Produk yang paling laku dimana saja dan kapan saja adalah kekuasaan. Produk ini tak kenal resesi. Market selalu saja ada. Kita sebut itu sebagai produk karena system demokrasi memang melahirkan produk yang bernama kekuasaan. Kemasannya adalah perdamaian, kebebasan, kesetaraan. Maka jangan kaget bila mesin demokrasi mudah sekali mendapatkan bahan baku untuk menghasilkan produk jadi.
Saat sekarang ada 11.301 caleg untuk posisi DPR pusat. Dari sejumlah ini harus bersaing memperebutkan 560 kursi yang tersedia atau kurang lebih hanya 5% . Untuk DPRD tingkat I dan II total caleg yang terlibat lebih dari 435.000 , sementara kursi yang tersedia hanya 13.415 atau kurang lebih 3%. Dari data ini kita dapat membayangkan betapa beratnya kompetisi untuk mendapatkan kekuasaan itu. Dikatakan berat karena setiap upaya mencapai kekuasaan dalam system demokrasi mengharuskan setiap orang harus mampu menjual dirinya kepada public yang akan memilihnya.
Karena menjual , tentu diperlukan promosi dan tidak ada promosi yang gratis. Maklum saja bahwa ini berlaku mekanisme pasar bebas. Yang kuat berpromosi , maka dialah yang berpeluang untuk menang. Maka kegiatan proses menjadi segelintir orang sebagai output dari produk demokrasi membutuhkan dana tidak sedikit. Mari kita berhitung sederhana berapa ongkos yang diperlukan oleh seorang caleg untuk kebutuhan promosi ini. Bila masing masing caleg yang berjumlah total 460,000 itu mengeluarkan dana Rp. 100 juta ( minimal ) maka total dana promosi yang mereka keluarkan adalah mencapai Rp. 46 triliun atau USD 4 milliar. Fantastic , kan.
Sejumlah dana tersebut diperlukan untuk mencetak brosur /selebaran. Bila setiap orang mencetak 10.000 lembar brosur maka total brosur yang dicetak adalah 4.6 miliar lembar. Bila masing masing calek mencetak 1000 poster dengan lebar 50 CM maka total panjang poster adalah 230.000.000 meter atau 230.000 KM panjangnya. Bila masing masing caleg membuat 10 astribut/ spanduk dengan panjang 3 meter maka total panjang kain terpakai adalah 460.000 x 10x 3 atau sama dengan 13.800.000 meter atau 13.800 KM kain panjangnya. Bayangkan..panjang poster dan spanduk melebihi jarak dari london siberia atau dari sabang ke marauke. Dahsyat , kan.
Setiap partai mengharuskan setiap caleg memenuhi criteria untuk menjadi terpilih. Diatara criteria yang ada berupa kecakapan , intelektualitas dan sederet syarat ideal namun yang utama adalah caleg tersebut harus mempunyai kemampuan pendanaan untuk membiayai sendiri kampanyenya. Disinilah kita melihat betapa hebatnya system demokrasi menciptakan perputaran uang begitu dahsyatnya. Semua bahan dan alat untuk promosi bahan bakunya masih kita import. Kertas, bahan coating masing kita import. Tinta masih kita import, Kain, kapas masih kita import. Media TV, sebagian saham dikuasai asing. Begitu banyaknya uang yang dibuang untuk sebuah keyakinan tetang demokrasi tapi disisi lain kita menghidupkan industri asing.
Tapi bagaimanapun caleg sudah menjadi salah satu lahan professi yang menggiurkan bagi siapa saja. Bahkan 10% dari 460.000 caleg adalah pengangguran. Tentu sanak keluarga akan mengorbankan apa saja untuk dia terpilih dan mendapatkan pekerjaan sebagai anggota legislative. Kita bisa bayangkan berapa dana keluarga pengangguran yang terbuang percuma bila mereka gagal terpilih sebagai anggota legislative. Bagi yang berstatus bukan penganggur dan mempunya dana cukup mungkin tidak ada masalah. Tapi yang pasti sebagian besar dari mereka hanya siap sukses tapi tak siap untuk gagal. Setelah Pemilu usai, kita akan melihat ada ratusan ribu orang yang berpotensi stress karena gagal terpilih . Mereka yang tak terpilh mungkin sebagian akan menjadi pasien psikiater dan kejaran debt collector. Mereka adalah korban dari sebuah ambisi dari system kebebasan.
Bagi yang terpilih, tentu bersiap siap dengan rencana mengembalikan modal yang keluar sekaligus mempersiapkan bekal ketika kelak tidak terpilih lagi.
