Tuesday, March 1, 2016

Sumber Penerimaan APBN

Tahun 2015 eistimasi penerimaan pajak di buat tinggi atau diatas 20 % dari penerimaan sebelumnya. Realisasi hanya mencapai 81,5 %. Pada APBN 2016 estimasi penerimaan pajak masih tetap tinggi. Mengapa tetap tinggi?  padahal tahun sebelumnya target penerimaan tidak tercapai. Estimasi pajak yang tinggi ini menurut saya lebih kepada perbedaan persepsi tentang basis pemajakan. Ini adalah bagian dari politik anggaran. Dasarnya adalah Proporsi penghasilan tertinggi merupakan indikasi terjadinya ketimpangan pendapatan. Dengan meningkatnya proporsi penghasilan tertinggi, berarti semakin besar proporsi pendapatan nasional yang dikuasai oleh kelompok penduduk yang mempunyai penghasilan tertinggi, atau dengan kata lain pendapatan nasional terkonsentrasi pada kelompok penghasilan tertinggi. Indonesia termasuk ke dalam salah satu negara yang memiliki tax ratio yang rendah. Tax ratio Indonesia yang hanya sebesar 11%, dibanding Filipina sebesar 12%, Malaysia sebesar 16%, dan Singapura sebesar 22%. Hal ini menggambarkan kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pajak, untuk berkontribusi membayar pajak, dan untuk membangun kesejahteraannya sendiri karena tidak mungkin negara ini dapat berjalan tanpa pajak, apalagi pajak memiliki porsi sebesar 75% dalam penerimaan negara, yang selebihnya disumbang oleh bea cukai, PNBP, dan lain-lain. Dan jika dilihat dalam perspektif jangka waktu tertentu, apabila proporsi tersebut semakin meningkat, dapat dikatakan bahwa ketimpangan pendapatan semakin meningkat. Pemerintah menyadari ketimpangan ini. Itu sebabnya dalam APBN tercermin tekad pemerintah untuk meningkatkan  penerimaan pajak dengan upaya perluasan basis pajak dan kepatuhan pajak.

Sebuah studi yang dilakukan oleh Aizenman dan Jinjarak (2012) menyelidiki keterkaitan antara ketimpangan pendapatan dan basis pemajakan diantara negara-negara pada periode 2000-an, dan menghubungkannya dengan tingkat ketergantungan terhadap utang. Hasil studi tersebut menunjukkan bahwa terdapat korelasi negatif antara ketimpangan pendapatan dengan basis pemajakan, dan ketimpangan pendapatan yang lebih tinggi terkait dengan basis pemajakan yang lebih rendah, ruang fiskal riil (de facto fiscal space) yang lebih kecil, dan ketergantungan terhadap utang yang lebih tinggi.  Ruang fiskal riil—berdasarkan kajian Aizenman dan Jinjarak (2011) sebelumnya—didefinisikan sebagai utang pemerintah dibandingkan dengan basis pajak riil, dimana basis pajak riil adalah penerimaan pajak yang terealisasi dirata-ratakan selama beberapa tahun untuk memperhalus fluktuasi siklus bisnis. Karena itu, ruang fiskal riil mempunyai kaitan yang berkebalikan dengan lamanya tahun pajak yang diperlukan untuk melunasi hutang pemerintah. Pada prakteknya, penerimaan pajak rata-rata menjadi ukuran yang baik atas kapasitas pemajakan riil, sebagai hasil dari dijalankannya ketentuan dalam perpajakan dan penindakan yang efektif. Sementara rasio utang terhadap GDP meningkat pesat dalam masa-masa krisis

Akibatnya, rasio utang pemerintah terhadap basis pajak riil, atau jumlah tahun pajak yang diperlukan untuk melunasi utang pemerintah, memberikan informasi mengenai ketatnya ruang fiskal suatu negara. Untuk kasus terjadinya guncangan fiskal yang tidak terantisipasi semacam itu, negara dengan utang pemerintah / rata-rata penerimaan pajak yang lebih rendah mungkin memiliki lebih banyak ruang untuk menyesuaikan diri dengan melakukan realokasi prioritas penggunaan basis pemajakan yang relatif tinggi. Untuk dapat menjelaskan hubungan antara basis pemajakan dengan ketimpangan pendapatan, Aizenman dan Jinjarak (2012) melakukan analisis ekonometrika tersebut pada 50 negara yang mempunyai catatan komprehensif mengenai variabel-variabel kunci seperti: Gini coefficient, basis pemajakan, dan ruang fiskal hingga tahun 2011. Kemudian ditemukan bahwa ketimpangan yang semakin tinggi mempunyai keterkaitan dengan basis pemajakan yang lebih kecil dalam periode yang diteliti; dan bahwa dampak ketimpangan tersebut meningkat dari 2007 ke 2011. Pengaruh ketimpangan terhadap ruang fiskal bekerja melalui saluran basis pemajakan, dan pengaruhnya besar: peningkatan 1 standar deviasi Gini coefficient, atau 10 dalam skala 0-100, terkait dengan basis pemajakan rata-rata yang lebih rendah sebesar 21 persen dari GDP di 2011. 

