Sunday, November 6, 2011

JSS

Dua tahun lalu saya pernah diundang dalam acara peresmian pra Studi Kelayakan pembangunan Jembatan Selat Sunda ( JSS) di Hotel Borobudur Intercontinental , Jakarta. Acara itu digagas oleh Group Artha Graha bersama konsorsium , dihadiri juga oleh dua Gubernur dari Lampung dan Banten. Pada acara itu juga disampaikan visi dari pembangunan JSS itu oleh group konsorsium serta masing masing PEMDA.

Anggaran yang diperlukan untuk membangun project ini diperkirakan mencapai Rp. 100 triliun. Ini bukanlah jumlah sedikit, apalagi dibandingkan ketersediaan ABPN yang sangat terbatas untuk penyediaan pembangunan insfrastruktur. Project ini, bukan hanya dalam skala yang gigantic tapi juga dari sisi tekhnologi memang rumit. Konsep Jembatan Selat Sunda terdiri atas dua jenis sistem yaitu jembatan gantung ultrapanjang dari baja untuk melangkahi palung-palung lebar dan Viaduct beton pracetak balanced cantilever untuk lintasan selebihnya. Bila project ini selesai dibangun maka akan menjadi Jembatan laut terpanjang didunia. Impian untuk membangun jembatan ini sudah ada sejak era Soeharto , bahkan studinya pernah dibuat oleh Jepang. Namun entah mengapa impian itu tenggelam begitu saja. Kemudian kembali diangkat kepermukaan di era SBY. Team dibawah Menko Perekonomian segera dibentuk. JSS juga dimasukan dalam Program Percepatan Pembangunan. Segala payung hokum keberadaan project ini juga disiapkan.

Yang jadi issue penting dalam pembangunan JSS ini adalah pembiayaan diserahkan kepada pihak investor. Pemerintah hanya sebatas memberikan payung hokum. Nah payung hokum seperti apakah itu? Namanya investor akan selalu berhitung untung rugi. Mana ada investor mau rugi, ya kan. Dalam pembicaraan dengan beberapa teman yang ikut memantau peluang investasi ini, saya melihat ada dua hal yang menjadi pertimbangan investor untuk masuk dalam investasi mega project ini. Pertama , adalah memanfaatkan traffic kendaraan Jawa Sumatera yang akan melintasi Jembatan itu. Semua tahu bahwa armada kapal sebagai jembatan laut sudah tidak mampu menampung arus kendaraan yang begitu padat. Ini sumber pendapatan Toll fee yang tidak kecil. Kedua, adalah pengembangan kawasan akibat dibangunnya JSS. Investor tentu tak ingin peluang ini dimanfaatkan oleh investor lain. Mereka tentu inginkan potensi kawasan dibawah kendali mereka sebagai konspensasi.

Apabila melihat jumlah investasi yang begitu besar, rasanya mengandalkan pendapatan toll fee saja tidak begitu feasible dalam jangka pendek. Namun bila digabung dengan pengembangan kawasan, maka multiplier income akan terjadi dengan sendirinya. Konon katanya dalam pre study , akan dibangun jalan toll sepanjang 80 KM dari Bakauheni sampai ke Metro. Sementara yang di Jawa, JSS akan terhubung dengan jalan Toll Jakarta-Merak serta rencana jalan tol Cilegon-Ciwandan sepanjang 14 km. Otomatis jawa dan sumatera akan menyatu secara ekonomi. Ini potensi ekonomi raksasa bagi pengembangan wilayah di Banten dan Lampung. Di mulut Jembatan akan dibangun pusat terminal agro terbesar yang memungkinkan Lampung sebagai pusat terminal agro untuk menampung arus komoditi pertanian wilayah sumatera. Tentu pula akan terbuka peluang zona indusri agro dan jasa seperti Hotel, Pariwisata. Sementara di Banten, di mulut jembatan akan terbuka zona ekonomi untuk industry dan jasa. Walau zona industry dan jasa di Banten sudah berkembang namun dengan adanya JSS ini akan meningkatkan value dari kawasan yang ada.

