Suatu saat saya pernah diminta
advice secara pribadi oleh teman tentang keadaan perusahaannya yang bergerak
dibidang mining. Dengan data yang ada , saya sampaikan kepada dia bahwa selama
ini dia tidak menjalankan perusahaan secara sehat. Perusahaan tumbuh karena
ilusi. Asset meningkat bukan karena laba atau surplus tapi karena hutang. Dari
setiap 100 perjualan , 40 habis untuk
membayar hutang. Padahal laba yang didapat tidak bisa lebih dari 10%. Jadi perusahaan
sudah rugi ketika dia menjual. Sementara itu biaya tetap untuk gaji karyawan
dan operasioanal mencapai 90% dari total biaya yang setiap tahunnya meningkat. Peningkatan
biaya ini tidak dibiayai dari laba tapi
diambil dari modal. Lambat laun modal tunai sudah habis terpakai maka asset
yang didapat dari hutang tidak lagi digunakan untuk produksi meningkatkan value
perusahaan tapi disewakan kepada pihak luar untuk mendapatkan fee. Lambat laun
tidak ada lagi sumber daya yang didapat dari hutang diolah sendiri tapi
disewakan kepada orang lain untuk mendapatkan fee, ada juga yang dijual
sebagian. Tentu bagaimanapun fee ini tidak akan membuat perusahaan surplus tapi
defisit. Mengapa? karena penerimaannya hanya berdasarkan fee. Perusahaan
kehilangan nilai strategisnya sebagai pencipta nilai tambah. Perusahaan tak
ubahnya penampungan sosial bagi mereka yang malas.
Lantas bagaimana solusinya ?
tanyanya. Dengan tersenyum saya katakan bahwa solusi itu ada pada dirinya
sendiri. Apakah dia mau melihat kenyataan
dan bersikap untuk masa depan yang lebih baik. Apa yang dimaksud dengan kenyataan? Tanyanya
lagi. Bahwa kenyataan itu adalah perusahaan tidak akan bisa melaksanakan fungsi
sosialnya bila dia tidak tumbuh karena surplus atau laba. Tidak ada pertumbuhan karena utang tapi juga
tidak bisa dihindari untuk tumbuh butuh hutang. Hutang harus bisa menciptakan
laba agar mampu membayar hutang dan bukan menciptakan hutang baru lagi untuk
membayar hutang. Teman itu dapat memahami advice saya. Jadi yang harus
dilakukan adalah memotong anggaran biaya gaji dan operasional. Tidak ada lagi
tunjangan sosial.Tidak ada lagi cuti liburan bagi manager, staf dan direksi. Diharapkan
sedikitnya 20% anggaran operasional bisa dihemat. Penghematan ini digunakan
untuk memperbaiki sarana produksi agar efisien dan investasi mesin untuk
meningkatkan volume produksi. Disamping itu karena difisit begitu besarnya maka
dia harus menggandeng investor dari luar untuk melakukan kerjasama perluasan
pengolahan mining nya. Ini lebih tepat daripada dia berhutang untuk menutupi
difisit.
Jadi ada tiga hal yang harus
dilakukan oleh teman itu ,yaitu pertama restruktur biaya. Kedua, realokasi
anggaran dari biaya sosial ke sektor produksi. Ketiga, memperluas produksi agar
semakin besar potensi penerimaan. Apabila dia tidak melakukan hal yang pertama maka dia
tidak akan bisa melakukan hal yang kedua. Dampaknya penjualannya akan terus
tersedot sebesar 40% untuk bayar hutang. Apabila dia tidak bisa melakukan yang
kedua maka tidak mungkin dia bisa menarik mitra investor karena tidak ada orang
yang mau bermitra bila insfrastruktur miningnya buruk dan tidak efisien. Walau
usulan ini saya sampaikan dengan tidak resmi namun dia mendengar dengan baik.
Saya cepat mengambil kesimpulan karena saya mengenal teman ini cukup lama dan
tentu saya paham bisnis dia. Memang berat baginya membuat keputusan yang
pertama karena ini perusahaan keluarga dan hampir semua anggota keluarga
bekerja di perusahaan. Mereka sudah terbiasa manja dan hidup serba mudah karena
semua fasilitas tersedia walau itu semua didapat dari hutang. Namun akhirnya
dia beranikan membuat keputusan. Benarlah dia dimusuhi oleh anggota keluarganya
dan karyawan demo. Namun itu semua tidak merubah keputusannya. Hanya butuh
waktu lima tahun setelah keputusan pahit dibuat, perusahaan berhasil bangkit dan
surplus.
