Friday, August 17, 2018

Menilai personal pasangan Capres.



Apa yang terjadi seandainya bukan Jokowi yang presiden kelak.? Tanya nitizen. Sebelum saya jawab pertanyaan tersebut. Maka mari kita liat karakter dari masing masing calon presiden. Saya menilai karakter ini tidak berdasarkan kepada perasaan suka tidak suka,  tetapi berdasarkan rekam jejak mereka sebagai pengusaha. Rekam jejak ini bukan berdasarkan rumor tetapi sudah menjadi rahasia umum. Artinya sudah dibicarakan di media massa termasuk media digital. Tentu didasarkan persepsi saya sebagai pengusaha. Jadi sudut pandang saya  lebih kepada praktis, bukan teori. Baik saya jelaskan sebagai berikut.

Jokowi.
Setamat kuliah , Jokowi hanya sebentar jadi Pegawai. Itupun dia magang di BUMN. Setelah itu dia terjun dalam dunia bisnis. Usaha yang dirintisnya tidak jauh dari pengetahuan yang dipelajari di Kampus, yaitu kehutanan. Tidak jauh dari pengalaman usaha keluarga dari Ayahnya yang memang punya skill tukang kayu. Dalam memulai usaha, Jokowi dapat modal dari bank. Itu dengan menggadaikan harta keluarga. Dari sana dia merintis usaha sebagai pengusaha kreatif dibidang perkayuan. Tentu, karena latar belakangnya adalah sarjana, maka usahanya itu ditopang dengan cara cara terpelajar pula. Seperti, bagaimana cara mendapatkan mitra untuk pengadaan bahan baku dan pembeli. Dia juga belajar bagaimana memasarkan dengan cara cara modern. Bagaimana membangun image atas merek. Bagaimana mendesign produk agar punya nilai tambah dan bisa bersaing.

Anda mungkin menganggap usaha kreatif menghasilkan furniture itu recehan. Benar, kalau di bandingkan dengan industri kimia. Tetapi anda harus tahu bahwa sebagian besar laba yang didapat dari penjualan furnitur itu berasal dari creative design. Labanya bukan satu digit atau dua digit secara persentase tetapi tiga digit. Bahkan bisa 4 kali lipa dari modal. Jadi ini bisnis low profile but high profit. Namun tanpa ketekunan dan passion yang tinggi tidak mungkin bisa unggul dalam persaingan. Tidak mungkin bisa berkembang. Produknya masuk ke pasar international. Tanpa Jokowi punya bakat untuk bisa bersaing dan berkembang tidak mungkin dia bisa bermitra dengan konsumen international. Bahkan dia punya outlet di luar negeri untuk produk furnitur bermerek JKW.

Saya yakin ketika Jokowi diangkat sebagai pengurus ASMINDO ( Asosiasi Permbelan dan Kerajinan Tangan Indonesia ) bukan karena dia kaya raya. Tetapi sikap konsistensi dan reputasinya dikenal baik oleh pengusaha sejenis. Kalau anda jadi ketua KADIN atau HIPMI, itu lebih karena faktor politik. Karena anggotanya berbagai jenis usaha. Tetapi untuk asosiasi, itu lebih kepada reputasi anda sebagai pengusaha dilikungan usaha sejenis. Tentu mereka lebih tahu siapa anda. Kalau anda tukang ngemplang utang dan suka tipu sana tipu sini, pasti tidak akan dipilih sebagai pengurus Asosiasi. Masuknya Jokowi ke politik, itu juga karena dorongan dari teman temannya di ASMINDO. Mereka inginkan Jokowi memperbaiki Solo. Sampai kini usahanya tetap jalan dan  dikelola oleh keluarganya. Tidak ada yang bangkrut. Karir politiknya berkembang karena lebih kepada sikap mentalnya dalam bisnis juga diterapkan dalam dunia politik.

