Friday, December 26, 2008

Undercover economist

“Undercover economist “ itulah nama buku yang ditulis oleh Tim Harford. Buku ini tidak begitu tebal. Jadi saya hanya butuh 2 jam membacanya. Selama membaca saya tidak pernah mengerutkan kening karena semua ditulis dalam bahasa popular dan mudah dipahami. Yang menarik adalah buku ini berusaha menyingkap secara vulgar tentang ekonomi dibalik banyak kebijakan yang dikeluarkan oleh negara, lembaga multilateral ,para ahli dibidang ekonomi. Ekonomi yang selama ini kita pahami sebagai salah satu ilmu social yang bertujuan menciptakan kemakmuran manusia ternyata banyak hal yang justru melahirkan kontrakdif , bahkan contra productive bagi tujuan kemakmuran. Buku ini membuka aib pelaku ekonomi sebagai binatang yang memeras demi laba dan harga. Semua tahu tentag harga tinggi tapi value is nothing.

Saya tak ingin mengurai lebih jauh tentang buku ini. Baiknya saya cerita tentang explorasi keseharian saya. Saya datang ke Mall bersama keluarga hanya karena untuk menemani sibungsu nonton filem Pada waktu mau nonton, biasanya anak anak ingin membeli makanan kecil untuk dikunyah selama di biskop. Juga salama menanti pintu dibuka ,saya menyempatkan diri untuk minum coffee di café yang khusus disediakan. Juga tersedia smooking room. Sungguh nyaman sekali. Tapi , harap dicatat bahwa harga makanan dan minuman ringan yang tersedia di biskop itu harganya 5 kali lebih mahal dibanding tempat lain. Atau mungkin 10 kali lebih mahal dibanding tempat dipinggir jalan. Coffee yang saya minum di café itu harganya sama dengan minuman di hotel berbintang.. Orang tidak punya pilihan kecuali harus membeli.

Setelah nonton usai , kita berkeliling disekitar Mall untuk melihat barang dagangan yang terdapat dietalage. Semuanya nampak menarik penampilannya. Berbagai merek terkenal dipajang. Wajah penjaja yang ramah serta ruangan yang serba terang dengan design interior mewah melengkapi suasana outlet itu. Orang datang ,melihat dan membeli tanpa boleh menawar. Karena harga sudah dibadrol. Harganya , anda jangan berpikir membayar karena kebutuhan karena pasti tidak rasional. Kecuali kalau anda membayar harga itu untuk sesuatu prestige, lengkap dengan tas belanjaan dengan logo outlet itu.Tapi untuk itu anda harus membayar 100 kali lipat dari harga untuk jenis barang yang sama , kebutuhan yang sama ditoko tradisional.

Semua arena Mall menjadi lahan business. Dari tempat parker sampai keseluruh lantai yang ada di Mall itu, termasuk ruang pamer produk. Setiap jenggal ruang Mall itu dihitung dengan teliti berapa cost membangun dan memeliharanya kemudian ditentukan dengan teliti berapa cost of fundnya , juga biaya gaji para eksekutive serta pegawai yang terlibat. Dari itulah harga jualnya terbentuk. Termasuk barang dagangan yang ditempatkan didalam Mall itu. Para ekonom menyebut ini sebagai nilai tambah dari tekhnology dan image. Tapi sebetulnya adalah penipuan cara kapitalis. Value of nothing karena mendongkrak harga dengan image atau ilusi.

Karena pemodal melihat komunitas menengah atas negeri ini tidak jauh bedanya dengan komunitas menengah di luar negeri.Maka treatment nya pun tak jauh beda , yaitu memanfaatkan budaya materialistis dan life style orang modern. Orang mengejar harga sebagai lambang status, Itulah yang dimakanai oleh para developer ketika merancang bangunan Mall bersama sama dengan ahli designer, contractor , produsen bahan bangunan. . Kemudian rencana itu dipaparkan kepada para banker untuk diterima. Uang orang kaya yang ada dibank akan mendapatkan manfaat bila diinvestasikan kedalam business ini. Karena pasarnya juga adalah para deposan bank itu sendiri. Dari sini kita melihat bahwa uang berputar dari kantong kiri ke kantong kanan. Tidak pernah terlempar keluar atau kejalanan untuk dinikmati oleh orang miskin atau memberikan pengaruh berganda bagi petani, nelayan ataupun buruh.

