Tahun 1973 ada film yang berjudul Si Mamad. Masih teringat oleh saya, dimana guru menggiring kami satu sekolah menonton film itu dibioskop. Setelah film ditonton, kami disuruh menulis pendapat kami tentang film itu. Saya tak ingat lagi apa yang saya tulis soal film Si Mamad itu. Tapi yang kini membuat saya terharu ,betapa guru SD saya dulu begitu hebat visinya dalam memahami film buah karya Sumandjaya untuk dijadikan pembelajaran bagi anak anak SD yang kelak akan menjadi penerus generasi masa depan.
Cerita Film itu, Si Mamad hanya pegawai rendah disebuah instansi pemerintah. Karena desakan kebutuhan biaya untuk kelahiran putranya, dia terpaksa mengambil setumpuk kertas di kantor, yang kemudian menjualnya ke pasar. Namun kejadian itu sempat diketahui oleh atasannya dikantor. Disinilah cerita menuai emosi penonton. Seorang pegawai kecil merasa bersalah atas perbuatannya, dan setiap hari di terror oleh rasa bersalah itu sendiri. Sementara bagi atasannya yang hidup bergelimang harta dari korupsi, tindakan Mamad bukanlah hal yang termasuk korupsi. Nilai perbuatan Mamad terlalu kecil diatas kebesaran dan kecanggihan tindakan korupsi para pembesar negeri.Atasan Mamad dikantor tidak pernah mempermasalahkan itu. Namun bagi Mamad walau dia orang kecil di instansi besar perbuatannya mencuri kertas kantor tetaplah besar. Teramat besar untuk di tanggung. Rasa malu dan rasa bersalah sekaligus takut dipecat menyatu , membuat dia tidak nyaman.
Film Si Mamad, mencoba mengangkat kepermukaan , bukan soal modus korupsi tapi sebuah kesadaran didalam diri manusia untuk menyatakan korupsi adalah korupsi. Kesadaran itu berangkat dari pemahaman , mana milik public dan mana milik pribadi. UU dan Peraturan tak cukup luas membuat batasan soal public dan pribadi ini. Mamad, dengan baju dinasnya yang kuno dan kereta anginnya yang tua, sadar bahwa ada sebuah garis batas yang telah dirusaknya, dan tindak itu adalah korupsi. Tapi dari mana datangnya garis itu, sebenarnya? Di permukaan, ia bermula dari perbedaan antara konsep “milik sendiri” dan “milik orang banyak”. Dalam bentuknya yang terburuk, milik “orang banyak” itu adalah milik “publik”. Seorang koruptor bukan seorang pencopet yang mencuri dompet milik pribadi. Namun benarkah Si Mamad merasa bersalah karena menyadari ia korupsi? Mungkin tidak.
Ada pendapat, pengertian “publik” adalah bagian dari kesadaran modern. Di dunia tradisional, demikian dikatakan, tak ada garis batas antara yang “negara” dan yang “pribadi”, sejajar dengan tak ada garis batas antara yang “publik” dan yang bukan. Ketika Bupati Lebak dalam novel Max Havelaar meminta rakyat memberikan persembahan bagi dirinya, Havelaar, asisten residen Belanda itu, mendakwanya “korupsi”. Tapi benarkah? Ada yang membela bahwa sang Bupati (seperti Raja Louis XIV yang menyatakan l’état c’est moi) memang sejak dulu menganggap Lebak, juga rakyat dan upeti mereka, adalah bagian dari miliknya, bahkan dirinya. Dengan kata lain, Havelaar yang berapi-api itu memakai sebuah dalil “modern” ke sebuah dunia “pra-modern”. Ia meleset. Namun saya mengerti kenapa Si Mamad merasa bersalah dan Havelaar marah. Bukan sebab kesadaran “modern” rasanya, tapi karena di situ ada sesuatu yang lebih tua dan lebih dalam, yakni soal “adil” dan “tak adil”—ihwal yang telah merisaukan manusia sejak sebelum datang negara modern dengan legislasinya. Saya kira dari situlah lahirnya garis batas yang saya sebut tadi.
