Teman saya pengusaha tempat hiburan malam yang
ternama di Jakarta mengeluh karena sejak Jokowi
jadi Presiden lambat laun pemasukan usahanya semakin menurun. Biasanya
banyak pengusaha yang menjamu pejabat dari Daerah untuk menikmati hiburan
malam. Namun kini sudah jarang sekali pejabat di daerah datang ke Jakarta. Ya sebagian besar pelanggan tempat hiburan malamnya adalah pengusaha yang sedang memanjakan pejabat dengan layanan berkelas dari pramuria yang didatangkan dari luar negeri. Menurut informasi yang dia dengar bahwa saat sekarang
pihak kejaksaan di Daerah sangat ketat menjaga segala kemungkinan penyimpangan
APBD atau kolusi antara pejabat dengan pengusaha untuk menguras SDA tanpa
procedur yang benar. Ini bisa dimaklumi
karena Jaksa Agung sekarang adalah politisi Nasdem yang dipercaya oleh Jokowi
untuk memimpin kejaksaan dengan misi reformasi kejaksaan yang berorientasi
kepada pembrantasan dan pencegahan korupsi. Juga dengan adanya reformasi Migas
khususnya pengadaan BBM, aturan ketat bisnis tambang, larangan import pangan, penghapusan
subsidi pupuk, membuat bisnis rente semakin lesu. Menurutnya, para pengusaha
yang kaya raya akibat bisnis rente itu, yang tadinya biasa memanjakan petugas pajak
ditempat hiburan, sekarang pada stress karena mulai dikejar pajak. Petugas
pajak yang tadinya bisa dibeli sekarang tidak mau lagi alasannya aturan sudah
sangat ketat sekali. Jokowi memilih menteri dengan kriteria bersih secara tidak langsung telah menanamkan revolusi mental kepada jajaran pegawai dilingkungan pemerintahan. Dampaknya, itulah yang kini dirasakan oleh teman saya itu.Bisnis hiburan lesu.
Teman saya pejabat China pernah berkata kepada
saya bahwa kalau ingin lihat indicator tingkat korupsi maka liatlah dunia
hiburan malam dan tingkat hunia apartement mewah. Apabila tempat hiburan malam terus
ramai dikunjungi oleh tamu dan Apartement penuh dihuni oleh wanita muda tanpa
suami maka itu tandanya ekonomi bergerak cepat namun korupsi juga meningkat
pesat. Artinya ada yang salah dalam design pembangunan. Kalau ingin terjadi
pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan maka pembangunan fisik juga harus
diiringi dengan pembangunan moral aparatur negara. Dan pembangunan moral itu tidak cukup dengan
keberadaan kelembagaan dan pengawasan anti korupsi tapi lebih daripada itu
adalah keteladanan pemimpin tertinggi untuk perbaikan moral dan sikap tegas. Tahun
2012 China menggelar reformasi politik melalui sistem kepemimpinan partai dan
negara , diubah secara bertahap dan tertata. Hasil dari reformasi Politik itu
adalah terpilihnya Xin Jinping sebagai Presiden dan Li Keqiang, sebagai Perdana
Menteri. Kedua orang ini dikenal Pemimpin yang rendah hati, suka blusukan dan punya
reputasi bersih serta mampu mengelola kepentingan dikalangan elite Partai
Komunis agar gerakan anti korupsi mendapat dukungan luas dari kader partai. Semua Menteri terpilih dengan kriteria tak jauh dari sang Presiden dan Perdana Menteri, yaitu gemar bekerja keras dan bersih. Terbukti kini sejak kedua orang ini memimpin, tempat hiburan malam mulai sepi
dan berbagai lokasi prostitusi sudah di removed oleh Pemerintah Daerah.
Hanya saja perubahan politik di China dapat
diselesaikan dengan cepat tanpa riak karena kekuasaan yang terpokus kepada
partai komunis. Sementara di Indonesia perubahan itu tidak mudah. Karena
distribusi kekuasaan terbentuk by design melalui system check and balance antar
kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Sehingga wajar saja bila terjadi
riak dan gesekan antar elite politik. Seperti halnya kasus pengangkatan Budi Gunawan sebagai Kapolri.
Ini contoh konkrit bagaimana sistem kekuasaan bekerja. Ada Partai yang elite politiknya merasa terancam dengan terpilihnya Budi Gunawan sebagai Kapolri yang kemudian menggunakan lembaga yudikatif ( KPK) untuk memprovokasi LSM , masyarakat, media massa menolak Budi Gunawan sebagai Kapolri dengan alasan tersangka suap. Tentu tujuannya mendapatkan bargain position atas suatu deal. Gesekan itu tidak akan menimbulkan chaos. Ini biasa saja. Antar elite politik baik yang pro pemerintah maupun oposisi selalu pada akhirnya punya cara untuk berdamai melalui kompromi. Memang untuk
menjadi Presiden dibutuhkan puluhan juta pemilih namun untuk menjalankan fungsi
presiden hanya dibutuhkan dukungan sedikitnya 1000 orang elite politik. Jokowi harus mengelola 1000 orang elite itu dengan kecerdasan dan kesabaran diatas rata rata, agar agendanya dapat berjalan mulus. Mengapa ? karena dia bukan boss Partai dan Partainya tidak didukung koalisi gemuk. Bagaimana dengan rakyat dan LSM yang nyinyir? Mereka hanya kayu bakar menanak nasi. Bila nasi matang, kayu bakar akan disiram air dan padam. Ya, pada akhirnya
orang tidak butuh presiden yang selalu risau dengan ratingnya. Presiden yang
selalu curhat berwajah melankolis. Tidak. Rakyat butuh bukti bukan janji.