Komunitas Mall menyatu dengan komunitas lainnya seperti Bandara , hotel berbintang , rumah sakit international ,sekolah international, Lapangan Golf , Real estate, Lantai bursa, Town House, play group dan café , Hotel berbintang, Show Roon Mobil mewah, Tempat hiburan. Zona ini secara tidak langsung telah membangun satu komunitas tersendiri yang lepas dari komunitas bangsa indonesia yang mayoritas tidak punya akses kepada barang / jasa berkualitas. Didalam mall itu kita merasa berada di negara yang Income Percapitanya diatas USD 25,000 pertahun. Kita seperti berada di Causeway Bay Hong kong atau di Orchard Singapore. Kita tidak melihat ratusan juta wajah muram disini.

Lewat program privatisasi langsung maupun terselubung, komunitas ini sudah mulai merampas ranah public Layanan public semakin banyak di privatisasi atau dimaterialistiskan. . Agar layanan bagi komunitas ini semakin meluas menampung economic bubble.. Semua itu menjadi ring to ring sebagai satu komunitas yang menyatu., mempesona. Daya beli komunitas itu mengangkat indek konsumsi nasional dan indek ekonomi macro, menggairahkan pasar modal Para ekonom dengan enaknya mengatakan daya beli meningkat ,ekonomi begairah, masa depan cerah, arah kebijakan sudah benar.

Tapi sebetulnya hanyalah membentuk harga tanpa nilai (value of nothing). Sebuah komunitas yang renta dan menjadi biang ketidak adilan dimana mana. Akhirnya krisis Global menyadarkan semua pihak bahwa tak ada economist untuk prosperity bagi semua melainkan menciptakan kelas dan memperlebar gap…Yang menyedihkan ini semua akibat oleh regulasi dari rezim yang menjadikan demokrasi sebagai jalan menuju kemakmuran bagi semua. Dimanakah nilai demokrasi yang kita idamkan itu ? dimanakah peace , freedom, equality itu ???

Thursday, December 18, 2008

Saatnya...


Catatan akhir tahun..



Keterpurukan bangsa kita terjadi ketika masuknya kolonialisme dengan system kapitalisme dan materialisme. Para sultan dan Radja dinina bobokan oleh berbagai kemudahan oleh para colonial dengan upeti dan suap. Sehingga membuat mereka berjarak dengan rakyatnya. Para Raja atau Sultan seakan menutup mata membiarkan rakyatnya dijadikan kuli murah. Tak terbilang kekayaan alam negeri ini dikurasi dan hasilnya dikirim ke keluar negeri. Sementara rakyat hidup dalam gelimang penderitaan dan tekanan ditengah pesta dansa para bangsawan raja.

Kini setelah berabad abad berlalu, terdengar suara “ Kita tidak bisa melepaskan diri dari globalisasi” . Begitu keyakinan para petinggi kalau bicara didepan public. Dengan bahasa tegas kita dapat memaknainya bahwa kita tidak lagi merdeka dalam arti sesungguhnya. System dunia sudah terbentuk sedemikian rupa hingga kita sudah on trap dengan system tersebut. Tapi pejabat public dengan tangkas menolak kalau dibilang kita didikte oleh asing. Kita merdeka! Benarkah ? mengapa setiap kebijakan terhadap APBN kita tidak pernah bisa melepaskan diri dari recomendasi organisasi international.

Mengapa kita selalu berusaha untuk menjalin sinergi dengan jepang untuk arus export dan import ? Karena GNP jepang adalah USD 4,5 Triliun sedangkan kita hanya USD 350 billion atau GNP kita hanya 8% dari GNP Jepang. Jadi alasan kuat untuk memanfaatkan jepang sebagai mitra. Mengapa kita begitu saja percaya dengan rekomendasi USAID ? karena GNP AS yang mencapai USD 14 Trilion maka GNP kita hanyalah 2,5%. Artinya kita butuh AS untuk menjamin financial resource. Mengapa kita begitu getol mendekati China ? Karena. GNP China yang USD 3 trillion maka GNP kita hanya 12 %. Dengan demikian ada alasan untuk mendapatkan alternative resource bantuan. Mengapa kita begitu tidak tegas terhadap Eropa, ? Karena Europe dengan GNP USD 15 trilion maka GNP kita hanya 2,3 %.

