Sunday, May 29, 2011

Arafah

Pada waktu dipesawat saya pernah bertemu dengan orang Yahudi. Dia bilang begini. Ada sebuah negara yang tak punya territory khusus namun dia terbentang dilima benua. Mereka berbeda dalam rupa maupun pendapat. Mereka berbeda dalam banyak hal menyangkut sosekbudpol. Dari perbedaan itu mereka tertip walau tidak ada pemimpin tunggal seperti katholik dengan Vatican nya. Tidak ada menteri maupun parlemen dalam negara itu. Tidak ada panglima tunggal. Tidak ada APBN tunggal. Diantara komunitas dilima benua itu terstruktur satu bangunan yang sangat kokoh. Mereka melangkah kearah yang sama. Setiap tahun populasinya terus bertambah dan bertambah. Mereka hidden power yang membuat resah siapa saja yang berbeda dengan mereka namun tak ada alasan akal sehat untuk membenci mereka. Bagaimanapun bila terjadi pertikaian karena perbedaan paham diantara mereka namun mereka cepat sekali bersatu ketika ada yang membelokan arah mereka.

Yahudi sudah lama membangun negara seperti itu, katanya.. Untuk mewujudkan cita-cita tersebut, berbagai bidang strategis harus kami kuasai dan tidak memberikan peluang kepada selain kami. Kami menguasai dunia informasi karena dibutuhkan satu global system untuk alat propaganda jangka panjang dan massive. Kami menguasai seluruh lembaga keuangan dunia, karena dengan menguasai perekonomian global, roda kehidupan suatu bangsa lebih mudah kami kontrol, dan sekaligus membuka jalan menuju cita-cita kembali ke tanah yang dijanjikan. Tujuan kami hanyalah mendirikan satu pemerintahan yang secara tersembunyi mampu mengatur dunia baru. Kami tidak perlu menguasai jabatan negara secara formal, tetapi mampu menempatkan orang kami dalam jajaran pengambil keputusan agar melaksanakan rencana-rencana kami. Di suatu negara, presidennya dapat siapa saja , tetapi jiwa pemerintahan, struktur budaya, serta perekonomiannya harus tunduk dan diperbudak oleh sistem kami.

Berjalannya waktu , lanjutnya, kami memang berhasil. Tapi hanya berhasil menguasai pemimpin dan elite negara dikawasan itu. Untuk membelokan arah komunitas, sampai kini kami tidak berhasil. Bahkan kalau bisa dikatakan kami tidak menghasilkan apapun. Padahal kami menggunakan segala kepintaran dan kekuatan dana maupun militer untuk mencapai seperti itu. Program globalisasi, liberalisasi, demokratisasi dan lain sebagainya sengaja kami plesetkan agar merusak arah dari negara itu. Tapi tidak pernah berhasil membelokan arah mereka. Bahkan, lanjutnya, globalisasi dimaknai negara itu sebagai program internationalisasi mereka menguasai lima benua, liberalisasi dimaknai mereka sebagai kebebasan terstruktur mencapai tujuan secara efektif. Demokratisasi dimaknai mereka sebagai wahana kebersamaan mencapai tujuan bersama. Setiap upaya kami untuk memecah mereka justru membuat mereka semakin bersatu.

Saya tanya mengapa anda kawatir dengan negara seperti itu. Dia jawab , bagaimana tidak kawatir.? Negara itu telah memotong setiap langkah kami. Telah membuat kerja keras kami sia sia. Kamilah yang seharusnya menguasai dunia dan menjadi pemimpin dunia, bukan negara itu. Katanya geram. Bukankah anda terkenal sebagai bangsa yang cerdas. Bangsa yang menguasai ilmu pengetahuan, dana, media massa. Tentu tidak sulit bagi anda untuk mengalahkannya. Demikian kata saya. Bagaimana kami mau hadapi mereka. ? Katanya bingung. Mau head to head ? ya tidak bisa. Kalau ada pemimpin , ya kita bisa bunuh pemimpinnya. Tapi ini tidak ada pemimpinnya. Kalau ada tentara ,kami bisa hadapi dengan tentara, tapi ini tentara engga ada. Kalau ada elite pengendali kekuatan politik , tentu akan mudah kami pengaruhi. Tapi ini tidak ada. Ini virtual state ! katanya dengan putus asa. Yang jadi pertanyaan siapakah yang mempersatukan arah mereka ? tidak ada satupun tesis pengetahuan modern bisa menjelaskan bagaimana mereka bisa bersatu kesatu arah ?