Korupsi dianggap salah karena ia “tak adil”: perbuatan itu menghasilkan sesuatu yang berlebihan—uang, kekuasaan, nama baik, juga kekejaman—yang secara berlebihan pula merugikan orang lain yang sedang ada dalam status dan posisi lain. Maka bisa dimengerti kenapa bukan cuma Havelaar yang marah. Seperti ditulis sejarawan Sartono Kartodirdjo dalam karyanya yang terkenal tentang pemberontakan petani Banten pada abad ke-19, orang-orang udik itu pun melawan, seraya berharap datangnya “Ratu Adil”. Angan-angan atau bukan, ratu yang adil tak selamanya dianggap berasal dari seberang samudra dongeng. Dulu saya pernah membaca satu fragmen sejarah Jawa Tengah abad ke-7, tentang Ratu Sima yang melarang orang mengganggu barang yang bukan miliknya. Syahdan, suatu hari seorang pangeran melihat sekantong emas di jalan. Ia menyepaknya. Baginda Ratu pun menghukum anak kandungnya itu. Dongeng atau bukan dongeng, cerita ini mencerminkan hasrat untuk yang “adil”: di sana hukum berlaku bagi siapa saja, dan ada penangkalan terhadap “nepotisme”—biarpun ini abad ke-7.
Kemudian lahir negara modern. Juga di Indonesia. Negara modern sesungguhnya adalah sebuah bangunan yang berusaha agar soal “adil” dan “tak adil” tidak diputuskan hanya karena kebetulan dan karena nasib. Seperti dibayangkan Hegel ( dari Eropa yang dirundung perang dan persengketaan), “Negara” (dieja dengan “N”) berarti Negara Rasional, yang mengelola kebersamaan tanpa anarki ataupun tirani. Di sana hukum dipatuhi sebagai pengejawantahan akal budi yang universal, bukan karena dorongan nafsu dan kepentingan tertentu. Di sana birokrasi digambarkan sebagai struktur yang ajek dan mengikuti nalar. Marx memang kemudian menunjukkan bahwa Hegel hanya menutup-nutupi fiil yang buruk. Bagi Marx, “Negara” adalah sesuatu yang menindas. Baru ketika tak ada lagi kelas sosial yang punya kebutuhan untuk represif, Negara akan lingsir.
Tapi seperti Hegel, Marx membayangkan Negara sebagai suatu kehadiran, utuh, kompak, bergeming—seakan-akan tak akan pernah terjadi saling terobos antara yang “Negara” dan yang “bukan-Negara”, antara yang “publik” dan yang “privat”. Hegel dan Marx tak membayangkan Negara sebagai sesuatu yang tak kunjung selesai. Seandainya mereka melihat Indonesia sekarang…. Di negeri ini, Negara adalah sebuah paradoks: ia culas , rentan, cerewet dan sekaligus ceroboh. Birokrasi dan DPR yang dengan produktif mengeluarkan regulasi adalah juga mereka yang mengharap agar peraturan menghasilkan konspirasi dan uang. Korupsi adalah sebuah privatisasi—tapi yang selingkuh. Kekuasaan sebagai amanat publik telah diperdagangkan sebagai milik pribadi, dan akibatnya ia hanya merepotkan, tapi tanpa kewibawaan. Keadilan yang dikelola oleh kejaksaan , KPK dan kehakiman bisa dibeli dengan harga tertentu, maka ia berperan tapi tak menjadi keadilan.
Tanpa kita sadari berlalunya waktu, korupsi telah berarti privatisasi milik public oleh segelintir orang yang me-restruktur NKRI lewat UU dan Peraturan hingga tak lagi seratus persen Negara seperti yang kita maknai , yang bermisi sebagaimana sila ke lima Pancasila tentang keadilan social bagi seluruh rakyat. Ia menjadi keadilan social bagi elite. Maka, kasus korupsi , pelakunya seperti Nazaruddin dan lain lan akan tetap dianggap sebagai cerita hantu yang ditakuti ,dibenci namun tak mudah dibuktikan, selamanya begitu.