Data tersebut berbicara dengan alasan yang significant. Memang dari segi ekonomi berdasarkan data data makro maka we are nothing dibandingkan negara seperti China, Jepang, Eropa , US. Tak ada alasan lain kecuali pejabat public hanya percaya dengan kekuatan ekonomi negara lain untuk mengatasi pembangunan nasional. Bertahun tahun berlalu sejak era orde baru dan reformasi. Dari President ke president berikutnya , silih beganti, namun platform tetap sama bahwa bantuan asing adalah mutlak. Ketergantungan adalah No Alternative To Objection ( NATO) untuk menjaga kesinambungan pembangunan tapi sebetulnya menjaga kesinambungan rezim.

Ketika global crisis terjadi , kita terkena imbasnya. Maka pejabat public berkata “ kita hanya terbawa banjir bandang dari AS.” Artinya kalau AS krisis maka kitapun harus ikut krisis. Namun ketika AS dan negara maju lainnya berjaya kita tetap saja sulit dengan lilitan hutang yang mencekik.. Sementara ketika krisis terjadi , semua negara maju seperti Eropa, China, Jepang, AS, dengan mudahnya melepas dana untuk mem bail out pasar dan melancarkan program stimulus dengan jumlah yang luar biasa besarnya. Bahkan AS, untuk bail out sector keuangan saja nilainya diatas USD 700 billion atau dua kali dari GNP kita. China melepas dana sebesar USD 342 billion untuk program stimulus atau sama dengan GNP kita. Sementara kita untuk program stimulus sebesar Rp. 120 triliun atau setara dengan USD 10 billion , kita harus mengotak atik ABPN dengan mengorbankan subsidi sektoral serta memohon dengan merendahkan bahu agar mendapatkan pinjaman dari asing…

Kita belum begitu pulih dari akibat krisis 1998 , kini kita dihadapkan keadaan didepan yang semakin sulit. Tahun tahun kedepan memang mengerikan . Akan banyak Perusahaan Sekuritas yang menjerit karena redemption reksadana. Akan banyak debitur yang gagal bayar bunga dan cicilan karena pangsa pasar menciut akibat semakin banyaknya OKB yang bangkrut. Akan banyak PHK karena pabrik kesulitan pasar dan permodalan.

Dengan keadaan ini, apakah kita masih percaya dengan asing ? Mengapa kita lupakan bahwa negeri ini dari awalnya sebelum era kolonialisme sudah lebih dulu berjaya dan menjadi bangsa yang besar. Candi Borobudur sebagai salah satu bangunan keajaiban dunia adalah bukti bahwa bangsa ini mempunyai budaya tinggi didunia. Kejayaan Majapahit sampai ke Campa dan lainnya adalah bukti kita bangsa besar. Harusnya keadaan sulit sekarang ini menyadarkan para elite untuk merubah paradigmanya. Saatnya kembali kepada budaya dan agama untuk mengangkat batang terendam. Menjadi bangsa yang besar dari kekuatan
sendiri. Lapar demi kehormatan adalah lebih baik daripada kenyang tergadaikan...

Monday, December 15, 2008

Air


70% planet bumi ini diliputi oleh air tapi 97%nya adalah air laut yang tidak bisa diminum. Juga tidak bisa digunakan untuk irigasi atau industri. Dari sejumlah itu hanya tersedia 3% sumberdaya air dan hanya 1% yang siap diminun. Sebagaimana emas atau minyak, dengan kelangkaan resource yang ada , maka tak pelak lagi Air adalah lahan business yang menggiurkan.. Apalagi mineral water kemasan, kalau dihitung hitung harganya lebih mahal dari harga crude oil atau CPO. Sebagaimana emas atau minyak, dengan kelangkaan resource yang ada , maka tak pelak lagi Air adalah lahan business diadab ini...

