Wednesday, June 10, 2009

ABRI kusayang, Negeriku Malang

Anggara pertahanan Singapore USD 6,3 Billion dan Malaysia USD 3,2 Billion sementara Indonesia sebesar USD 3,6 Billion. Indonesia menempati rangking no. 33 anggaran pertahanannya di negara negara dunia. ni berdasarkan data dari U.S. Military Spending vs. the World dan Center for Arms Control and Non-Proliferation, February 22, 2008. Bandingkan dengan Singapore yang penduduknya 3,7 juta jiwa dengan luas secuil kepulauan , kita masih jauh ketinggalan. Juga bila dibandingkan dengan Malaysia kita masih lebih besar sedikit tapi luas kepulauan kita jauh lebih besar dibandingkan Malaysia , begitu juga personal militernya.

Tahun 2003, CGI sebagai lembaga donor Indonesia menegaskan tentang kebijakan anggaran pertahanan bahwa Anggaran pertahanan bukan variabel independen karena harus dihitung dengan memperhitungkan (1) pertumbuhan ekonomi dan (2) tingkat ancaman yang dihadapi suatu negara. Kalau pertumbuhan ekonomi tinggi, otomatis belanja pertahanan akan meningkat. Kemudian setelah CGI dihapus, berlanjut dengan IMF dan world bank. Ketentuannya tetap sama. Bahwa indonesia harus memperhitungkan pertumbuhan ekonomi untuk meningkatkan anggaran pertahanannya. Sementara yang dimaksud dengan ancaman adalah faktor internal dan bukan external. Negara donor lebih menekankan anggaran pertahanan untuk menghadapi gerakan separatis yang tidak terorganisir dengan baik dan karena itu tidak diperlukana peralatan canggih.

Juga direncanakan untuk menghapus secara bertahap system komando territorial seperi KODIM, KOREM, KODAM , karena tidak lagi sesuai dengan semangar reformasi dan demokratisasi. Penghapusan ini diharapkan berlansung selama sepuluh tahun dan akan menghemat anggaran tidak sedikit. Pemangkasan struktur teritorial juga sekaligus bisa memberikan keleluasaan kepada Kepolisian untuk bertanggungjawab sepenuhnya terhadap keamanan internal. Kalau pun perlu bantuan, pasukan tempur seperti Kostrad dan Kopassus bisa dikerahkan dengan cepat. Itulah kebijkan dasar System Pertahanan kita di era reformasi. TNI kita hanya di design untuk menjadi SATPAM rakyatnya sendiri yang mau brontak atau jadi bodyguard Polisi menghadapi rakyat. TNI tidak lagi didesign untuk menjaga kedaulatan negara atau mengawal polik negara yang bebas dan aktif di forum nternational untuk tegaknya keadilan didunia.

Makanya kita sedih melihat bagaimana mungkin negara tetangga dapat merpemainkan kita dengan “go back to door” atau populernya “gobaksodor” kapal perang Malaysia yang secara berulang kali memasuki batas wilayah NKRI sekitar pulau Ambalat untuk memprovokasi kapal perang Indonesia yang sedang menjaga pulau yang berpotensi kaya minyak itu. Kita sedih melihat TNI AL berupaya dengan gagah berani mengejar tapi apa daya kalah cepat karena kapalnya memang tidak didesign melawan kekuatan asing yang kuat dan canggih. Didalan negeri satu demi satu prajurit terbaik TNI gugur sia sia karena dimakan peralatan yang sudah tua.

Inilah harga yang harus kita terima bila kepentingan nasional dan kedaulatan negara masuk dalam wilayah pertimbangan ekonomi semata. Andai kita dulu merebut kemerdekaan karena pertimbangan ekonomi mungkin sampai saat ini kita belum merdeka dan Irian belum akan berada dalam pelukan ibu pertiwi. Tapi karena zaman, kita lupa dan lupa.

1 comment:

dada said...

parahyangan.wordpress.com

Memang sulit dengan wilayah yang sangat besar dan budget terbatas bagi Indonesia untuk menjaga wilayah kedaulatannya.

Tapi atleast pulau2 kosong yang tidak di perhatikan , bisa dilakukan sesuatu , di jaga , jangan sampai di klaim negara tetangga.

Atau Indonesia juga bisa mempertimbangkan untuk menjalin kerjasama militer dengan negara2 kuat alternative (seperti RRT), mengingat negara tetangga kita adalah negara persemakmuran Inggris.

Malaysia juga punya sedikit nyali karena ada bossnya , yaitu Inggris. Jika bukan karena bantuan Inggris dan sekutunya , itu Sukarno akan lebih mudah meng"ganyang" malaysia

Putin memenangkan Pilpres Rusia.

  Pemilu Rusia, memilih empat calon presiden, yaitu Putin, Leonid Slutsky, Nikolai Kharitonov, dan Vladislav Davankov. Hasilnya ?  Komisi Pe...