Yahudi itu terdiam agak lama. Mungkin dia tak minat lagi bicara dengan saya. Tapi masih ada satu pertanyaan mengganjal dalam diri saya. Negara apakah itu. ? Apakah benar ada virtual state yang dimaksud dia ? Ketika saya tanyakan itu, dia menoleh kearah saya dengan wajah murung. "Itulah NEGARA ISLAM ". Setiap tahun mereka berkumpul di Arafah sebagai repliksi eksistensi mereka di lima benua, yang walau berbeda beda tetap satu tujuan, jawabnya. Saya tersenyum. Dia bingung sambil bertanya ” Are you Muslim ”. Tanpa menjawab namun dalam hati saya berkata “ Bagaimana anda mau lawan, wong Pemimpinnya ALLAH. Apakah ada kekuatan didunia ini yang bisa menandingi ALLAH. ? Inilah Mujizat Al Quran yang membuat umat Islam bersatu walau berbeda suku, ras, budaya, mazhap, bangsa :

Al-Quran surat Al-Hujurat (49): 13 “ Wahai seluruh manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang lelaki dan seorang perempuan, dan Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” Karena perbedaan itu tak seharusnya saling menjelekan karena Allah telah mengingatkan dalam Firmannya “Janganlah satu qaum (kumpulan lelaki) mengejek qaum (kumpulan lelaki) yang lain. Jangan pula (kumpulan perempuan) mengejek (kumpulan) perempuan yang lain, karena boleh jadi mereka (yang diejek) lebih baik daripada mereka (yang mengejek) (QS Al-Hujurat [49]:11). Karena Allah berfirman "Sesungguhnya umatmu ini adalah umat yang satu" (QS Al-Anbiya' [2l]: 92, dan Al-Mu'minun [23]: 52).

Kehebatan Peradaban islam akan terjelma melalui fastabiqul khairah ( Al Baqarah : 148 dan Al Maidah 48) melalui akhlakul karimah ( Al A'raaf 199). Ya, masing masing suku , ras, bangsa , individu dipersilahkan Allah untuk berkompetisi dan yang paling baik adalah yang paling takwa. Hanya melalui perbedaanlah, kompetisi terbentuk dan pemenang akan muncul. Ini sunattullah.

Sunday, May 22, 2011

Nasionalisme ?

Dalam salah satu dialogh, Almarhum Saban Sirait pernah berkata “ Kita ( politisi ) adalah pemain. Pemain dimedan persepsi, bahwa politik itu soal kekuasaan. Pada setiap kekuasaan pasti ada kepentingan. “. Saya pernah mendengar salah satu anggota Dewan yang kebetulan Partainya menjadi pemenang pemilu. Dia berkata ” Republik ini sekarang kita yang punya. We win we take all ”. Apakah mereka berpikir bahwa politik adalah amanah yang harus dipertanggung jawabkan dunia akhirat? Apakah mereka sadar bahwa jabatan politik adalah jabatan yang duduk diatas bara api ? Kalau dari sikap dan gaya mereka mendapatkan kekuasaan dan mempertahankan kekuasaan, maka tahulah kita bahwa semua harapan ideal kekuasaan itu hanyalah omong kosong. Politik adalah bisnis. Pada setiap business ada uang dan kerakusan. Ada transaksional diantara elite politik. Ada bisik bisik dalam canda dan tawa dibalut aroma maksiat untuk berbagi diantara mereka.

Lantas masih adakah nasionalisme ? Di era multi partai dan dunia politik yang pragmatis , idiologi sudah masuk keranjang sampah. Nasionalism sudah basi untuk dibicarakan. Apalagi dikemukakan dalam derap kebijakan negara. Politik adalah wahana bisnis yang tentu dikelola secara bisnis pula. Para pemain adalah orang yang cerdas membaca peluang dan sangat paham bersikap layaknya businessman yang tak sepi dari seni berkompetisi. Diwahana ini Negara tergantung kepada capital dan capital tergantung pada pasar. Ini jalinan yang tak bisa dipisahkan. Sebuah realita dimana kapitalisme mendikte semua kehidupan dari sejak bangun tidur sampai terlelap tidur. Negara adalah MNC yang bekerja berdasarkan profit oriented. Jangan tanya soal charitiy atau berbagi sesuai amanat UUD 45 pasal 33. Jangan tanya Palsafah negara soal Ketuhanan yang Maha Esa yang mengharamkan money didalam politik kesatuan dan persatuan. Jangan tanya kalau tidak ingin kecewa..