Indonesia menyadari bahwa pengadaan Air adalah tanggung jawab Negara. Karenanya pengelolaannya haruslah oleh Negara lewat PDAM.. Karenanya tariff harus disesuaikan dengan kemampuan rakyat untuk membayarnya. Inilah penyebab sebagian besar PDAM sebagai pengelola Air Minum mengalami kerugian dan tak mampu membayar hutannya. Pemerintah melihat bahwa hal ini disebabkan oleh management PDAM yang tidak professional. Buruknya management PDAM tidak lepas dari sikap pemerintah sendiri , yang memang tidak serius memberikan layanan terbaik terhadap barang public ini.. Dari cara pemilihan direksi, system gaji, SDM, infrastruktur, permodalan dan lain sebagainya dibiarkan apa adanya. Semua tercermin dari layanan dari PDAM kepada public yang juga apa adanya. Mungkin karena PDAM tujuannya social maka dikelolapun secara amatir. Inilah yang salah kaprah. Padahal layanan terbaik kepada konsumen ( rakyat) juga adalah intangible earning bagi pemerintah sebagai bagian dari Public Service Obligation ( PSO).. Bukan hanya laba dalam bentuk uang.

Kita ingin bertanya , apakah yang dimaksud dengan professional adalah mengelola PDAM layaknya business komersial lainnya? USAID termasuk lembaga yang sangat bersemangat untuk merekomendasikan agar Air sebagai suatu komoditi yang harus dikelola secara business murni. Anggaran subsidi pengadaan Air harus dihapuskan dalam APBN. Kalau tidak maka Negara tak layak menerima pinjaman kepada asing. Padahal dibanyak Negara masih menganggap bahwa Air adalah barang public yang harus dilindungi oleh Negara. Hal ini berkaitan dengan tanggung jawab social Negara terhadap kebutuhan esensi manusia. Termasuk Indonesia , dimana UU mengamanahkan bahwa Tanah , Air harus dikuasai Negara untuk kepentingan rakyat banyak.

Program penyehatan dan revitalisasi PDAM yang dilakukan oleh pemerintah dengan menghapus hutang PDAM serta memberikan kewenangan kepada PEMDA untuk menjamin hutang PDAM kepada pihak lain, sudah merupakan indikasi bahwa Air sudah menjadi komoditas. Sama seperti minyak dan lainnya. PDAM harus mampu mendatangkan kontribusi bagi Negara dalam bentuk LABA. Walau tidak ada aturan yang mengatakan privatisasi namun structure PDAM dengan kebijakan ini sudah mengarah kepada privatisasi. Harus dikelola secara professional dan business oriented.

Satu lagi bukti bahwa dinegeri ini secara berlahan lahan, system sudah mengarah kepada neoliberal dimana Negara berusaha untuk menghapus barang public dalam APBN dan menggantinya sebagai resource baru mendatang pemasukan. Negara sudah layaknya Corporate yang hanya berhitung cost and revenue. Nothing to free. Dengan situasi ini , maka rakyat miskin yang tak mampu membayar maka jangan berharap untuk mendapatkan Air Minum yang sehat. Layanan terbaik hanya untuk mereka yang mampu membayar.

Thursday, December 11, 2008

Inflasi dan korupsi

Seorang buruh yang bergaji Rp.1.200.000 kebingungan karena gajinya tak bisa lagi cukup untuk hidup sebulan. Karena uang kontrakan rumah per bulannya memenggal setengah gajinya. Dulu ketika gajinya masih rp. 600.000, uang kontrakan hanya memakan seperempat gajinya. Tapi kini dengan kenaikan gaji dua kali lipat justru uang kontrakan naik empat kalilipat. Begitupula dengan kebutuhan pokok sehari hari, semua naik diatas kenaikan gajinya. Keadaan ini membuat orang menyalahkan harga yang naik. Sebetulnya bukan harga yang naik tapi nilai uang semakin turun. Lihatlah ketika harga minyak mentah mencapai diatas USD 100 , BBM naik. Tapi ketika harga minyak mentah turun sampai lebih dari setengahnya ( diatas 50%) , BBM hanya turun rp. 500 rupiah atau tidak lebih 10%.

