Wednesday, November 19, 2014

Dibalik Subsidi dan APBN

Dari sejak era Soeharto sampai dengan tahun 2000 kita menerapkan sistem neraca berimbang (Debit dan kredit ). Dalam sistem ini sumber penerimaan adalah yang real diterima oleh pemerintah. Apabila penerimaan lebih kecil dari pengeluaran maka pemerintah akan berhutang dan itu akan berada disisi penerimaan. Sehingga tidak ada istilah defisit. Itu sebabnya harga BBM di APBN menggunakan acuan biaya pokok+fee. Jadi actual price, bukan market price. Benar benar negara sebagai logistik nasional dibidang migas untuk mendistribusikan BBM kepada rakyat. Tentu ini sesuai dengan amanah UUD 45 pasal 33. Pemahaman seperti ini masih melekat dikepala banyak orang sampai sekarang.Bahkan banyak pengamat yang terjebak dengan pahaman seperti itu dan ikut memprovokasi orang awam.Padahal sejak tahun 2000 sistem neraca berimbang digantikan dengan neraca “vertikal”. Ini standard Government Finance Statistic. Sistem ini sama dengan neraca perusahaan. Sebagai kelanjutan dari ketaatan SGFS,  tahun 2003 keluar UU migas. Harga BBM di APBN menggunakan acuan MOPS + Alpha+pajak. Artinya harga pasar. Berapa MOPS tergantung harga rata rata minyak di pasar singapore atau biasanya Indonesia Crude Price yang selalu lebih mahal USD 5 sampai dengan USD 10. Alpha adalah biaya refinery, penyimpanan, distribusi, lost product yang ditetapkan 10% dari harga MOPS. Pajak ditetapkan 15% dari MOPS + ALPHA.

Ya selalu harga pengadaan crude diatas USD 5-10 harga MOPS. BIla diilustrasikan harga BBM sekarang adalah harga oktober (penyerahan s/d desember) USD 87 + 10 = USD 97. Tapi karena perhitungan APBN menggunakan everage tahun berjalan maka harga crude yang dihitung menjadi 104,7 atau hanya USD 4 selisih dari ketentuan harga pada APBN 2014 yang USD 108. Mengapa everage ? Karena penetapan besaran subsidi itu diawal tahun anggaran, sementara harga crude setiap bulan naik turun. Perhitungannya jadi 104,7 + 10% x 104,7 = USD 115,17 + 15% pajak x 115,17 = USD 132,45 per Barrel. BIla kurs rupiah Rp12300 maka harta per barre USD 132,45 x Rp. 12.300 = Rp.1.629.079 per barrel. Bila 1Barel adalah 158,9 liter maka harga per liter Rp. 1.629.079/158,9 liter adalah  Rp. 10.252 perliter atau berkisar Rp.10.000 per liter untuk harga perolehan premium per liter. Untuk RON 88 harga perolehannya adalah Rp. 9200 per liter dan bila dijual Rp. 8500 perliter maka masih ada subsidi sebesar Rp.700 perliter. Dari acuan MOPS + Alpha maka kita tidak tahu berapa pastinya “alpha” itu. Yang penting harga minyak dunia naik, maka alpha juga naik sebaliknya bila harga minyak dunia turun maka Alpha juga turun. Walau nyatanya gaji direksi dan karyawan Pertamina tidak terpengaruh harga minyak. Nah karena dibeli dengan harga pasar crude international maka seharusnya juga dijual dengan harga BBM international. Tapi harga minyak dalam negeri tetap berpatokan dengan acuan MOPS+ Alpha. Selisih harga yang ditetapkan dengan acuan pengadaan BBM ( MOPS+alpha ) ini disebut dengan subsidi. Jadi sebetulnya wajar kalau dipertanyakan betulkah harga subsidi itu? bila Alpha ditentukan harga pasar. Mengapa harga BBM impor bisa saja lebih murah dibandingkan harga perolehan BBM berdasarkan acuan MOPS+alpha. Ya karena "alpha"nya sebagai sumber masalah.