Di etalase itu bendera partai diletakkan dengan jarak tertentu. Kalau bukan jarak fisik, ia jarak dari keseharian kita. Mereka tampak mengimbau karena mereka, seperti satu adegan film Avatar, bukan bagian dari malam dan siang kita yang lazim. Marx pernah berbicara tentang ”festishisme komoditas”: ketika komoditas jadi jimat, benda yang dianggap punya kesaktian, atau, dalam bahasa Portugis, feitiço. Di depan etalase Emiglio Zegna, yang memajang kemeja dan pantalon yang necis, kita tak tahu siapa Emiglio Zegna. Kita tak peduli apakah itu nama sang desainer atau nama seorang aktor yang dipinjam untuk jadi merek. Kita mungkin kagum kepada desainnya, tapi tak peduli siapa yang merancang. Kita bahkan tak merasa perlu tahu siapa yang punya toko. Di pikiran kita hanya sederet pantalon, sederet jas, sederet hem. Apa yang dikatakan Marx tepat di sini: benda-benda itu kini menampilkan ”sifat metafisik yang halus” dan ”kesantunan theologis”.

Ya, suka tidak suka, biang persoalan ada pada sistem. Ini dunia kapitalis. Politik Kapitalisme, dengan kemampuannya merayakan apa yang visual, mencoba menebus sesuatu yang hilang. Ia lahir bersama penaklukan dunia dan kehidupan, yang menghabisi pesona akhlak mulia, dan aura sang Kiyai yang dulu dirasakan hadir—gejala yang terkenal dalam sebutan Max Weber sebagai Entzauberung der Welt. Sejak awal abad ke-19, ketika benda-benda dipajang di toko-toko besar, sebuah sistem bernama demokrasi menempatkan orang ramai sebagai konsumen yang dibuat takjub. Dengan teknik pemasaran yang piawai, sebetulnya menghidupkan ilusi walau prosesnya berangkat dari perhitungan rasional. Akal sehat dikalahkan oleh hasrat. Ilusi itu bekerja karena bergolaknya hasrat. Ada yang akan menyebutnya ”nafsu”: bagian dari bawah-sadar yang hanya kita temui di saat yang tak bisa direncanakan, yang tentang sumbernya kita cuma bisa bilang, ”Entah.”

Era kini kita datang ke bilik suara Pemilu tak ubahnya pergi ke Mall. Kita datang ke bilik suara milihat gambar. Kita hanya melihat poster terpampang, ada deretan wajah tersenyum berjas Army. Ada sebagian kita kenal , wajah yang acap muncul di TV dalam Sinetron. Sebagian kita tidak kenal dengan pasti. Kita memilih pergi ke sana dan tertarik karena kita hidup di antara fantasi, mimpi, hasrat, yang sudah mengisi diri kita, bertaut dengan hal-hal yang telah membentuk impian sosial. Antara aku dan calon pemimpin dalam etalase politik itu ada satu proses perantaraan, terutama oleh media—majalah Dewi, Esquire, Kosmopolitan, Pentas Dangdut, iklan kecap KS, dan entah apa lagi—yang membentuk pelbagai markah: merek, gaya, potongan bentuk, bahkan mall itu seluruhnya menandai ”kecantikan” atau ”kegantengan” atau ”kepatutan”. Semuanya menggoda Seperti lirik KD ” Pilih lah aku” dan kemudian kamu harus ikhlas dikibuli.

Namun kita tahu dan sadar bahwa pesona visual dari kapitalisme-lewat-etalase itu punya dua sifat. Yang pertama, ia tak punya kedalaman atau tidak membumi. Ia datar seperti etalase, tanpa misteri. Yang kedua, ia dibebani kesementaraan yang dibungkus oleh hasrat disebut ”hasrat” karena ia tak terpuaskan.

Friday, May 20, 2011

Kebersamaan...