Prabowo dan Sandi.
Prabowo menjadi perwira rising star karena dia adalah menantu dari Pak Harto. Bukan rahasia umum bila begitu banyak keistimewaan diberikan Pak Harto agar karir PS cepat naik dan selamat dari proses kompetisi dengan sesama perwira seangkatan dengan dia. Jadi harap maklum bila karir militernya berakhir setelah mertuanya tidak lagi jadi RI-1. PS jadi pengusaha juga tidak dari bawah sepeti Jokowi. Tetapi karena fasilitas pemerintah Megawati yang memberikan dia kemudahan pengambil alihan asset melalui BPPN, yaitu KIANI. Walau dia tidak punya pengalaman hebat sebagai pengusaha, namun adiknya, Hashim , yang pengusaha mengawalnya dengan baik. 

Apakah asset BPPN yang diambil alih itu berkembang menjadi asset berkelas dunia seperti cita cita Pak Harto ketika memberikan fasilitas lahan untuk Hutan Tanaman Industri dan pinjaman melalui dana reboisasi kepada pendiri KIani ( Bob Hasan). Tidak. Kiani ditangan PS malah bangkrut dan akhirnya diambil alih oleh konsorsium kreditur. Bahkan proses pengambil alihan itu membuat dirut bank Mandiri masuk penjara. Lolosnya PS dari kasus KIANI lebih karena campur tangan politik.  Setelah itu, PS masuk ke bisnis tambang batubara dan nikel. Itupun lebih sebagai pemilik saham goodwill atau rente. Karena fasilitas konsesi bisnis yang dia dapat dari pengaruh politiknya di era SBY.

Dari bisnis semacam itulah dia mendapaktan uang tidak sedikit untuk membiayai gaya hidupnya sebagai pengusaha maupun sebagai politisi. Kalaupun dia duduk sebagai ketua HKTI, maka itu bukan karena kepedulian dan reputasinya membela petani dan nelayan. Tetapi lebih kepada permainan politik. Terbukti hanya satu periode , posisinya sebagai ketua HTKI dijatuhkan lewat Munas. Karena memang miskin prestasi. Namun apakah PS menerima begitu saja? tidak. Dia malah mengajukan gugatan atas hasil MUNAS itu,  yang akhirnya kalah di pengadilan. Mengapa? Memang untuk bisa jadi ketua asosiasi semacan HKTI harus punya trust tinggi dihadapan anggota. Kalau trust habis, maka habis juga posisi.

Sandi, dia mengawali karirnya sebagai pengusaha dan akhirnya berkembang karena kedekatannya dengan keluarga William Suryajaya. Berteman dengan orang kaya sekelas Sandi tentu tidak sulit menjadi kaya. Apalagi dia memang cerdas. Namun kecerdasannya itu tidak membuat reputasi dia sebagai pengusaha tinggi. Di hadapan keluarga William Suryajaya dia masuk katagori Bad news. Ada catatan kecil dari sepak terjang Sandi sebagai pengusaha. Yaitu ketika dia mendirikan perusahaan Asuransi. Bisnis asuransi itu lebih karena Trust dan fasilitasn negara. Resiko yang ada pasti di back up oleh penjamin resiko lain ( reinsurance ). Jadi benar benar aman. Nyatanya Perusahaan asuransi yang didirikan oleh Sandi itu dihentikan operasionalnya oleh otoritas  dan terpaksa dijual kepada pihak lain atas persetujuan OJK. Dalam dunia bisnis tidak ada bisnis asuransi yang bisa bangkrut. Kecuali di rampok oleh pengurusnya sendiri. Mengapa ? karena asuransi itu menawarkan janji, bukan barang. Kuncinya ada pada trust pemegang saham. Kalau trust jatuh maka semua jadi default.

***
Nah kembali kepada pertanyaan awal. Bagaimana kalau bukan Jokowi yang jadi presiden? Siapapun yang jadi presiden maka dia hanya akan menjadi pelaksana UU. Kalau melanggar UU maka pasti akan berhadapan dengan kekuatan di DPR. Bisa di jatuhkan secara konstitusi. Artinya sistem yang ada tidak akan berubah karena seorang presiden. Lantas dimana bedanya ? karena Jokowi maupun PS, Sandi punya latar belakang pengusaha. Maka gaya kepemimpinannya tidak jauh berbeda. Orientasinya laba. Hanya perbedaannya terletak pada metodelogi dan niat saja. 