Dalam sistem akuntasi sekarang , Pemerintah bukan lagi provider minyak tapi service provider yang mendapatkan sharing and fee ( Pajak). Penerimaan pajak penjualan juga akan mengikuti trend pengadaan minyak berdasarkan acuan MOPS +Alpha. Bagaimana dengan pendapatan negara berupa bagi hasil MIGAS?. Itu akan masuk dipos penerimaan negara atau PNBP yang nilainya pada APBN ditentukan berdasarkan asumsi kurs rupiah rata rata dengan harga pasar per kwartal. Subsidi masuk dalam pos belanja negara. Jadi dalam sistem neraca ini tidak ada hubungan langsung antara penerimaan MIGAS dengan SUBSIDI. Sisi penerimaan negara berhubungan dengan semua belanja negara termasuk subsidi BBM. Contoh bila penerimaan sektor migas 100 dan pengeluaran subsidi 110 maka tetap subsidi 110 bukan 10 ( 100-110). Dengan sistem ini maka semua transference sehingga pasar bisa menilai dengan cepat financial ratio APBN kita. Hal ini sangat penting. Mengapa? Karena apabila terjadi difisit anggaran dan pemerintah perlu menarik pinjaman/hutang maka pemerintah bisa menerbitkan surat Hutang/Obligasi atau melakukan instant loan dengan lembaga multilateral seperti ADB, World bank, dan lain lain. Bunga Obligasi atau yield obligasi ditentukan oleh financial ratio dari APBN. Kondisi rupiah ditentukan dari financial ratio APBN atau istilahnya Fundamental ekonomi. Jadi skema penetapan harga BBM itu karena keharusan mengikuti SGFS sebagai compliance untuk menarik hutang.

Karena skema penetapan harga inilah makanya pemerintah sebelumnya terbuai mempertahankan subsidi BBM di APBN. Kalaupun subsidi BBM dikurangi namun dilakukan bertahap. Mengapa? ini bukan takut kepada rakyat yang marah karena BBM naik tapi takut kepada pihak asing yang berada dibalik skema ini,dan juga kepada pengusaha yang selama ini ada dibalik terpilihnya dia sebagai Presiden. Suka tidak suka pihak asing juga adalah undertaker atas hutang pemerintah.  Dengan skema ini maka ada konspirasi dimana minyak Indonsia ( ICP) yang dikenal dengan minyak kualitas 1 dengan harga paling tinggi didunia, dijual ke luar negeri sementara untuk memenuhi kilang minyak dalam negeri , Pertamina melalui Petral mengimpor crude dari negara yang kualitasnya rendah  dan harga murah seperti Iran, Irak,Rusia. Kekurangan produksi kilang, kita mengimpor BBM. Bayangkanlah,  harga BBM kita di APBN berdasarkan harga minyak Indonesia ( ICP) sementara yang kita terima adalah kualitas rendah dan murah.  Jadi siapa yang menikmati selisih harga pada APBN ini?siapa yang mendapatkan untung dari skema ini?  Selisih harga dinikmati oleh Trader yang dapat jatah beli dan jual Crude. Yang dapat keuntungan dari skema ini adalah para pengusaha yang mendapatkan hak mengimpor BBM. Mereka beli murah dan jual dengan harga tinggi ( harga APBN) ke Pemerintah. Disamping itu para pihak lain juga bermain dengan jatah BBM subsidi, mereka selundupkan keluar bila harga minyak intentional tinggi. Semua skema ini di back up dengan UU dan Peraturan pemerintah. Legitimate.!

Karena  skema inilah maka sejak zaman Soehato jatuh sampai dengan sekarang tidak pernah ada kilang minyak baru dibangun. Lobi pengusaha kepada elite politik di senayan sangat hebat untuk memastikan Pemerintah gagal membangun kilang minyak baru. Karena kalau sampai kita swasembada BBM maka baik trader maupun pengusaha tidak mendapatkan untung.  Karena skema ini pula lifting minyak Indonesia turun terus sampai akhirnya jatuh dibawah 1 juta barel. Mengapa? karena para importir ingin mendulang laba dari ketergantungan pemerintah akan impor BBM . Padahal lifting minyak kita bisa diatas 1 juta barrel karena resource nya tersedia. Nah, semua permainan ini didukung oleh pendanaan yang tidak kecil. Ingat bahwa trading minyak adalah trading uang. Hanya yang punya uang yang bisa akses ke bisnis ini. minimal harus didukung oleh dana USD 100 juta. Siapa yang mampu ? tentu mereka yang didukung oleh lembaga keuangan kelas dunia dan mereka inilah dibalik financial resource RI menarik hutang luar negeri. Jadi yang menginginkan skema  subsidi BBM ini dipertahankan adalah pengusaha monyet dan politisi monyet, serta lembaga keuangan monyet.  Yang hanya goyang goyang kaki menikmati laba tak terbilang, sementara rakyat konsumen dibodohi dengan retorika pengurangan subsidi menyengsarakan rakyat. Padahal pengurangan subsidi atau penghapusan subsidi membuat laba mereka berkurang atau hilang.