Hari ini , saya menikmati kehidupan dalam komunitas saya. Keluar rumah , saya berjalan kaki ke pangkalan Ojek. Baru melihat saya nongol ditikungan jalan, tukang Oject yang lagi mangkal langsung semua berdiri dan selalu diiringi dengan senyuman. Biasanya mereka adu cepat menawarkan diri dalam suasana berkompetisi. Namun kali ini , mereka serentak menawarkan ojek salah satu temannya. ” Pak Haji, naik ojek dia aja ” kata mereka serentak. Saya tidak tahu mengapa begitu. Dengan bismillah, saya ikut saja. Dalam perjalanan, tukang ojek itu cerita tentang uang sekolah anaknya belum bayar. Dalam hati saya tersenyum. Tahulah saya mengapa teman temannya minta agar saya naik ojek dia. Setelah turun dari ojek, saya membayar ongkos oject dan tip untuk uang sekolah anaknya. Tahap awal perjalanan, saya menyaksikan kebersamaan dari komunitas terkecil dilingkungan terdekat saya. Mereka tahu temannya punya masalah dan mereka peduli dengan temannya.

Dari pinggir jalan raya, saya naik angkot. Seperti biasanya, supir angkot tidak akan pergi sebelum penumpang penuh. Siang itu udara cukup panas. Tapi tidak ada satupun penumpang angkot yang mengeluh dengan ulah supir angkot yang tak beranjak pergi sebelum penuh. Setelah cukup lama menanti, akhirnya supir angkot menyerah untuk terus berangkat walau penumpang belum penuh. Dalam perjalanan menuju terminal, matanya dengan awas melirik disetiap mulut gang. Berharap ada penumpang yang melambaikan tangan minta ditunggu. Feeling nya cukup kuat, bila dia yakin ada calon penumpang akan keluar dari gang, dia akan menunggu dengan sabar. Kembali kami para penumpangpun harus ikhlas menunggu dalam kepanasan. Tidak ada gerutu atau kesal. Apa yang saya rasakan bahwa komunitas ”bawah” terlatih sabar dengan sarana ala kadarnya. Pemberi jasa maupun penerima jasa , sadar sesadarnya untuk saling memaklumi. Memang aturan tertip dijalan dilanggar, namun Polisi hanya melihat tanpa berbuat sesuatu untuk menegur. Hukum boleh berkata tapi realita menghapus hukum itu sendiri.

Setelah turun dari Bus Way di terminal Pasar Baru, saya berjalan kaki ke Mesjid Istiqlah untuk sholat Lohor. Dekat lapangan banteng, langkah saya terhenti melihat disamping halte dua orang anak manusia sedang makan siang. Satu bungkus nasi dimakan berdua. Mereka tidak memperdulikan hilir mudik orang berjalan. Siang ini mereka menikmati makan siang dari rezeki yang mereka terima. Saya melihat dari kejauhan ada temannya menghampiri mereka yang langsung ditawari makan. Nasi bungkus itu yang hanya berisi tempe dan tahu, dibagi untuk tiga orang. Maka pesta makan siang berlangsung dengan keringat mengalir dikening mereka. Mereka makan dengan lahapnya. Saya tahu bahwa mereka adalah kelompok urban yang hidup melata di Jakarta dengan tanpa penghasilan tanpa hope. Tapi mereka tetap bertahan, karena...kebersamaan. Saling berbagi dengan iklas. Sedikit didapat ,sedikit itulah dibagi.

Seusai sholat lohor, saya makan siang di warteg dekat Mesjid Istiqlal. Selama saya makan saya melihat orang sehabis makan hanya dicatat oleh tukang warteg tanpa membayar sama sekali. Ketika saya tanya, petugas warteg itu mengatakan itu catatan bon ( hutang makan ) yang akan dibayar kelak. Tentu setelah yang berhutang punya uang ( entah dari mana karena tidak punya sumber panghasilan tetap ) . Saya tertegun. Sebuah jalinan kebersamaan yang luar bisa dan hampir tidak ditemui dalam dunia kapitalis. Komunitas yang akrab lahir batin. Pedagang warteg itu telah bertindak sebagai undertaker dan juga provider sosial tanpa ada insetif permerintah, tanpa UU dan Peraturan. Walau setiap hari ada petugas kota memungut retribusi namun dia sadar hanya masalah waktu tempatnya akan digusur oleh PEMDA demi ketertiban kota dan tentu hutang pelanggan akan sulit ditagih. Dia mengambil resiko demi komunitasnya terdekatnya.