Entahlah…apalagi sebagian masyarakat sudak muak dengan system pemilu dan memilih untuk GOLPUT.
Saat sekarang ada 11.301 caleg untuk posisi DPR pusat. Dari sejumlah ini harus bersaing memperebutkan 560 kursi yang tersedia atau kurang lebih hanya 5% . Untuk DPRD tingkat I dan II total caleg yang terlibat lebih dari 435.000 , sementara kursi yang tersedia hanya 13.415 atau kurang lebih 3%. Dari data ini kita dapat membayangkan betapa beratnya kompetisi untuk mendapatkan kekuasaan itu. Dikatakan berat karena setiap upaya mencapai kekuasaan dalam system demokrasi mengharuskan setiap orang harus mampu menjual dirinya kepada public yang akan memilihnya.
Karena menjual , tentu diperlukan promosi dan tidak ada promosi yang gratis. Maklum saja bahwa ini berlaku mekanisme pasar bebas. Yang kuat berpromosi , maka dialah yang berpeluang untuk menang. Maka kegiatan proses menjadi segelintir orang sebagai output dari produk demokrasi membutuhkan dana tidak sedikit. Mari kita berhitung sederhana berapa ongkos yang diperlukan oleh seorang caleg untuk kebutuhan promosi ini. Bila masing masing caleg yang berjumlah total 460,000 itu mengeluarkan dana Rp. 100 juta ( minimal ) maka total dana promosi yang mereka keluarkan adalah mencapai Rp. 46 triliun atau USD 4 milliar. Fantastic , kan.
Sejumlah dana tersebut diperlukan untuk mencetak brosur /selebaran. Bila setiap orang mencetak 10.000 lembar brosur maka total brosur yang dicetak adalah 4.6 miliar lembar. Bila masing masing calek mencetak 1000 poster dengan lebar 50 CM maka total panjang poster adalah 230.000.000 meter atau 230.000 KM panjangnya. Bila masing masing caleg membuat 10 astribut/ spanduk dengan panjang 3 meter maka total panjang kain terpakai adalah 460.000 x 10x 3 atau sama dengan 13.800.000 meter atau 13.800 KM kain panjangnya. Bayangkan..panjang poster dan spanduk melebihi jarak dari london siberia atau dari sabang ke marauke. Dahsyat , kan.
Setiap partai mengharuskan setiap caleg memenuhi criteria untuk menjadi terpilih. Diatara criteria yang ada berupa kecakapan , intelektualitas dan sederet syarat ideal namun yang utama adalah caleg tersebut harus mempunyai kemampuan pendanaan untuk membiayai sendiri kampanyenya. Disinilah kita melihat betapa hebatnya system demokrasi menciptakan perputaran uang begitu dahsyatnya. Semua bahan dan alat untuk promosi bahan bakunya masih kita import. Kertas, bahan coating masing kita import. Tinta masih kita import, Kain, kapas masih kita import. Media TV, sebagian saham dikuasai asing. Begitu banyaknya uang yang dibuang untuk sebuah keyakinan tetang demokrasi tapi disisi lain kita menghidupkan industri asing.
Tapi bagaimanapun caleg sudah menjadi salah satu lahan professi yang menggiurkan bagi siapa saja. Bahkan 10% dari 460.000 caleg adalah pengangguran. Tentu sanak keluarga akan mengorbankan apa saja untuk dia terpilih dan mendapatkan pekerjaan sebagai anggota legislative. Kita bisa bayangkan berapa dana keluarga pengangguran yang terbuang percuma bila mereka gagal terpilih sebagai anggota legislative. Bagi yang berstatus bukan penganggur dan mempunya dana cukup mungkin tidak ada masalah. Tapi yang pasti sebagian besar dari mereka hanya siap sukses tapi tak siap untuk gagal. Setelah Pemilu usai, kita akan melihat ada ratusan ribu orang yang berpotensi stress karena gagal terpilih . Mereka yang tak terpilh mungkin sebagian akan menjadi pasien psikiater dan kejaran debt collector. Mereka adalah korban dari sebuah ambisi dari system kebebasan.
Bagi yang terpilih, tentu bersiap siap dengan rencana mengembalikan modal yang keluar sekaligus mempersiapkan bekal ketika kelak tidak terpilih lagi.
Entahlah…apalagi sebagian masyarakat sudak muak dengan system pemilu dan memilih untuk GOLPUT.
No comments:
Post a Comment