Sunday, November 16, 2014

Solusi...

Suatu saat saya pernah diminta advice secara pribadi oleh teman tentang keadaan perusahaannya yang bergerak dibidang mining. Dengan data yang ada , saya sampaikan kepada dia bahwa selama ini dia tidak menjalankan perusahaan secara sehat. Perusahaan tumbuh karena ilusi. Asset meningkat bukan karena laba atau surplus tapi karena hutang. Dari setiap 100 perjualan , 40 habis  untuk membayar hutang. Padahal laba yang didapat tidak bisa lebih dari 10%. Jadi perusahaan sudah rugi ketika dia menjual. Sementara itu biaya tetap untuk gaji karyawan dan operasioanal mencapai 90% dari total biaya yang setiap tahunnya meningkat. Peningkatan biaya ini tidak dibiayai dari laba  tapi diambil dari modal. Lambat laun modal tunai sudah habis terpakai maka asset yang didapat dari hutang tidak lagi digunakan untuk produksi meningkatkan value perusahaan tapi disewakan kepada pihak luar untuk mendapatkan fee. Lambat laun tidak ada lagi sumber daya yang didapat dari hutang diolah sendiri tapi disewakan kepada orang lain untuk mendapatkan fee, ada juga yang dijual sebagian. Tentu bagaimanapun fee ini tidak akan membuat perusahaan surplus tapi defisit. Mengapa? karena penerimaannya hanya berdasarkan fee. Perusahaan kehilangan nilai strategisnya sebagai pencipta nilai tambah. Perusahaan tak ubahnya penampungan sosial bagi mereka yang malas.

Lantas bagaimana solusinya ? tanyanya. Dengan tersenyum saya katakan bahwa solusi itu ada pada dirinya sendiri. Apakah dia mau melihat kenyataan  dan bersikap untuk masa depan yang lebih baik.  Apa yang dimaksud dengan kenyataan? Tanyanya lagi. Bahwa kenyataan itu adalah perusahaan tidak akan bisa melaksanakan fungsi sosialnya bila dia tidak tumbuh karena surplus atau laba.  Tidak ada pertumbuhan karena utang tapi juga tidak bisa dihindari untuk tumbuh butuh hutang. Hutang harus bisa menciptakan laba agar mampu membayar hutang dan bukan menciptakan hutang baru lagi untuk membayar hutang. Teman itu dapat memahami advice saya. Jadi yang harus dilakukan adalah memotong anggaran biaya gaji dan operasional. Tidak ada lagi tunjangan sosial.Tidak ada lagi cuti liburan bagi manager, staf dan direksi. Diharapkan sedikitnya 20% anggaran operasional bisa dihemat. Penghematan ini digunakan untuk memperbaiki sarana produksi agar efisien dan investasi mesin untuk meningkatkan volume produksi. Disamping itu karena difisit begitu besarnya maka dia harus menggandeng investor dari luar untuk melakukan kerjasama perluasan pengolahan mining nya. Ini lebih tepat daripada dia berhutang untuk menutupi difisit.

Jadi ada tiga hal yang harus dilakukan oleh teman itu ,yaitu pertama restruktur biaya. Kedua, realokasi anggaran dari biaya sosial ke sektor produksi. Ketiga, memperluas produksi agar semakin besar potensi penerimaan. Apabila dia tidak melakukan hal yang pertama maka dia tidak akan bisa melakukan hal yang kedua. Dampaknya penjualannya akan terus tersedot sebesar 40% untuk bayar hutang. Apabila dia tidak bisa melakukan yang kedua maka tidak mungkin dia bisa menarik mitra investor karena tidak ada orang yang mau bermitra bila insfrastruktur miningnya buruk dan tidak efisien. Walau usulan ini saya sampaikan dengan tidak resmi namun dia mendengar dengan baik. Saya cepat mengambil kesimpulan karena saya mengenal teman ini cukup lama dan tentu saya paham bisnis dia. Memang berat baginya membuat keputusan yang pertama karena ini perusahaan keluarga dan hampir semua anggota keluarga bekerja di perusahaan. Mereka sudah terbiasa manja dan hidup serba mudah karena semua fasilitas tersedia walau itu semua didapat dari hutang. Namun akhirnya dia beranikan membuat keputusan. Benarlah dia dimusuhi oleh anggota keluarganya dan karyawan demo. Namun itu semua tidak merubah keputusannya. Hanya butuh waktu lima tahun setelah keputusan pahit dibuat, perusahaan berhasil bangkit dan surplus.