Saya membaca koran di tangga Mesjid Istiqlal. Ada artikel menarik tentang seseorang yang mantan pedagang kaki lima, mengorganisir pedagang kaki lima untuk membangun Mall Modern. Tidak ada bantuan pemerintah, tidak ada bantuan perbankan, tidak ada bantuand developer komersial. Mall terbangun berkat kebersamaan pedagang kaki lima. Maka jadilan Mall modern pertama di Indonesia yang dibangun oleh komunitas pedagang kaki lima. Mal terbangun untuk menampung komunitas PKL dan otomatis mereka terangkat dari status informal menjadi formal. Saya termenung., hari ini, saya melihat dan merasakan, mengetahui dengan pasti sebuah realita tentang negeri yang saya cintai. Kalau Rakyat china dan Jepang, hebat dalam kebersamaan, maka Rakyat Indonesia lebih hebat. Kalau rakyat AS dan Eropa hebat soal kreatifitas , rakyat Indonesia lebih kreatif dan gigih dalam besyariat. Mengapa ? Rakyat negara lain hebat karena system politk dan elitenya qualified. Tapi Indonesia elite politiknya brengsek namun rakyatnya tetap mampu mandiri. .

Jadi, andaikan Indonesia memiliki elite politik yang qualified lahir batin untuk kepentingan rakyat, saya yakin Indonesia adalah negara hebat terhebat didunia. Tidak usah ada program kemandirian karena rakyat memang sudah mandiri. Yang diperlukan kini adalah pemerintah yang mandiri dari segala pengaruh kekuatan asing. Engga percaya ? silahkan para angota Dewan , President, Menteri, Gubernur, Bupati, turun langsung ditengah tengah masyarakat bawah yang merupakan mayoritas populasi negeri ini. Saya yakin kesimpulannya akan sama dengan saya. Jadi tidak perlulah studi banding ke luar negeri. Membangun itu melihat kedalam bukan keluar dan tentu dengan niat baik , yaitu amanah kerena mencari ridho Allah.. Ya kan.

Thursday, May 12, 2011

Mind corruption

Menurut hukum di Indonesia bahwa kebijakan public tidak bisa diadili. Artinya bila Mentri, Gubernur, Bupati, Walikota, Presiden , membuat keputusan dengan Surat berlabelkan Republik Indonesia maka seburuk apapun dampaknya ditengah masyarakat maka itu tidak bisa diadili. Hukum kita hanya mengenal hukum positip. Bila karena keputusan itu pejabat mendapatkan keuntungan pribadi berupa uang dan memperkaya diri maka itu dapat dijadikan tersangka dan akhirnya terpidana. Mengapa kebijakan pejabat publik itu tidak bisa diadili? Karena setiap kebijakan dibuat berdasarkan sumber hukum yang jelas dan berjenjang. Lengkap pula dengan istilah ”mengingat ” ” menimbang” dengan bahasa pilosopis dan bahasa hukum. Ya, sebuah cara procedural untuk memastikan hukum manusia adalah hukum Tuhan yang bebas dari kesalahan. Baik kah itu ?

Mind corruption atau korupsi pemikiran ternyata jauh lebih dahsyat daya rusaknya dibandingkan korupsi uang. Atau kalau ingin dibuat lebih praktis bahwa kejahatan korupsi uang karena adanya korupsi pemikiran. Nah, mind corruption itu dalam bentuk kebijakan , dalam keputusan berlabelkan Republik Indonesia. Cobalah perhatikan, ditengah budaya brengsek para elite, acap kita tahu tentang kebijakan pemerintah yang pada gilirannya menguntungkan pihak tertentu. Selalu kebijakan tu datang berkat loby dari orang atau kelompok yang punya kepentingan. Kepentingan itu bisa bersifat politik,uang atau kekuasaan. Para petani betapa sulitnya mendapatkan keuntungan lebih dari hasil kerja kerasnya karena kebijakan import bibir, import pestisida, import pupuk dan import beras. Pengusaha angkutan dan supir merasa terpenggal pendapatannya karena kebijakan kenaikan harga BBM tanpa diberi hak untuk menaikkan tarrif secara pantas

