Thursday, March 12, 2009

Kemandirian Indonesia

Siapa yang paling merasakan akibat terjadi krisis global dewasa ini ? Pertanyaan ini sulit kita dapatkan dikota kota besar. Apalagi bila sedang berada di Mall atau di Jalan Sudirman, Jakarta. Karena masih banyak mobil mewah lalu lalang dan Mall yang buka dengan lampu penerangan yang berlebihan, seakan memperlihatkan semua akan baik baik saja. Tapi , mungkin ada jawaban yang menyentakan saya ketika bulan lalu bertemu dengan kerabat keluarga dari daerah sumatera pada acara perkawinan. “ Kami tidak tahu sampai berapa lama usaha kami dapat bertahan di daerah. Usaha semakin lesu dan setiap hari makan modal” Demikian katanya. Kerabat saya ini di daerah berdagang pakaian jadi, juga mempunyai usaha sampingan sebagai jasa angkut untuk komoditis pertanian.

Saya dapat memaklumi keadaan kerabat saya ini. Dia bukanlah orang yang perpendidikan tinggi. Selama ini dia dapat bertahan hidup dan menyekolahkan anaknya ke Yogja karena usahanya didaerah cukup memungkinkan dia membayar kebutuhan hidupnya. Dia tidak mengerti mengapa semakin tahun bukannya semakin maju malah semakin mundur. Saya katakana bahwa itu semua akibat krisis global. Lantas dia jawab lagi , apa urusannnya dengan kita di dalam negeri. Sulit untuk menjelaskannya tapi saya hanya sempat tersenyum dan berdoa semoga hari esok akan lebih baik, terutama bagi pengusaha kecil dengan modal terbatas dan pengetahuan kurang.

Memang sejak terjadi gelombang krisis yang dipicu oleh kasus kredit perumahan di AS, keadaan pereknomian seakan berhenti sejenak dan akhirnya terjun kebawah. . Akibatnya melemahnya permintaan komoditas pertanian ini harga bergerak turun. Perbandingan harga sejumlah komoditas pada Januari 2008 dan Desember 2008 (berdasarkan data FAO 2009): beras Thailand jenis A1 super (medium) turun 15% dari US$ 365/ton menjadi US$ 310/ton, harga jagung turun 28% dari US$ 204/ton menjadi US$ 147/ton, harga kacang kedelai turun 30% dari US$ 541/ton menjadi US$ 378/ton. Demikian juga harga komoditas ekspor perkebunan seperti CPO sudah turun 54% dari US$ 1.059/ton pada Januari 2008 menjadi US$ 488/ton pada November 2008, harga kopi turun 35% dari US$ 2.300/ton pada Januari 2008 menjadi US$ 1.500/ton pada Desember 2008. Harga karet kering (crumb rubber) turun 33% dari Rp 23.700/kg pada September 2008 menjadi Rp 16.000/kg pada November 2008, dan sebagainya.

Harga TBS ( Tanda Buah Segar ) sawit sekarang ditangan petani hanya Rp. 400 yang sebelumnya mencapai Rp. 1800. Bulan lagi produk pertanian seperti karet, jagung, kopi dan lainnya. Keadaan harga ini telah memanggal penghasilan petani sampai rata rata 50%.Padahal sebelumnya walau harga cukup baik namun belum memenuhi kelayakan standar penghasilan dibandingkan dengan usaha lainnya. Kini semua sudah terjadi dan kita menyaksikan komunitas petani yang kebingungan. Ditambah lagi sector usaha lain yang bertumpu dari kemampuan produksi petani untuk berkosumsi juga terkena imbas sebagai akibat multiplier effect . Jatuhnya harga produk pertanian tidak berpengaruh terhadap harga barang jadi yang dihasilkan dari bahan baku pertanian. Minum kopi di starbuch , harganya tetap. Minyak goreng kalaupun harganya turun masih jauh relative dibangingkan harga CPO. Begitupula dengan produk turunan dari CPO , seperti kosmetik/sabun dan lain, tidak ada yang turun.

Apapun yang menimpa petani sekarang tidak bisa disalahkan kepada akibat global crisis semata . Keadaan ini hanya membuktikan betapa rentanya pereknomian nasional yang hanyan bertumpu kepada bahan baku untuk mendapatkan devisa dollar. Ini merupakan kebijakan nasional yang mengarahkan kepada ketergantungan terhadap pasar eksport terhadap hasil pertanian maupun tambang. Inilah sebagai grand design dari globalisasi yang menempatkan negara pemilik sumber daya alam agar menjual seluruh bahan bakunya keluar negeri dan kemudian mengimpor barang jadi untuk kebutuhan dalam negeri dengan nilai tambah super tinggi. Kalau ada kelebihan devisa atau surplus maka harus digunakan untuk membayar hutang luar negeri. System yang menjebak dengan dampak pemiskinan dan ketergantungan secara systematis.

Kalaupun sekarang pemerintah mulai menggerakan produksi dalam negeri namun tidak nampak kebijakan nasional yang berskala jangka panjang .Krisis saat ini dapat dijadikan langkah revolusi membangun semangat kemandirian yang dimotori oleh negara. Keadaan yang kritis membutuhkan langkah besar dan berani , dimana peran negara harus tampil didepan menyelesaikan masalah. Diantaranya adalah pembentukan BUMN untuk membangun Product derivative ( Produksi turunan ) dari hasil pertanian. Apabila ini dilakukan dengan sungguh sungguh maka tidak sedikit angkatan kerja dapat terserap. Nasip petanipun akan tertolong karena pasarnya tersedia didalam negeri dengan harga yang pantas.Juga yang lebih penting adalah sudah saatnya kita menciptakan perluasan nilai dari produk pertanian kita.

Kita berharap kedepan, tidak ada lagi ekpor karet mentah tapi sudah dalam bentuk ban atau produk derivative lainnya yang berbahan baku karet. Tidak ada lagi eksport CPO tapi sudah dalam bentuk biodiesel atau produk derivative lainnya untuk kebutuhan industri kosmetika, sabun dan lain sebagai. Kita tidak lagi mengekspor gula tapi sudah menjual etanol dan produk derivative lainnya. Kita tidak lagi mengeksport kopi mentah tapi sudah menjualnya dalam bentuk kopi instant dengan merek kita sendiri. Kita berharap produk pertanian seperti cabe, pisang, jeruk, dan jahe dan lain lain akan memenuhi rak rak supermarket dalam dan luar negeri dalam bentuk powder, pasta, juice. Semuanya dihasilkan dan diproduksi didalam negeri. Mungkinkah….

No comments:

ERA Jokowi, dari 16 target yang tercapai hanya 2

  Realisasi kuartal III-2024, ekonomi nasional tumbuh 4,95%. Konsumsi rumah tangga sebagai pemberi andil terbesar hanya mampu tumbuh 4,91%. ...