepungan? Saya analogikan seperti kalau terjadi di Indonesia. Misal, sekelompok orang mengaku pejuang Jihad membawa bendera Islam hendak menjatuhkan Presiden Jokowi. Mereka menguasai salah satu wilayah di Indonesia. Apakah ini dibenarkan? Tentu tidak. Apalagi kekuatan kelompok pemegang kunci sorga jihadis ini mendapat dukungan dana dan senjata dari Asing. Ini jelas tindakan makar. Negara manapun yang berdaulat akan melawan gerakan semacam ini. Bagaimana dengan dukungan asing kepada rezim Assad. Kata teman saya. Itu atas permintaan resmi pemerintah yang syah dalam konteks hubungan bilateral, yang negara manapun akan melakukan hal yang sama seperti rezim Assad bila pihak negara lain ada dibalik para pemberontak. Tahun 1958 di Indonesia pernah terjadi pemberontakan PRRI yang di motori oleh politisi Masyumi ( Islam ) dan  mendapat dukungan senjata dari AS. Pemerintah Soekarno mendapat dukungan senjata dari Uni Soviet ( USSR) untuk melumpuhkan PRRI. 

Selama pengepungan itu seluruh jalan keluar dan masuk ke wilayah timur Aleppo terputus sehingga sebanyak 250.000 warga sipil dan sekitar 8.000 orang pemberontak terkepung. Kawasan sekitar menuju Aleppo diserang total untuk memotong jalur logistik kepada kelompok pemberontak. Dampaknya mengerikan bagi warga Aleppo. Barang kebutuhan umum menjadi langka dan harga melambung tak terhingga. Aleppo terancam kekurangan pangan. Sementara itu selama pengepungan itu ratusan rudal Rusia di lemparkan ke Aleppo. Tentu tidak sedikit korban rakyat sipil dan milisi berjatuhan. Turki bersama AS dan Eropa yang selama ini mendukung secara tidak langsung para militan Islam tidak berbuat banyak untuk membantu. Karena tidak menyangka sama sekali Rusia akan ambil bagian dalam konflik Suriah ini. Inggeris dan Francis bersama PBB menekan Rusia agar menghentikan bantuan kepada rezim Suriah agar pengepungan dapat segera di akhiri. Tentu alasan yang di kemukakan adalah faktor kemanusiaan dan menghormati gencatan senjata yang telah di sepakati dalam perjajian di Muenchen yang sesuai dengan hukum internasional. Rusia tidak peduli. Terus melanjutkan serangan udaranya. 

Tanggal 14 desember kemarin, pemberontak militan Islam mundur dari Aleppo. Ini menandai kemenangan besar bagi Presiden Suriah Bashar al-Assad dan mengakhiri pertempuran yang telah berlangsung selama empat tahun itu. Mundurnya Militan Islam ini berkat keterlibatan dari Turki yang tak ingin kehilangan muka dalam konflik Suriah. Turki menyerukan gencatan senjata yang di setujui oleh pemberontak milintan Islam, dan rezim  Assad. Para pemberontak militan Islam di beri kebebasan keluar dari Aleppo dan pemerintah Suriah akan memberikan amnesty. Media Barat menciptakan kampanye hitam atas proses evakuasi para militan Islam ini dengan berita pembantaian warga sipil oleh Militer Suriah di Aleppo. Padahal kenyataannya sebagian besar warga sangat senang dengan terbebasnya Aleppo dari kepungan karena mereka bisa kembali hidup secara normal. Dan terusirnya pemberontak Militan Islam dari Aleppo semakin memberikan harapan untuk masa depan mereka. Kekalahan Pemberontak Militan Islam di medan tempur merupakan indikasi bahwa penyelesaian konflik di Suriah akan segera terjelma.  Hari hari mendatang rezim Suriah akan focus melakukan rekonsiliasi nasional dengan mengajak semua pihak di Suriah untuk duduk bersama membicarakan masa depan Suriah.

Apa yang dapat di simak dari konplik Suriah ini ? Kekalahan militan Islam  di Suriah merupakan fenomena dalam politik International di kawasan Timur Tengah. Hubungan yang sangat erat antara Cina dan Rusia semakin teruji dalam menekan hegemoni AS dan Eropa. China telah dengan tegas mengatakan bahwa akan selalu mendukung Rusia dalam issue issue global khususnya berkaitan dengan Suriah dan Afganistan. Bukan hanya dukungan politik international, China juga mengirim 5000 pasukan elite nya untuk membantu Suriah melawan ISIS.  AS dan Eropa tidak bisa berbuat banyak menekan Suriah di forum DK-PBB. Karena selalu di veto oleh Rusia dan China. Disamping itu dalam forum perundingan penyelesaian Utang dan bantuan finansial kepada AS dan Eropa, pihak China selalu mempermasalahkan keterlibatan AS dan Eropa di Suriah dan ini tentu di kait kaitkan dengan dukungan China dalam penyelesaian krisis moneter di zona eropa dan AS.  Sementara itu, China melalui lobi jalur sutra berhasil menarik Turki berada di balik aksi Rusia secara tidak langsung dengan tidak memberikan bantuan signifikan terhadap pemberotan militan Islam. China juga berkomitment memberikan bantuan dana sedikitnya USD 30 miliar ( Rp. 400 Triliun) untuk anggaran rekontruksi perang dan recovery ekonomi Suriah paska konplik. 

Setelah konflik ini maka semua pihak harus keluar dari Suriah. Semua pihak asing harus memberikan kebebasan kepada Pemerintah Suriah. Penyelesaian Suriah adalah urusan dalam negeri Suriah. Tidak ada agama atau mahzab yang di perjuangkan dalam konflik Suriah. Semua karena faktor ekonomi dan sumber daya yang di perebutkan oleh kekuatan Asing. Semoga kita rakyat Indonesia, dapat belajar dari konflik Suriah ini. Jangan pernah mau terprovokasi oleh pihak yang meniupkan issue percahan dengan jargon jihad, anti komunis, anti liberal, anti kapitalis.  Negara kita sudah ada Pancasila dengan  UUD 45 sebagai penjaga NKRI dan itu sampai sekarang tidak pernah berubah. TIdak ada sesungguh nya issue yang bisa di usung untuk menjadikan Indonesia seperti Suriah, kecuali oleh orang sakit jiwa dan bodoh.

No comments:

Menyikapi keputusan MK...

  Pasar bersikap bukan soal kemenangan prabowo -gibran. Tetapi bersikap atas proses keputusan yang dibuat oleh MK. Pasar itu jelas cerdas, l...