"Di Thailand yang kaya dan miskin sama agamanya. Di Filipina juga begitu, baik yang kaya maupun miskin memiliki agama yang sama. Sementara di Indonesia yang kaya dan miskin berbeda agama," kata Wakil Presiden M Jusuf Kalla saat menutup sidang tanwir Muhammadiyah di Ambon, Ahad (26/2). JK menjelaskan di Indonesia sebagian besar orang yang kaya adalah warga keturunan yang beragama Khonghuchu maupun Kristen. Sedangkan orang yang miskin sebagian besar Islam dan ada juga yang kristen. Benarkah ? Tahun 2014 data BI, dari total 140 juta rekening nasabah perbankan, sebanyak 3% ( 4,2 juta) nasabah menguasai 67% dana di perbankan. Kalau total dana nasabah diperbankan sebesar Rp 3.392 triliun maka 4,2 juta nasabah menguasai Rp.2.270 Triliun atau kurang lebih sama dengan USD 200 miliar. Artinya komunitas elite yang jumlahnya hanya 3% dari penduduk Indonesia. Bagiamana kekuatan dari 3% orang itu dalam menguasai bisnis rente ? Menurut Merrill Lynch , Co serta perusahaan konsultan Capgemini Lorenz ( 29 september 2010 ) dalam laporannya menyebutkan hanya sekitar 20,000 saja dari 200 juta lebih rakyat Indonesia yang punya akses kesektor nontradable (rente) ini.Jadi bisa bayangkan 20.000 orang itu berapa persentasenya terhadap jumlah penduduk. Mereka elite dari yang ter-elite, termasuk keluarga JK.
Keberadaan mereka merupakan satu satunya kado terpahit dari era Soeharto kepada Rakyat Indonesia. Eksistensi mereka karena kebijakan diskriminasi politik rezim Soeharto terhadap etnis keturunan non muslim yang tidak berhak mendapatkan posisi politik maupun birokrasi di pemerintahan. Mereka awalnya hanya dijadikan proxy kekuasan untuk memperkaya diri penguasa lewat bisnis rente. Namun lambat laun, keberadaan mereka bukan hanya sebagai proxy penerima komisi haram bisnis monopoli tapi juga sebagai mesin ekonomi pemerintah Soeharto dalam melaksanakan GBHN di bidang investasi dan perdagangan. Pada proses ini etnis keturunan bukan hanya sebagai proxy atau vehicle kekuasaan tapi juga mitra dari banyak keluarga Penguasa dan keluarga pejabat yang dekat dengan Cendana. Lambat laun proses ini menjadi sistem yang mungkin paling korup didunia. Dimana negara terjebak bukan hanya soal korupsi tapi juga kolusi dan nepotisme. Karena itu fundamental ekonomi sangat renta sekali. Sangking rentanya, hanya pukulan kecil dari fund manager sekelas George Sorros bisa membuat ekonomi yang siap jadi macan asia berubah jadi kucing kurap. Indonesia terkena krisis moneter terburuk sepanjang sejarah. Soeharto pun jatuh. Apakah konglomerat itu juga jatuh ?
Walau Soeharto jatuh, dan berganti rezim reformasi namun keberadaan mereka tetap eksis. Walau paska kejatuhan Soeharto, sebagian besar asset mereka disita oleh negara lewat BPPN , namun itu dapat disiasati dengan lahirnya proxy berupa konglomerat baru, yang menguasai kembali asset tersebut. Para proxy itu sekarang telah tercatat sebagai orang kaya baru di era reformasi. Tadinya mereka hanyalah consultant atau rekanan atau fund manager dari sang konglomerat. Sementara sang konglomerat yang sebenarnya sebagai tuan dari sang Proxy, menikmati masa tuanya dengan damai. Ada yang jadi kolektor lukisan dan benda seni, ada yang jadi dosen dan sekaligus pemilik Lembaga pendidikan, ada yang jadi pengamat, ada yang jadi filantropi untuk para aktifis LSM, ormas, dan menjadi silent supporter Partai. Karenanya tidak ada satupun perubahan kekuasaan paska reformasi tanpa campur tangan sang konglomerat. Jadi kalau ingin tahu siapa sebetulnya yang menciptakan stabilitas politik dalam negeri ? ya konglomerat. Dari balik kemewahan istana pribadinya yang ada dikawasan super elit di dalam dan luar negeri, mereka memberikan pengaruh lewat kepemilikan saham di perusahaan media massa, lewat yayasan sosialnya mereka memberikan pengaruh kepada ormas dan LSM yang didonasinya. Lewat LSM yang berafiliasi dengan yayasannya , mereka menjalin hubungan dekat dengan elite partai. Sehingga tidak ada satupun insfrastrutur dan suprastruktur sosial , politik ,budaya dan agama yang tidak bisa mereka akses. Semua karena tidak yang lebih penting yang di perjuangkan kecuali UANG. Dan lewat kekuatan uang itulah mereka betindak sebagai silent power. Mereka bergerak bagaikan bayang bayang dan ada dimana mana.