Basis pemajakan riil memang tidak dapat diubah dalam waktu singkat karena mencerminkan kontrak sosial. Kontrak tersebut bergantung pada kapasitas negara untuk melakukan penindakan perpajakan, yang bermuara pada persepsi publik terhadap keadilan dalam perpajakan dan manfaat yang diperoleh dari pengeluaran sektor publik oleh pemerintah. Pandangan ini konsisten dengan temuan kajian empiris baru-baru ini yang menemukan bahwa kepatuhan dalam perpajakan dan kerelaan individu untuk membayar pajak dipengaruhi oleh persepsi tentang keadilan dalam struktur pajak. Seorang wajib pajak individu sangat dipengaruhi oleh persepsinya terhadap perilaku wajib pajak lainnya (Alm dan Torgler 2006). Jika wajib pajak memandang bahwa sikap mereka cukup terwakili dan mereka mendapatkan manfaat dalam bentuk barang publik, rasa memiliki terhadap negara meningkat, dan karenanya kerelaan untuk membayar pajak juga meningkat (Frey dan Torgler 2007).  Dengan demikian, ketimpangan pendapatan yang semakin besar akan membatasi kemampuan untuk melakukan kebijakan kontra fiskal. Mengkonfirmasi logika tersebut, hasil temuan empiris dari Aizenman dan Jinjarak (2012) menyatakan bahwa semakin terpolarisasi suatu masyarakat maka akan semakin sulit untuk menyesuaikan diri dengan menaikkan pajak pada saat krisis.

Jadi estimasi pajak yang tinggi itu karena dasarnya adalah upaya serius negara secara politik memperluas basis pemajakan dan mengadopsi kebijakan yang bertujuan untuk mengurangi ketimpangan pendapatan. Kombinasi dari kedua kebijakan tersebut akan meningkatkan persepsi masyarakat terhadap keadilan dalam struktur pajak, mengurangi polarisasi, dan memperbaiki kapasitas untuk menyesuaikan diri pada saat terjadi krisis. Kalaupun tidak tercapai target maka bukan berarti itu salah. Kebijakan harus konsisten dengan tetap meninggikan estimasi pajak agar negara (DPR) membuat semua UU dan aturan yang bertumpu kepada pengurangan ketimpangan penghasilan di masyarakat.dengan memperluas basis pemajakan. Seperti rencana revisi UU Pajak yang berkaitan dengan Tax Amnesty. Upaya keras pemerintah untuk memaksa Singapore dan negara lain untuk menandatangi Keterbukaan informasi di bidang perbankan dalam upaya mengejar pemilik dana yang menempatkan dana di luar negeri. Mendukung pembinaan usaha kecil dan mendorong mereka mematuhi pajak dan lain lain.Ini sedang berproses. Yang pasti hasilnya kini sudah nampak dimana walau ekonomi menurun secara global, Indonesia tetap mampu menarik pajak, bahkan tembus Rp.1000 triliun yang sebelumnya tidak pernah terjadi walau ekonomi lagi booming.

Sumber pembiayaan di luar APBN juga dilakukan  dengan mendorong agar BUMN lebih kreatif menarik dana dari luar. Namun untuk menarik dana dari luar adalah tidak mudah. Karena ini berkaitan dengan performance permodalan dari BUMN. Umumnya permodalan BUMN tidak semua sehat. Rata rata DER mereka sudah diatas ambang batas untuk me leverage asset nya sebagai trigger menarik dana dari luar. Itu sebabnya pemerintah menambah modal disetor pada BUMN dalam bentuk Penyertaan Modal Negara (PMN ). Jadi PMN itu bertujuan memperbaiki Performance Balance sheet agar lebih mudah menarik dana dari luar. Jadi dana PMN itu tidak dipakai langsung untuk proyek. Contoh kasus jalan toll sumatera. Itu sepenuhnya di biayai oleh perbankan melalui pinjaman yang dilakukan SPV dimana BUMN ada didalamnya. Melalui dana PMN yang ada BUMN bisa melakukan leverage minimal 10 kali. Artinya kalau PMN sebesar USD 400 juta maka leverage nya mencapai USD 4 miliar..artinya semua anggaran proyek dapat di biayai secara PPP. Juga menggandeng asing membangun infrastruktur dengan skema B2B murni tanpa melibatkan PMN dan APBN,seperti Kereta Cepat Jakarta - Bandung.

No comments:

Menyikapi keputusan MK...

  Pasar bersikap bukan soal kemenangan prabowo -gibran. Tetapi bersikap atas proses keputusan yang dibuat oleh MK. Pasar itu jelas cerdas, l...