Kalau Jokowi lebih menghargai proses bisnis berdarkan standar moral pada umumnya. Dia membangun kepercayaan investor bukan melalui pencitraan tetapi pemenuhan standard compliance. Memperbaiki kualitas, menjaga kepercayaan. Makanya dia berusaha memperbaki performance APBN lewat efisiensi dan peningkatan perluasan objeck pajak. Memperbaiki regulasi agar investor lebih nyaman melakukan aktifitas bisnis. Menghapus bisnsi rente agar ekonomi efisien.Artinya dia focus kepada pelayanan dengan prinsip keadilan agar orang nyaman. Kalau karena itu dia mendapatkan kepercayaan dari investor dengan meningkatnya arus investasi pembiayaan diluar APBN maka itu bukan karena ngemis. Tetapi business as usual. Disamping itu orang semua tahu bahwa JKW itu nothing to lose. Tidak ada benturan kepentingan pribadi.

Kalau PS dan Sandi , berkaca dari rekam jejaknya maka dia lebih memilih cara yang too good to be true. Lebih mengandalkan loophole hukum untuk create business dan create solution. Bukan untuk kepentingan orang lain tetapi lebih untuk kepentingan dirinya sendiri. Itu bisa dilihat dari kasus KIANI pada PS dan Perusahaan Asuransi pada Sandi. Anda bisa bayangkan kalau  mereka jadi Pemimpin di negeri ini. Proses pembangunan ala Jokowi yang berspektrum jangka panjang, perubahan kearah lebih baik secara gradual yang melelahkan, tentu tidak akan mereka lalui. Itu bukan gaya mereka. Bisa liat contoh DKI ditangan Gerindra dimana Sandi sebagai wagub. Nampak sekali mereka tidak tertarik proses kemandirian diluar APBD terjadi seperti era Ahok. Mereka hanya focus kepada APBD. Selebihnya mereka sibuk membangun kemitraan dengan pihak lain untuk mereka sendiri dan tak lupa terus membangun citra lewat retorika minus kinerja sehebat Ahok.

Kesimpulan.
Memilih presiden itu jangan berharap akan juga bisa mengganti sistem yang ada. Apalagi di DPR tidak ada satupun partai yang menguasai korsi diatas 50%. Jadi janji akan menghapus kemiskinan dengan segera, menurunkan harga seketika, meningkat ekonomi diatas 7% ditengah krisis global saat sekarang, tak lain hanyalah retorika fiksi. Sistem yang ada akan memastikan proses itu berjalan sesuai dengan UU. Tidak ada yang too good to be true. Nah untuk bisa melewati sistem itu diperlukan kreatifitas yang smart. Bagaimana bisa berjalan diatas sistem yang ada, ditengah keterbatasan APBN dan kompetisi global yang tidak bisa dihindari tanpa terjebak dengan kenyamanan status sebagai penguasa?. Kreatifitas tentu semua calon punya. Hanya niat baik itu yang sulit. 

Jokowi sudah membuktikan niat baik itu ada pada dia. Rekam jejaknya membuktikan itu. Dia tidak korupsi dan keluarganya tidak terlibat dalam pemerintahannya. Standar moralnya tinggi tanpa ada rekam jejak kasus hukum perdata terhadap dirinya. Jokowi bukan pemimpin partai. Bukan pendiri partai. Kalau sampai partai mencalonkan dia itu lebih karena reputasi dan trust secara personal yang tinggi terhadapnya. Bagaimana dengan PS dan Sandi?. PS jadi pemimpin partai bukan karena reputasi trust tetapi karena memang dia pendiri dan pemilik partai itu sendiri. Rekam jejaknya secara personal jelas kalah jauh kelasnya dibandingkan Jokowi kecuali hartanya. Nah, apa jadinya kalau bukan Jokowi yang jadi presiden? silahkan nilai sendiri.

No comments:

Negara puritan tidak bisa jadi negara maju.

  Anggaran dana Research and Development ( R&D) Indonesia tahun   2021 sebesar 2 miliar dollar AS, naik menjadi 8,2 miliar dollar AS (20...