Era Jokowi.
Dalam jumpa pers setelah hasil quick Count menentukan Jokowi mengalahkan PS, nampak hadir Sofian Wanand. Saya tahu bahwa Sofian Wanandi adalah ketua Aosiasi Pengusaha Indonesia yang anggotanya pengusaha etnis keturunan, berada dibalik suksesnya Jokowi menjadi RI-1. Ini sudah bisa ditebak bahwa kemenangan Jokowi karena bersatunya konglomerat yang tidak suka kepada PS. Tapi ketidak sukaan mereka kepada PS bukan alasan idealisme. Tapi karena orientasi politik PS yang tidak bisa lepas dari pengaruh Hashim Sujono Djojohadikusumo. Citra Hashim sebagai pebisnis dianggap bukan mitra yang baik bagi konglomet. Itu dibuktikan pengalaman mereka berbisnis dengan Hashim ketika PS menjadi menantu kesayangan Soeharto. Ketidak-sukaan mereka kepada Hashim memang sistematis. Bahkan di era reformasi, bisnis Hashim di pertambangan di akuisisi secara paksa oleh Erwin putra keluarga William Soeyajaya melalui Sandiaga Uno sebagai proxy. Namun satu hal yang konglomerat itu lupa, bahwa dukungan mereka bukan kepada Jokowi tapi kepada PDIP. Karena itu JKW tidak perlu merasa punya hutang kepada mereka.
Karenanya berbagai kebijakan Jokowi setelah berkuasa lambat laun menggerogoti portfollio mereka. Jokowi focus dan konsisten dengan program pro rakyat melalui kebijakan keras memangkas business rente, reformasi ekonomi yang memberikan peluang bagi siapa saja untuk mengembangkan business nya di Indonesia. Perluasan insfrastruktur umum agar logistik system murah mendistribusikan potensi wilayah, dianggap mereka itu ancaman. Tidak ada lagi ekslusifitas. Mereka tidak ingin kesejahteraan rakyat itu lewat keadilan distribusi sumber daya. Mereka hanya inginkan rakyat semakin tergantung kepada Pemerintah dan pada waktu bersamaan pemerintah tergantung kepada pengusaha untuk mendatangkan pajak bagi APBN melaksanakan fungsi sosialnya memberikan subdisi dan lan lain kepada rakyat. Semakin mandiri rakyat semakin kuat pemerintahan, dan karena itu bisnis rente akan mati dengan sendirinya. Mereka tidak suka itu. Bisnis mereka sejak era JKW mulai menyempit dan semakin sulit. Serangkaian kebijakan jokowi memang membuat mereka gerah, dan karena itu perlu upaya serius menghentikan rezim Jokowi. Dalam hal ini PDIP dalam posisi dilematis, sama seperti mengusung Ahok.
Menjatuhkan Jokowi.
Jujur saat sekarang berdasarkan survey, belum ada pemimpin tingkat nasional yang bisa menandingi elaktabilitas dan popularitas Jokowi. Menjatuhkan Jokowi melalui hukum seperti Gus Dur tidak bisa. Karena jokowi tidak melakukan pelanggaran hukum dan lagi Jokowi di pilih langsung oleh rakyat. Maka cara efektif dan efisien menjatuhkan Jokowi adalah menutup akses kemungkinan Jokowi menang di pilpres 2019. Caranya ? Mereka mempersatukan semua kekuatan nasionalis maupun agama dalam satu barisan penentang Jokowi. Ya issue agama dan primodial akan digoreng terus menerus. Setelah Ahok berhasil di kalahkan lewat kampanye agama, kini Agama dipakai untuk menjatuhkan Jokowi karena bertanggung jawab memperlebar gap kaya miskin di indonesia. Dimana kemiskinan itu lebih banyak orang islam. Untuk memperluas keyakinan publik bahwa Jokowi anti Islam adalah menjadikan issue pro-Beijing sebagai bukti Jokowi pendukung bangkitnya kembali PKI dan juga fitnah tentang Jokowi lahir dari keluarga Komunis terus di tebar lewat berbagai seminar gelap dan sosmed akun abal abal. Politik di jadikan gaduh. Dibalik itu semua uang di tebar agar ormas dan LSM jadi corong dan mesin propaganda menjatuhkan citra Jokowi. Uang itu tentu mengalir dari segelintir orang yang inginkan arah kebijakan ekonomi dan politik kembali ke era Soeharto. Dimana pesta tidak pernah usai…