Agenda Jokowi yang tertuang dalam APBN-P 2015 adalah bukti memenuhi janji Pemilunya. Benarlah, dia mampu melakukan hal radikal dalam 100 hari. Memangkas anggaran pegawai secara significant. Mengurangi anggaran subsidi BBM dari Rp 276 triliun pada 2014 menjadi Rp 81,81 triliun atau hemat 194.19 triliun sehingga Jokowi bisa memastikan kepada pasar bahwa pemerintah punya ruang fiscal besar dan tentu punya peran significant menentukan arah pembangunan. Apapun obsesinya menggerakkan ekonomi melalui pembangunan infrastruktur secara luas seperti proyek poros maritim, jalan toll trans sumatera dan kalimantan, jalur kereta Trans sulawesi dan Papua, irigasi, bendungan, pasar rakyat, perumahan, 32,000 MW pembangkit listrik, dan lain lain, orang percaya. Karena tersedia dana dalam APBN-P 2015 sebesar Rp.290 Triliun untuk infrastruktur.Disamping itu lewat penyertaan modal pada BUMN sebesar Rp.75 Triliun diperkirakan terjadi leverage capital sedikitnya 10 kali lipat atau senilai Rp. 750 triliun. Sehingga bukan lagi mimpi membangun tapi memang realita yang harus dijemput dengan kerja keras. Beda dengan Presiden sebelumnya. Anggaran melesat berlipat , reputasi naik menjadi anggota G20 namun APBN tidak punya kemampuan membangun jalan lebih dari 100 KM berkelas Toll. Tiap tahun defisit APBN semakin membesar karena pemborosan belanja rutin. Kini defisit APBN turun atau kurang dari 2 % dari PDB. Diperkirakan tahun depan dimana APBN sepenuhnya disusun oleh Jokowi maka saat itu defisiit sudah nol. Indonesia akan merasakan kali pertama APBN surplus.
Agenda Jokowi yang tertuang dalam APBN-P 2015 adalah bukti memenuhi janji Pemilunya. Benarlah, dia mampu melakukan hal radikal dalam 100 hari. Memangkas anggaran pegawai secara significant. Mengurangi anggaran subsidi BBM dari Rp 276 triliun pada 2014 menjadi Rp 81,81 triliun atau hemat 194.19 triliun sehingga Jokowi bisa memastikan kepada pasar bahwa pemerintah punya ruang fiscal besar dan tentu punya peran significant menentukan arah pembangunan. Apapun obsesinya menggerakkan ekonomi melalui pembangunan infrastruktur secara luas seperti proyek poros maritim, jalan toll trans sumatera dan kalimantan, jalur kereta Trans sulawesi dan Papua, irigasi, bendungan, pasar rakyat, perumahan, 32,000 MW pembangkit listrik, dan lain lain, orang percaya. Karena tersedia dana dalam APBN-P 2015 sebesar Rp.290 Triliun untuk infrastruktur.Disamping itu lewat penyertaan modal pada BUMN sebesar Rp.75 Triliun diperkirakan terjadi leverage capital sedikitnya 10 kali lipat atau senilai Rp. 750 triliun. Sehingga bukan lagi mimpi membangun tapi memang realita yang harus dijemput dengan kerja keras. Beda dengan Presiden sebelumnya. Anggaran melesat berlipat , reputasi naik menjadi anggota G20 namun APBN tidak punya kemampuan membangun jalan lebih dari 100 KM berkelas Toll. Tiap tahun defisit APBN semakin membesar karena pemborosan belanja rutin. Kini defisit APBN turun atau kurang dari 2 % dari PDB. Diperkirakan tahun depan dimana APBN sepenuhnya disusun oleh Jokowi maka saat itu defisiit sudah nol. Indonesia akan merasakan kali pertama APBN surplus.
Mungkin tanpa disadari sebetulnya terpilihnya Jokowi sebagai Presiden adalah proses transformasi politik dari birokrasi menjadi meritokrasi,dari penguasa menjadi pelayan. Semua butuh waktu dan anda boleh suka tidak
suka namun proses agenda Jokowi jalan terus. Bila karena agendanya rakyat
merasa mencari nafkah mudah dan mampu membayar semua kebutuhannya maka tidak
diperlukan lagi media massa mengangkat ratingnya. Tidak perlu lagi LSM
memprovokasi mendukungnya. Jokowi akan selalu menjadi bagian dari rakyat.Makanya kerja..kerja.!