Ilustrasi diatas tak ubahnya dengan keadaan negara kita sekarang. Harap dimaklumi keadaan APBN sudah lampu merah karena melambatnya pertumbuhan ekonomi global yang berdampak kepada turunnya permintaan komoditas andalan Indonesia serta harga export yang terus melemah. Tentu hal ini berdampak buruk terhadap makro ekonomi dengan terjadinya gabungan difisit : perdagangan, investasi, APBN. Akibatnya nilai tukar rupiah terhadap valas sepanjang tahun 2014 melemah. Pelemahan rupiah itu membuat beban subsidi naik , beban bayar bunga dan cicilan hutang juga naik fantastik. Bahwa setiap USD 100 penerimaan devisa eksport , USD 40 habis untuk bayar hutang. 85% total anggaran habis untuk biaya rutin termasuk gaji PNS,TNI dan Polri.  Hanya menyisakan sebesar 15% untuk ekspansi perluasan investasi. Jumlah 15% ini tidak cukup untuk menghasilkan pertumbuhan. Apalagi beban hutang yang begitu besar dan difisit yang besar. Apa yang harus dilakukan Jokowi adalah tindakan rasional. Bahwa dia harus lakukan restruktur biaya. Ia harus kurangi anggaran pegawai dan anggaran subsidi. Alihkan kesektor produksi. Ini dulu yang harus dilakukan. Jangan terjebak dengan retorika politik. Jangan percaya kata pengamat bahwa banyak hal yang bisa dilakukan selain mengurangi subsidi. Itu hanyalah retorika yang sifatnya “akan” yang butuh waktu untuk dilakukan sementara kenyataannya setiap hari negara harus bayar bunga hutang Rp.300 miliar. Ini tidak termasuk cucilan. Ini tidak bisa ditunda. Bila tidak ada restruktur biaya maka terpaksa harus berhutang lagi untuk menutupi hutang.

Apabila anggaran rutin bisa dipangkas sampai 20% maka ada tersedia ruang fiskal 30% dari APBN atau sekitar Rp.600 Triliun. Ini yang disebut dengan restruktur anggaran.Anggaran tidak berkurang hanya alokasinya dirubah. Tahap kedua, penghematan  dana sebesar 30% di investasikan untuk perluasan infastruktur ekonomi ,meningkatkan modal BUMN agar semakin besar berproduksi dan semakin besar memberikan deviden kepada negara. Tahap ketiga ,dengan tersedianya infrastruktur ekonomi yang luas maka akan mendorong arus investasi lokal maupun asing disektor produksi. Pada tahap ketiga inilah penerimaan negara berupa pajak ,PNBP, Hibah akan meningkat sehingga bisa surplus untuk membayar hutang serta memperluas kemampuan nagara melaksanakan tanggung jawab sosialnya khususnya untuk membantu mereka yang duafa dan perbaikan lingkungan. Jadi, sudah saatnya kita harus punya tekad bahwa kita hanya akan menikmati tangung jawab sosial negara secara luas apabila negara surplus. Itu tugas kita untuk membuatnya surplus.Kalau kita tidak ingin asing menguasai peluang investasi di Indonesia maka kita harus didik anak kita agar mau menjadi pengusaha. Para pengusaha harus hemat dan ulet untuk mengembangkan usaha agar berkelas dunia sehingga mampu bersaing dengan asing.

Selagi budaya wiraswasta tidak tumbuh berkembang, selagi pengusaha lebih suka menjadi broker  maka jangan salahkan bila asing akhirnya menguasai sektor produksi di indonesia.  Negara tidak bisa menanti anda yang malas, dan lebih suka jadi jongos, karena setiap hari biaya yang ditanggung negara sangat besar dan setiap hari ada 10,000 bayi lahir yang harus dipersiapkan sarana dan prasrananya sementara yang belum terjangkau masih banyak. KIta sangat kaya akan SDA namun kekayaan itu berada dibawah ribuan mill tanah, diatas bukit , disamudera dan ditengah hutan belantara. Semua itu harus diolah dengan kerja keras, modal , tekhnologi serta berani mengambil resiko. Tidak ada distribusi SDA gratis, apalagi harga diskon. Kita harus berbuat, mengolah SDA itu. Bila rakyat tidak berbuat maka orang lain yang melakukan, dan negara mendapatkan pajak untuk membayar kebutuhan pemerintah mengelola penduduk yang ratusan juta ini...

No comments:

ERA Jokowi, dari 16 target yang tercapai hanya 2

  Realisasi kuartal III-2024, ekonomi nasional tumbuh 4,95%. Konsumsi rumah tangga sebagai pemberi andil terbesar hanya mampu tumbuh 4,91%. ...