Sistem kapitalisme adalah mind corruption yang berskala predator. Sistem ini mengenal buy low sell high and pay later. Mereka yang menguasai tekhnologi menuntut diadakannya perlindungan akan hak paten.Pejabat yang berkuasa memenuhi hak mereka dengan UU dan peraturan , lengkap dengan ancaman penjara bagi yang melanggar. Tapi pada waktu bersamaan , pemilik paten menjadikan tekhnologi sebagai cara untuk memeras konsumen. Mereka bebas menentukan harga sesukanya, dengan alasan kebebasan pasar ( free market). Perhatikanlah , tak ada satupun linked produk ( bahan pendukung industri , pertanian, IT , pertambagan ) yang tak dikuasai oleh pemilik tekhnologi. Mereka adalah Trans National Corporation (TNC). Mereka kuat dibidang riset dan pendanaan. Dengan sistem kapitalisme mereka hidup menjadi diktator ekonomi dan memaksa semua negara tunduk dengan mereka.

Bukan hanya dalam bidang tekhnologi linked produk, Dalam dunai keuangan pun sama. Semua produk investasi pasar uang dan modal berbasis kepada kekuatan lingkaran pemilik modal kelas dunia. Tak mungkin saham bisa laku deras bila tidak di underwrite oleh Fund Manage kelas dunia. Tak laku asuransi dijual bila tidak didukung reinsurance kelas dunia. Tak laku clearing house bila tidak didukung oleh international clearing house. Tak laku mata uang bila tidak didukung oleh mata uang asing seperti Dollar, euro. Semua itu tidak datang dengan sendirinya. Ia datang karena kekuatan yang melahirkan kebijakan oleh pejabat Publik. Yang dapat kita rasakan adalah semakin tergantung kita dengan kekuatan modal dan tekhnologi ,yang sebagian besar mereka orang kafir. Mereka menjajah kita lewat pemuasan akan barang dan jasa. Semakin hari semakin membuat kita semakin tergantung seiring dengan semakin mahal barang dan jasa itu.

Negara yang kita cintai terjebak dalam permainan ala kapitalisme itu. Uang sudah diperdagangkan, Riba sudah menjadi permisif. Ketamakan sudah menjadi air susu ibu. Individualisme menjadi kepribadian untuk aman dalam putaran waktu. Ya, mind corruption , memang dahsyat menghancurkan peradaban. Itu semua karena pejabat public tidak melihat hakikat mereka terpilih mengemban amanah. Mereka hanya bercermin kepada realiitas yang harus tunduk tanpa berbuat apapun. Maka jadilah masyarakat dan bangsa terjajah dalam segala hal. Sangat sulit kemerdekaan dibidang ekonomi dapat tercipta ditengah budaya mind corruption ini.

Wednesday, May 11, 2011

OPIC

James Monroe adalah President AS kelima. Ada deklarasi yang dikeluarkannya , yang sampai kini menjadi dasar bersikap bagi setiap Presiden AS, yaitu “ Amerika tidak bisa didikte oleh negara manapun. “ Deklarasi ini dikeluarkannya berkaitan dengan dominasi Eropa terhadap Amerika ketika itu. Sikap ini juga dipakai oleh Soekarno ketika AS mencoba mendikte Indonesia, dan Soekarno berkata ” Go to hell your aid."Apa yang dilakukan oleh Soekarno tak lain percis sama dengan sikap Amerika. Karena sebetulnya sedari muda Soekarno sangat terinspirasi dengan para pahlawan AS. Keitka itu , didunia hanya ada dua negara besar yang bisa berkata lantang terhadap dominasi negara asing., yaitu Amerika dan Indonesia. Setelah Soekarno tidak lagi berkuasa, Indonesia tidak lagi garang seperti sikap Soekarno. Indonesia menjadi Follower dalam segala hal. Lantas apa penyebabnya ”

Sebetulnya penyebabnya sederhana saja yaitu ”uang ”. Para elite politik paska Soekarno hanya percaya bahwa untuk meng eskalasi pembangun diperlukan uang banyak. Untuk mendapatkan uang itu maka mereka berhutang. Dengan istilah program bantuan pembangunan namun sebetulnya adalah program penjajahan secara halus lewat ikatan hutang piutang. Tentu berbagai pra syarat yang ditetapkan oleh negara kreditur harus diikuti oleh Indonesia. Berbagai kebijakan nasional tak bisa lagi dilepaskan dari campur tangan asing ( negara kreditur). Walau ada juga program bantuan lewat lembaga multilateral seperti World bank dan IMF namun keberadaan lembaga itu tak bisa dipisahkan oleh kekuatan AS dan Barat. Jadi lewat jalur manapun dana bantu pembangun pasti berujung kepada dominasi AS dan Barat. Dipermukanan Indonesia nampak maju, pembangunan bergerak cepat dan sampai disebut sebagai macan Asia. Namun kehebatan pertumbuhah ekonomi itu dalam hitungan hari hancur karena krisis.