Bagaimana seharusnya ?Tentu kita tidak mungkin kembali kepada sistem Orba karena itu sistem  yang tidak transfarance dan cenderung korup.Kita tetap menggunakan sistem yang telah ada sekarang namun khusus subsidi BBM dikeluarkan dari APBN. Apakah ini akan memberatkan rakyat ? dalam jangka pendek ya konsumen ( rakyat ) akan terasa mahal namun dalam jangka panjang akan murah. Karena dana subsidi itu akan digunakan untuk sektor produksi termasuk membangun kilang minyak berkapasitas 2x 500.000 barel.Apabila kilang selesai dibangun maka harga pokok BBM akan turun. Selisih kualitas minyak kita dengan minyak luar sudah bisa menutupi ongkos produksi. Pada waktu bersamaaan alangkah baiknya bila team Reformasi Tata Niaga Migas dapat merekomendasikan kepada pemerintah untuk  merevisi ketentuan mengenai acuan harga MOPS+ Alpha agar lebih tranfarance dan adil.  Merevisi Contract revenue sharing dari 85/15 gross atau belum termasuk cost recovery ,dirubah menjadi 40/60 Net.Pemerintah mendapatkan 40% dari lifting secara netto. Kalau ini dirubah maka keadilan sumber daya akan kita rasakan sebagaimana rakyat Bolivia dan Venezuela telah rasakan. Saya tahu bahwa reformasi MIGAS ini tidaklah mudah. Karena yang dihadapi oleh pemerintah Jokowi bukan hanya rakyat bodoh yang terprovokasi menolak pengurangan subsidi tapi juga pengusaha monyet, potisi monyet, lembaga keuangan monyet yang terancam bisnisnya. Selama ini mereka menikmati rente ekonomi akibat kebodohan rakyat dan ketamakan penguasa. 

2 comments:

Anonymous said...

bukan rakyat bodoh yg menolak bbm dinaikan,bro.Tapi rakyat yg sedang berusaha menghindari kelaparan dan kurang gizi pada keluarganya dengan umk yg alakadarnya.mereka sudah cukup menyiasati penghasilannya yg pas-pasan.dan berusaha bisa menabung.apa mereka harus menunggu 9 bulan untuk bisa pulih kembali.sementara balita mereka perlu susu untuk menjadi anak yg sehat.dan kredit sudah terlanjur diambil.apa uang dari koruptor belum bisa segera cair.hanya kalangan menegah keatas yg tidak merasakan dampak kenaikan BBM

Erizeli Bandaro said...

Denny Rifandie,pembangunan adalah sebuah agenda. Pemberian subsidi atau tidak adalah bagian dari agenda pemimpin. Sejak era Soehato kita terus menikmati subsidi namun dari generasi demi generasi kita terus mundur kebelakang secara makro. Padahal kita membangun sama dengan Korea dan Taiwan, bahkan lebih dulu ketimbang china. Tapi korea, Taiwan, China sudah lebih baik dari kita. Mengapa ? karena dari awal pemimpinnya membawa rakyat kepada realitas bahwa negara bisa maju bila rakyatnya mau bekerja keras, hemat dan pemimpin yang jujur. Tidak ada subsidi konsumsi tapi negara hadir disetiap ruang produksi sehingga rakyat mampu berkonsumsi pada harga berapapun. Kita sudah nikmati agenda membangun ala subsidi dan kini kita coba melewati agenda pembangunan tanpa subsidi yang pro produksi.Soal rakyat kesusahan itu hanya retorika kelompok menengah. Rakyat menderita bukan karena BBM naik tapi by process karena kebijakan masa lalu yang menipu mereka lewat kamakmuran ilusi...Soal korupsi itu juga akibat kebjakan masa lalu yang memanjakan rakyat dengan memberi secuil ( lewat susbidi ) dan merampok banyak. Ini harus dirubah..

ERA Jokowi, dari 16 target yang tercapai hanya 2

  Realisasi kuartal III-2024, ekonomi nasional tumbuh 4,95%. Konsumsi rumah tangga sebagai pemberi andil terbesar hanya mampu tumbuh 4,91%. ...