Wednesday, September 7, 2022

Krisis konstitusi.

 




Setiap ada kenaikan BBM selalu ribut. Dulu era SBY, PDIP menentang kenaikan BBM. Kini era Jokowi, PD dan PKS menentang. “ BBM udah jadi produk politik” Kata teman. Sejak UU Migas No. 22/2001, masalah MIGAS tidak jelas. Apakah negara berbisnis atau negara penjamin stabilitas harga? Berdasarkan UU Migas No.22/2001, jelas SDA migas kita adalah sumber daya bisnis. Bukan lagi sesuai dengan amanah UU 45 pasal 33 sebelum di amandemen. Mengapa tidak jelas ?


Pihak Parpol sangat paham. Bahwa UU Migas 22/2001 itu celah bagi Parpol untuk dapatkan rente bagi pundi partai. Bukan rahasia bila Dirut Pertamina dan Komisari Pertamina itu orang yang punya akses ke ParPol. Pernah engga dengar Jokowi marah marah kepada dirut Pertamina karena lambatnya berbagai proyek kilang, seperti kilang petrokimia TPPI dan kilang minyak Tuban. Apa berani Jokowi pecat ? ya engga. Kalau dipecat, urusannya dengan Partai. Bisa ribut. Jadi wajar saja kalau SDA migas dan Bisnis Migas dikuasai rente dan oligarki.


Makanya Oposisi itu ketika mereka tidak berkuasa. Mereka sangat mudah menyalahkan rezim. Karena mereka dulu juga menikmati rente dari UU Migas No. 22/2001. Lucunya mereka permasalahkan soal keadilan pasal 33 UU 45. Padahal UUD itu sudah diamandemen. Jadi partai yang teriak alasan keadilan, itu omong kosong. Kalau benar semua partai berniat baik, ya ubahlah UU No 22/2001.


Problem kekisruhan pada POLRI dan TNI yang kini diketahui Publik. Itu sebenarnya puncak gunung Es yang sudah bergolak sejak di sahkannya UU POLRINo. 2 Tahun 2002. dan UU TNI Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Kekuasaan Parpol sangat besar terhadap POLRi dan TNI. Walau hak memilih adalah PResiden namun tanpa persetujuan DPR tidak bisa. Jadi secara Politik, presiden bukan satu satunya boss POLRI. Mau engga mau, POLRI dan TNI ya berpolitik mereka.


Hebatnya Jenderal rising star yang berpotensi calon Kapolri dan Panglima TNI, berusaha mencari cantolan ke partai. Makanya jangan kaget, Kadiv Propan mudah sekali boongi Kapolri dan Kompolnas. Jangan kaget bila KASAD seenaknya tidak patuh kepada Panglima TNI. Apa jadinya? Ya kacau. Sulit berharap kepada TNI dan POLRI akan berfungsi sebagai alat ketertiban dan keamanan nasional. Apalagi berharap kepada keadilan. Semuanya omong kosong.


Ini sangat berbahaya. Karena sudah sampai pada krisis konstusi. Tanpa ada kemauan dan niat baik melakukan revisi UU tersebut, negeri sedang tidak baik baik saja.


***


Arti ambigu itu bermakna ganda. Orang bisa bebas maknai sesuai persepsinya. Misal PLN itu perusahaan negara. Pengertian orang perusahaan negara harus sosial. Karena makna negara sesuai UUD 45. Semua SDA harus dikuasai negara untuk seluas mungkin manfaatnya bagi rakyat. Tapi ada juga yang punya pengertian “ oh tidak harus sosial, perlu juga komersial. Kalau rugi gimana melaksanakan fungsi sosialnya” Sampai disini paham ya apa yang dimaksud Ambigu.


Ambigu menjadi masalah dalam tata negara kita. Akibatnya, pembangunan tol dianggap prestasi hebat. Padahal jalan tol itu fungsi komersial sebagai jalan alternatif. Biasa saja kalau memang keberadaan tol itu karena business as usual. Yang jadi masalah kalau keberadaan tol itu karena kebijakan tarif dan fasilitas skema pembiayaan dari pemerintah. Nah ini rente namanya. Berbeda kalau pemerintah bangun jalan umum dan  negara intervensi lewat APBN. Ya wajar.


Kalau Pertamina untung ya wajar. Dia kan lembaga bisnis. Tapi kalau rugi, ya engga boleh diberi dana kompensasi. Kalau dapatkan dana kompensasi lewat APBN maka itu udah kebijakan ambigu. Tidak jelas mana komesial dan sosial. Apakah Pertamina itu badan logistik dan distribusi Nasional atau trading oil company. Selagi kebijakannya ambigu, ya jangan kaget masalah BBM jadi rente tak berujung. Ribut aja terus.


Kalau PLN untung ya wajar. Dia kan persero. Jadi kalau ngeluh oversupply dan salahkan konsumen engga mau pakai kompor listrik. Kan lucu. Lebih lucu lagi kalau keluhan itu ditanggapi pemerintah, ya pemerintah sudah menerapkan kebijakan ambigu. PLN itu tidak jelas. Apakah berfungsi soial atau komersial. Kalau komersial, kenapa dia dapat proteksi dari pemerintah dan dapatkan dana lewat fasiltas APBN? Kalau berfungsi sosial, kenapa dia tidak mau jangkau layanan listrik ke daerah terpencil dan hapus pelanggan 450 VA.


Pancasila itu sebagai idiologi tidak punya dasar UU. Jadi Pancasila memang ambigu sejak RUU HIP dibatalkan pembahasannya oleh DPR. Semua orang berhak menterjemahkan dan mempersepsikan Pancasila sesuai dia mau. Tapi yang benar pancasila menurut penguasa. Akibatnya kalau rakyat katakan bahwa korupsi itu bertentangan dengan nilai nilai Pancasila. Dan perlu adanya UU Perampasan Aset bagi koruptor. DPR menolak. Itu tidak sesuai dengan nilai pancasila, kemanusiaan yang adil dan beradab.


Bingung kan ? Memang bingung. Makanya jangan dibawa perasaan melihat kebijakan pemerintah. Dibawa senyum aja. Karena dimana mana sama saja. Negara itu dikelola oleh politisi yang tidak pernah dewasa. Semakin kerja semakin membingungkan. Apalagi kalau ngomong.


No comments:

Menyikapi keputusan MK...

  Pasar bersikap bukan soal kemenangan prabowo -gibran. Tetapi bersikap atas proses keputusan yang dibuat oleh MK. Pasar itu jelas cerdas, l...