Ilustrasi diatas tak ubahnya
dengan keadaan negara kita sekarang. Harap dimaklumi keadaan APBN sudah lampu
merah karena melambatnya pertumbuhan ekonomi global yang berdampak kepada
turunnya permintaan komoditas andalan Indonesia serta harga export yang terus
melemah. Tentu hal ini berdampak buruk terhadap
makro ekonomi dengan terjadinya gabungan difisit : perdagangan, investasi, APBN. Akibatnya nilai tukar rupiah terhadap valas sepanjang tahun 2014 melemah. Pelemahan rupiah itu membuat beban subsidi naik , beban bayar bunga dan cicilan hutang juga naik fantastik. Bahwa
setiap USD 100 penerimaan devisa eksport , USD 40 habis untuk bayar hutang. 85%
total anggaran habis untuk biaya rutin termasuk gaji PNS,TNI dan Polri. Hanya menyisakan sebesar 15% untuk ekspansi
perluasan investasi. Jumlah 15% ini tidak cukup untuk menghasilkan pertumbuhan.
Apalagi beban hutang yang begitu besar dan difisit yang besar. Apa yang harus
dilakukan Jokowi adalah tindakan rasional. Bahwa dia harus lakukan restruktur biaya. Ia harus kurangi anggaran
pegawai dan anggaran subsidi. Alihkan kesektor produksi. Ini dulu yang
harus dilakukan. Jangan terjebak dengan retorika politik. Jangan percaya kata
pengamat bahwa banyak hal yang bisa dilakukan selain mengurangi subsidi. Itu
hanyalah retorika yang sifatnya “akan” yang butuh waktu untuk dilakukan sementara kenyataannya setiap hari negara
harus bayar bunga hutang Rp.300 miliar. Ini tidak termasuk cucilan. Ini tidak
bisa ditunda. Bila tidak ada restruktur biaya maka terpaksa harus
berhutang lagi untuk menutupi hutang.
Apabila anggaran rutin bisa
dipangkas sampai 20% maka ada tersedia ruang fiskal 30% dari APBN atau sekitar Rp.600
Triliun. Ini yang disebut dengan restruktur anggaran.Anggaran tidak berkurang
hanya alokasinya dirubah. Tahap kedua, penghematan dana sebesar 30% di investasikan untuk
perluasan infastruktur ekonomi ,meningkatkan modal BUMN agar semakin besar
berproduksi dan semakin besar memberikan deviden kepada negara. Tahap ketiga ,dengan
tersedianya infrastruktur ekonomi yang luas maka akan mendorong arus investasi lokal
maupun asing disektor produksi. Pada tahap ketiga inilah penerimaan negara
berupa pajak ,PNBP, Hibah akan meningkat sehingga bisa surplus untuk membayar
hutang serta memperluas kemampuan nagara melaksanakan tanggung jawab sosialnya
khususnya untuk membantu mereka yang duafa dan perbaikan lingkungan. Jadi, sudah
saatnya kita harus punya tekad bahwa kita hanya akan menikmati tangung jawab
sosial negara secara luas apabila negara surplus. Itu tugas kita untuk
membuatnya surplus.Kalau kita tidak ingin asing menguasai peluang investasi di
Indonesia maka kita harus didik anak kita agar mau menjadi pengusaha. Para
pengusaha harus hemat dan ulet untuk mengembangkan usaha agar berkelas dunia
sehingga mampu bersaing dengan asing.
Selagi budaya wiraswasta tidak
tumbuh berkembang, selagi pengusaha
lebih suka menjadi broker maka jangan
salahkan bila asing akhirnya menguasai sektor produksi di indonesia. Negara tidak bisa menanti anda yang malas,
dan lebih suka jadi jongos, karena setiap hari biaya yang ditanggung negara sangat
besar dan setiap hari ada 10,000 bayi lahir yang harus dipersiapkan sarana dan
prasrananya sementara yang belum terjangkau masih banyak. KIta sangat kaya akan SDA namun kekayaan itu berada dibawah ribuan mill tanah, diatas bukit , disamudera dan ditengah hutan belantara. Semua itu harus diolah dengan kerja keras, modal , tekhnologi serta berani mengambil resiko. Tidak ada
distribusi SDA gratis, apalagi harga diskon. Kita harus berbuat, mengolah SDA itu. Bila rakyat tidak berbuat maka orang lain yang melakukan, dan negara mendapatkan pajak untuk membayar kebutuhan pemerintah mengelola penduduk yang ratusan juta ini...
No comments:
Post a Comment