Apa artinya itu ? Tidak usah menggunakan teori ekonomi canggih untuk menganalisa keadaan tersebut. Itu adalah perampokan negara kepada rakyat lewat inflasi. Nilai uang turun drastis walau berbagai mata uang utama mengalami pelemahan namun kita lebih lemah lagi. Bahkan semakin terpuruk ketitik irrasional untuk tidak lagi dipercaya sebagai alat pembayaran oleh dalam maupun luar negeri. Penurunan nilai uang ini, telah memenggal penghasilan tetap para buruh , karyawan . Telah memotong hasil kerja keras para petani , nelayan, dan UKM yang mengandalkan pasar dalam negeri. Para rakyat tidak memahami mengapa mereka harus berkorban untuk sesuatu hal yang bukan salah mereka. Sementara pemerintah terus berlaku seperti sinterkelas membagi bagikan uang kepada rakyat miskin lewat berbagai program.. Ini bukanlah gratis. Ini adalah menebar sebagian hasil perampokan diam diam secara system untuk ditebarkan sedikit kepada rakyat yang bodoh.

Sebetulnya tidak perlu ada kerja berlaku seperti social dihadapan rakyat. Cukuplah stop korup. Inflasi adalah korupsi yang dilakukan oleh negara kepada rakyatnya yang diilaksanakan secara systematis lewat konspirasi para elite birokrat dan parlemen. Pembodohan dan pengaburan informasi diciptakan untuk memberikan harapan bahwa pengorbanan adalah perlu untuk masa depan yang lebih baik. Rakyat tak berdaya dan elite bebas bicara tentang masa depan sementara hari kini mereka menikmati kekuasan dengan merampok uang rakyat lewat inflasi.

Pemberatansan korupsi hanya menjangkau kejahatan materi dan bukan kejahatan system. Padahal kejahatan systematis berupa inflasi jauh lebih dahsyat daya korbannya. Meliputi hampir seluruh rakyat yang kaya maupun yang miskin. Orang tua sampai anak bayi. Konglomerat sampai pedagang kaki lima. Karena inflasi negara semakin terpuruk dengan jeratan hutang luar negeri yang semakin besar jumlahnya yang harus dibayar. Karena inflasi mengakibatkan ketidak pastian usaha. Karena inflasi orang kaya ragu untuk berinvestasi. Karena inflasi orang kaya semakin rakus dengan menanamkan uang dalam deposito berbunga tinggi dan malas masuk kesektor riel. Karena inflasi etos kerja buruh dan pekerja semakin drop. Begitu panjang efek dari kegagalan pemerintah mengelola moneter dan fiscal.

Kini dan kedepan, kita akan melihat bagaimana kebijakan acrobat dilaksanakan untuk mengatasi krisis global. Yang pasti hasilnya tak akan jauh dengan semakin dalamnya inflasi lewat harga yang melambung walau pasar semakin menciut , daya beli semakin rendah. Kumpulan komunitas pekerja yang bingung kehilangan pekerjaan dan juga yang bingung membelanjakan upah yang terpenggal oleh majikan, akan menambah angka kemiskinan baru.. Sebuah kejahatan teaktualkan secara vulgar sebagai bentuk penjajahan sistematis dari yang berkuasa kepada yang lemah…

Monday, December 1, 2008

Kekuatan yang lemah

Krisis itu tentu mendatangkan kecemasan. Cemas tentang masa depan. Tentang hari hari kedepan yang menakutkan. Yang terasa dan menjadi bahasa yang menakutkan bagi segelintir orang. Tapi tidak bagi kebanyakan orang yang sudah akrab dengan hari kini dan kemarin yang menyesakkan. Maka masadepan pun tak lagi dipikirkan dan krisis pun tak lagi punya makna untuk dipahami oleh mareka yang miskin ilmu dan harta. Demontrasi, antri minyak, antri sembako , bingung bayar kontrakan, bingung bayar uang sekolah anak dan kebingungan didepan rumah sakit karena uang tidak ada. Semua itu adalah keseharian mereka. Mereka akrab lahir batin dengan situasi ini. Hingga ketika para menteri dan DPR serta orang pintar bicara tentang krisis , mereka pasti tidak akan mengerti. Andai besok mereka harus kehilangan pekerjaan atau usaha mereka mengais uang dijalanan semakin sulit maka itupun bagi mereka adalah biasa.

