Saturday, August 15, 2015

China vs Amerika

Kemarin malam saya bertemu dengan teman dari  China yang berkunjung ke Jakarta. Kami menghabiskan malam di cafĂ© untuk sekedar berbicara dengan santai. Akhirnya pemerintah China mendevaluasi Reminbi ( Yuan ). Kata saya. Teman ini mengangguk.Menurutnya sejak bulan juni 2010 pemerintah  China telah melakukan pelemahan Yuan sebesar 2,5%.Namun ini tidak diumumkan ke public. Setiap hari pasar uang dikendalikan dengan ketat oleh otoritas agar maksimum penguatan sebesar 2,5% dan kalau bisa ditekan melemahh sebesar 2,5%.  Namun karena kekuasaan partai begitu besar rakyat China hanya diam saja dan terus  bekerja dengan keadaan yang tidak pastai terhadap Yuan. Ketahuilah ,kata teman bahwa upaya menjaga Yuan terhadap dollar itu bukan pekerjaan mudah. Setiap hari pemerintah china mengeluarkan dana sampai dengan USD 1 miliar. Itu terus terjadi sampai dengan akhirnya kini pemerintah terpaksa membuka diri didepan public  bahwa Yuan di devaluasi. Kejatuhan wall street tahun 2008  Amerika menyalahkan  China dengan tuduhan melakukan manipulasi mata uang. Apanya yang kami tipu ? kata teman itu. China bekerja keras siang dan malam untuk berproduksi.China tidak ada urusan dengan pasar derivative yang maya itu.China hanya tahu pasar barang  yang real untuk memenuhi konsumsi dunia. Dan untuk itu China harus memaksa buruhnya bekerja dengan upah marah agar orang eropa dan Amerika bisa menikmati barang dengan harga murah. Kami melakuka apa saja agar kami bisa makan dan dunia mendapatkan harga yang murah. Dimana salah kami ? demikian teman itu dengan argumentasi sederhana.

Cobalah bayangkan, lanjut teman itu. Untuk mengatasi krisis tahun 2008, pemerintah Amerika melakukan bail out melalui 10 bank terkemuka namun dana itu tidak disuplai untuk memperkuat likuiditas sector real. Dana itu hanya ada dalam catatan akuntasi bank yang tak tersentuh untuk mendorong perbaikan sector real. Kemudian  the Fed mengeluarkan QE dengan tujuan untuk melemahkan mata uang dollar agar Amerika punya daya saing untuk ekspor nya.Tapi apa yang terjadi? Dana QE itu tidak di suplai ke sector reai. Lagi lagi digunakan untuk memusskan nafsu perang mata uang para petinggi moneter Amerika Dana hasil QE itu dilempar ke Negara berkembang seperti Brazil,Turkey, Indonesia dan Negara emerging market lainnya. Akibatnya terjadi arus dana panas masuk ke Negara emerging market. Yang terjadi berikutnya dapat ditebak. Terjadi bubble harga di bursa saham dan property.Ekonomi tumbuh namun itu bukanlah pertumbuhan real tapi hanya dampat dari bubble. Pada waktu bersamaan Negara emerging market harus kehilangan banyak devisanya untuk menahan pelemahan mata uangnya akibat ancaman kenaikan suku bunga the fed. Mereka takut ketahuan oleh rakyatnya bahwa pertumbuhan ekonomi itu hanyalah fake growth. Tapi .kata teman itu lagi,saya senang pemerintah Indoensia sejak jokowi berkuasa berani melakukan koreksi secara sistematis dengan membiarkan rupiah melemah dan mengembalikan mata uang ketingkat yang efektif diterima pasardan mendukung upaya memperbaiki fundamental ekonomi. Era fake growth sudah berlalu. Seharusnya Negara berkembang lainnya menyadari bahwa system ekonomi global sudah kacau karena ulah Amerika.

Saya berharap teman itu memahami kegusaran Amerika dimana akibat dari melemahnya mata uang china selama dua puluh tahun belakang telah menimbulkan jutaan supplay chain industry di Amerika pindah ke China. Karena industry utamanya sudah  lebih dulu pindah dan mereka tidak mau kehilangan peluang. Apalagi china memberikan subsidi terselubung kepada industry hulu guna memastikan industry hilir tumbuh dengan efisien,dan tentu upah buruh yang murah tetap hal yang menarik bagi investor asing masuk ke China. Ekonomi Amerika semakin memburuk karena tidak ada lagi pertumbuhan impor  China dari Amerika. Padahal China adalah pasar terbesar didunia. Negara Eropa-pun  merasakan dampak buruk akibat geliat ekonomi China. Makanya tidak berlebihan bila Negara Amerika dan eropa menuduh China melakukan penipuan mata uang.  Tapi teman itu dengan tangkas mengatakan bahwa amerika dan eropa tidak bisa menyalahkan  China. Kejatuhan ekonomi  amerika dan eropa karena adanya tidak sinkron nya antara kebijakan fiscal dan moneter. Semua tahu itu. Liatlah generasi muda terpelajar Amerika dan eropa lebih senang menjadi pialang oblgasi dan saham daripada menjadi enterprenuer menciptakan inovasi. Lembaga keuangan yang seharusnya menjadi mitra dunia usaha untuk petumbuhan ekonomi real malah menjadi mitra para hedger untuk tumbuhnya pasar derivative yang culas itu.

Kini Negara  Eropa dan Amerika mulai melakukan aksi perang dagang dengan disyahkannya UU Fair Trade Act oleh DPR Amerika. Dengan demikian pemerintah lebih punya legitimasi memaksa China melakukan tiga hal.Pertama, mendorong Cina untuk mengubah model pertumbuhan untuk lebih mengandalkan permintaan domestik, kedua, Yuan harus dikembalikan kepasar, dan ketiga , memberikan kesepampatan bagi perusahaan Amerika ambil bagian dari konsumi domestic China.Demikian kata saya.Dengan tersenyum teman itu berkata “persoalan  amerika dan eropa karena mereka culas dan rakus. Itu masalahnya. Dan kami tidak akan mau tunduk dari tekanan amerika dan eropa. Walau mungkin akan  ada sikap lunak pemerintah namun tidak akan mengurangi kebijakan bahwa dalam  negeri adalah segala galanya. Amerika harus  berubah dengan mendidik rakyatnya mandiri dan berproduksi. Jangan paksa Negara lain membuat kebijakan yang memanjakan Perusahaan Amerikan. Hanya itu yang harus dilaukan Amerika.Perang mata uang akan terus berlangsung dan china akan semakin kokoh membetengi industrinya dan mendidik rakyat cinta produksi dalam negeri..

3 comments:

Unknown said...

bung Eli, kapan ulasan tentang devaluasi yuan di publish? kira" dari sudut pandang pemerintah dan rakyat tiongkok sendiri bagaimana? termasuk dengan rontoknya bursa shanghai?

carikpr said...

Bang Eli, mohon ijin share tulisannya di web sya (divatra.com) ya, jika boleh?

Asuh said...

Izin share di fb, tulisannya sangat bermanfaat.

Putin memenangkan Pilpres Rusia.

  Pemilu Rusia, memilih empat calon presiden, yaitu Putin, Leonid Slutsky, Nikolai Kharitonov, dan Vladislav Davankov. Hasilnya ?  Komisi Pe...