Sebelum acara peresmian pra studi, saya berkesempatan makan siang dengan Gubernur Lampung yang didampingi oleh Sekwilda, saya sempat mendengar Sekwilda Lampung mendapat telp dari seseorang. Setelah itu dia berbicara kepada Gubernur soal kehendak konsorsium agar Gubernur menyediakan lahan ribuan hektar. Namun nampak Gubernur keberatan. Saya tidak tahu kelanjutannya setelah itu. Namun keliatannya visi investor tak bisa ditawar bahwa mereka bukan hanya inginkan toll fee tetapi juga penguasaan kawasan. Memang yang menjadi kendala utama pembangunan JSS yang berbasis private ini adalah soal lahan. Inplikasi social nya luas sekali. Belum lagi soal lingkungan hidup dan budaya yang harus diperhatikan. Segala strategi akan digunakan oleh investor untuk memastikan investasi itu aman dalam jangkan pendek maupun jangka panjang. Maklum saja, uang Rp. 100 triliun bukanlah jumlah sedkit

Pada satu kesempatan saya pernah bicara dengan Kontraktor besar di Beijing , yang juga mengetahui ada beberapa Perbankan dan investor China berniat untuk menjadi investor JSS ini. Dia sempat mengatakan kepada saya bahwa seharusnya JSS itu dibiayai penuh oleh Pemerintah Indonesia melalui BUMN. Ada banyak skema pembiayaan yang bisa digunakan untuk itu. Logikanya bila swasta bisa , mengapa BUMN tidak bisa ? Karena menurutnya, jumlah anggaran itu tidak ada artinya bila dibandingkan dengan multiplier effect yang ditimbulkan oleh JSS. Disamping itu keadilan ekonomi dalam jangka panjang lebih terjamin bila Pemerintah terlibat langsung dalam pembiayaan. Melibatkan investor private dalam pembangun infrastruktur ekonomi bukan hanya soal uang tapi yang harus dipikirkan adalah shock culture bagi public akibat komersialisasi public service. Bukankah tugas Negara menjamin keadilan dalam jangkan panjang bagi rakyatnya.

Bagi saya , project JSS ini memang visioner. Sebagaimana program pembangunan berskala gigantic dibanyak Negara , memang pembangunan seperti JSS diperlukan visi yang kuat. Tanpa visi rasanya tak mungkin mega project ini dapat terlaksana. Mengapa diperlukan Visi ? karena dalam jangka pendek hitungan ekonomi sulit untuk dikatakan feasible. Namun dalam jangka panjang , memberikan dampak ekonomi yang luar biasa bagi masyarakat Indonesia, khususnya wilayah Banten dan Lampung. Semoga pemerintah bisa berpikir ulang soal melibatkan investor dalam pembangunan. Kalau visi pemerintah kuat, biaya bukan masalah, ya kan.

1 comment:

inprodic said...

Pemerintah Indonesia sepertinya tidak sadar (atau malah sadar) bahwa hal tersebut sama saja dengan mengikuti jejak langkah Yunani menuju kebangkrutan.

Menjamin mega projek JSS dengan membentuk Public Private Partnership yang suatu saat nanti jika investor swasta gagal bayar maka hutang-hutang yang sebelumnya tidak pernah muncul di APBN mendadak menjadi bagian dari tagihan yang harus dibayar negara termasuk bunganya sebab mega projek tersebut dijamin negara.

Akankah Indonesia menjadi seperti Yunani? Semoga tidak...

ERA Jokowi, dari 16 target yang tercapai hanya 2

  Realisasi kuartal III-2024, ekonomi nasional tumbuh 4,95%. Konsumsi rumah tangga sebagai pemberi andil terbesar hanya mampu tumbuh 4,91%. ...