Krisis ini dipahami betul oleh orang kaya yang takut miskin. Mereka yang kaya karena malas namun “creative “. Yang pengusaha tak pernah berpikir untuk mengembangkan derivative hasil sumber daya alam menjadi nilai tambah industri. Bisanya hanya keruk sumber daya alam ( tambang dan perkebunan ) dan jual apa adanya untuk dapatkan uang berlimpah. Yang penguasa tak pernah berpikir untuk mendorong kemandirian negara lewat kebijakan lintas sektoral yang melelahkan tapi lebih suka pinjam uang keluar negeri lewat penerbitan global bond atau mengemis grand program international untuk menutupi difisit anggaran. Dari dua kelompok elite pengusaha dan penguasa inilah bursa menjadi ramai untuk memuaskan sikap rakus mendulang uang dan uang. Kemudian bursa jatuh dan mereka semua ikut jatuh. Antara percaya atau tidak , mereka menyaksikan saham saham yang selama ini memanjakan mereka dari kerja tanpa keringat dan otak , kini terjun bebas. Harta yang ditumpuk bertahun tahun akhirnya menyusut dalam hitungan hari. Impian tentang masa depan cerah , berakhir sudah...

Ditengah ketakutan inilah. Elite pengusaha dan penguasa duduk bersama. Membahas tentang nasip masa depan bangsa. Dibicarakan ditingkat local maupun global. Semua prihatin akan ancaman akibat krisis. Yang terdengar dibalik rundingan itu adalah mengatasi saham yang jatuh dan moneter yang morat marit. Mengatasi perusahaan yang terancam bangkrut. Tak ada terdengar tentang sikap gaya hidup para elite itu sebagai penyebad krisis dan sekaligus sebagai solusi. Tak ada !. Tak ada terdengar agar para elite itu mengurangi biaya hidupnya dengan hanya cukup satu kendaraan , satu rumah, satu kekasih, sekolah anak cukup didalam negeri dan mengurangi biaya nongkrong di hotel berbintang untuk berbisik bisik. Juga mengurangi biaya ceremony untuk mendapatkan penghormatan dan pujian. Singkatnya , perlu satu revolusi budaya para elite untuk stop hidup rakus dengan segala symbol materialistis dan hedonism...

Tapi revolusi budaya itu tidak kita dengar sama sekali. Kecuali yang kita dengar adalah aturan yang dikeluarkan oleh para penguasa untuk memberikan kebebasan bagi pengusaha menurunkan upah para buruh agar terhindar dari kebangkrutan.Tidak ada aturan untuk menyetop anggaran para direksi perusahaan yang kadang untuk menghibur birokrat dan politisi di café dalam semalam bisa menghabiskan lebih dari upah satu orang buruh selama 1 tahun. Atau jalan jalan keluar negeri bersama WIL dengan anggaran lebih dari upah seribu buruh sebulan. Tentu tidak ada aturan itu. Karena antara pengusaha dan penguasa adalah elite yang hidup dalam mutual symbiosis. Antar mereka terjalin kepahaman untuk saling melindungi.

Suatu krisis terjadi maka itu sama saja satu upaya semakin memperlebar jurang kelas. Antara elite pengusaha dan penguasa disatu sisi dan rakyat lemah dilemahkan disisi lain. Jarak itu semakin hari semakin jauh dan jauh. Hingga teriakan lapar , airmata para janda yang dicerai suami yang stress kehilangan pekerjaan, ,suara anak yang meradang maut akibat kurang gizi dan lain sebagainya , tak akan terdengar lagi oleh para elite itu...Namun satu hal yang terlupakan oleh para elite itu bahwa Allah Swt sangat dekat dengan orang-orang yang lemah atau dilemahkan, yang dalam istilah al-Qur'an disebut dhu'afa dan mustadh'afin. Kedua golongan ini, di balik kelemahannya ternyata menyimpan kekuatan yang luar biasa. Allah berfirman:“Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di muka bumi itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang2 yang mewarisi.”(QS al-Qashash: 5). Oleh karenanya, jangan coba-coba mempermainkan dengan menganggap enteng dan memandang mata sebelah kepada mereka yang lemah. Saatnya akan datang balasan setimpal...

Bukan sistem yang salah tapi moral.

  Kita pertama kali mengadakan Pemilu tahun 1955. Kalaulah pemilu itu ongkosnya mahal. Mana pula kita negara baru berdiri bisa mengadakan pe...