Soeharto jatuh, group reformasi bangkit mengambil alih rezim. Dalam proses reformasi IMF pun ikut tersingkir dari platform pembangunan Indonesia. Belakangan IMF ikut terkena masalah akibat terjadinya global crisis 2008. IMF pun terkena reformasi oleh para anggotanya. AS tak lagi sebagai penguasa suara di forum IMF. China sudah masuk sebagai anggota penentu. AS dan Barat juga tak lagi berkuasa penuh terhadap Worldbank walau kantor pusatnya masih di Washington. Amerikapun kini menghadapi masalah crisis anggaran dan moneter yang parah. Lantas berhentikah kekuatan AS mengontrol negara lain lewat uang ? Oho tidak. IMF boleh di reformasi, Kekuatan suara di World bank boleh lemah. Namu AS punya banyak saluran untuk menggunakan smart power nya mengontrol negara lain. Harap dicatat bahwa , ya AS adalah suatu bangsa tapi sebagai sebuah negara , kekuatan sebenarnya ada ditangan segelintir orang yang menguasai uang. Kekuatan itu kini bersembunyi dibalik OPIC ( Overseas Private Investment Corporation)

OPIC adalah suatu lembaga independent dibawah pemerintah AS. Lembaga ini didirikan tahun 1971 yang tugas utamanya adalah mendekung kebijakan global AS untuk penguasaan pasar global dalam rangka meningkatkan produksi dalam negeri AS dan menampung angkatan kerjannya. OPIC bertindak sebagai collateral provider dan Fund Provider namun senyatanya OPIC hanyalah gateway. Sementara pemilik dana dan collateral adalah para anggotanya. Nah anggotanya ini sangat rahasia. Bahkan negara yang butuh dana lewat OPIC diharuskan menerbitkan surat hutang ( Obligasi ) berdasarkan 144 A Sec Act yang non disclosed. Pembeli surat hutang ( bond ) itu adalah anggota OPIC sendiri. Bukan hanya pembeli surat hutang, sampai kepada underwriting bond pun adalah anggota OPIC sendiri. OPIC juga terlibat dalam investasi langsung dengan memberikan jaminan kepada project untuk menarik dana dari pasar uang. Sudah ribuan project diseluruh dunia yang dibiayai oleh OPIC. Sebagian besar pembeli obligasi valas RI adalah OPIC.

Pada awalnya lembaga ini hanya berfocus pada hubungan business to business. Tak ada kebijakan politik yang masuk dalam OPIC. Tapi sejak peran AS mulai melemah di IMF dan World bank maka OPIC semakin mendapat tempat dalam kebijakan international AS, khususnya dinegara berkembang. OPIC menetapkan TOR ( term of reference ) sebagai dasar bagi setiap negara yang membutuhkan dana dan collateral dari OPIC. Dalam TOR itu diharuskan setiap negara untuk memenuhi standard compliance yang diinginkan oleh OPIC, diantaranya, negara harus membuka pasar seluas luasnya, ,menghilangkan proteksi terhadap industri local, mem privatisasi BUMN, membuka peluang penguasaan resource bagi investor asing , memotong anggaran social , menigkatkan peran pasar dan kapitalisme dalam menyusun Undang Undang dan Peraturan, menjauhkah kekuatan idiolgy dan agama dari negara. Intinya negara harus menjadikan Demokrasi sebagai harga mati dengan nilai nilai yang ditetapkan oleh AS untuk kepentingan hegemoninya terhadap negara lain.

Seharusnya kita bersikap seperti AS dan Soekarno untuk menolak setiap hegemoni negara lain terhadap kita, itulah yang baik ditiru dari AS namun yang baik itu tak bisa kita tiru…

Bukan sistem yang salah tapi moral.

  Kita pertama kali mengadakan Pemilu tahun 1955. Kalaulah pemilu itu ongkosnya mahal. Mana pula kita negara baru berdiri bisa mengadakan pe...