Saya tidak meragukan VISI pak Jokowi membangun IKN. Yang saya ragukan adalah kemampuan pembantunya dan DPR menterjemahkan VISI itu. Khususnya berkaitan dengan aspek hukum dan pembiayaan. Tahun 2019 Presiden Joko Widodo menjamin pemindahan Ibu Kota ke luar Jawa tak akan membebani anggaran negara. Tentu dengan begitu harus ada skema pembiayaan yang mengatur sehingga APBN tidak dibebani. "Artinya anggaran, kita siap menjalankan keputusan ini, tetapi saya sampaikan ke Menkeu tidak membebankan APBN, cari skema agar APBN tidak terbebani," ujar Jokowi. Jokowi tak menjelaskan lebih jauh skema yang akan digunakan pemerintah agar APBN tak terbebani. Itu tentu sangat detail dan rumit untuk dipahami oleh publik.
Tahun 2020 melalui Meninvest LBP dan ketua BKPM, soft bank mengajukan proposal untuk biayai proyek IKN tersebut. SoftBank Corp dikabarkan akan berinvestasi sebesar US$ 100 miliar atau setara Rp 1.400 triliun di IKN. Jadi masalah investasi IKN teratasi. Karena rasa hormat akan minat berinvestasi itu, Presiden Softbank, Masayoshi Son, diangkat sebagai anggota Dewan Pengarah IKN oleh Jokowi. Dia bersama sama dengan Putra Mahkota Abu Dhabi, Mohamed Bin Zayed, dan mantan Perdana Menteri Inggris, Tony Blair sebagai anggota dewan pengarah IKN. Semua mereka berjanji akan jadi investor utama IKN.
Namun apa yang terajdi ? bulan madu hanya semalam. Tahun 2022, Soft bank mengundurkan diri. Apa pasal? "Softbank ini sudah bertemu dengan Bapak Presiden, dan beberapa kali saya ikut. Proposal yang ditawarkan, untung bagi dia tidak untung bagi negara. Dan kami tidak mau didikte," kata Bahlil dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi VI DPR RI, Rabu (14/12/2022). Karena itu Pemerintah mencoba mencari pengganti investor. IKN ditawarkan kepada Uni Emirat Arab dan Arab Saudi. Ternyata proposal itu tidak ada titik terangnya. Akhirnya Bappenas masuk dengan skema PINA. Namun perlu UU sebagai payung hukum. Nah dari UU IKN itu memungkinkan APBN terlibat sebesar 20% dari total biaya sebesar kurang lebih Rp 500 triliun. Sisanya dari investor. Namun keliatannya dalam pelaksanaan skema PINA ini engga jalan. Terlalu rumit.
Selanjutnya UU IKN di revisi. Melalui Badan otorita IKN, negara memberikan hak kepada Badan Otorita untuk menarik investor lewat penerbitan surat utang ( Bond) dan juga kerjasama B2B, lewat penguasaan lahan yang ada. Itupun masih wait and see. Banyak investor yang minat tapi hanya sebatas LOI. Belum ada investor institusi yang siap masuk, kecuali investor korporat yang terbatas nilainya. Walau Badan Otorita sudah dibentuk, sampai kini berjalan lambat sekali prosesnya. Saya akan tinjau dari sisi bisnis saja. Karena 80% anggaran IKN dari investor.
Pertama. Setiap proyek kawasan, yang utama adalah adanya Icon sebagai daya tarik atau marcusuar. Jadi kebut aja pembangunan Istana negara berserta fasilitas infrastruktur yang menjadi bagian negara sebesar 20% dari total anggaran. Itu artinya Rp. 100 triliun. Kalau itu dilaksanakan. Akan menimbulkan trust bagi investor mau masuk. Tapi nyatanya anggaran itu keluarnya seret. Tahun 2022 alokasi APBN sebesar Rp. 12 triliun. Itu dengan asumsi tidak akan ada kenaikan biaya. Biasanya kalau APBN, realisasinya jadi berbeda dari anggaran.
Kedua, sampai saat ini belum ada PP soal KPBU bagi swasta, BUMN/BUMD yang mau terlibat sebagai investor. Keliatannya melambatnya proses PP ini karena faktor politik. Karena kalau berdasarkan UU No. 3 /2022, sangat sulit menarik investor. Walau ada janji akan memberikan HGB selama diatas 100 tahun.Itu belum menarik bagi investor. Bagi mereka yang penting itu adalah soal keamanan IRR. Siapa yang jamin? Untuk apa lama HGB kalau tekor.
Ketiga, koalisi pemerintah tidak lagi solid mendukung Jokowi terutama dalam kontelasi politik menuju pemilu 2024. Maklum Pemilu 2024, tidak ada petanaha. Semua nol. Antar partai koalisi berusaha saling bargain. Apalagi soal IKN ini sudah ada UU. Kemungkinan besar, partai oportunis mengarahkan IKN sebagai ibukota negara saja. Sementara pemerintah tetap di Jakarta. Sehingga pembiayaan semua dari APBN.
Keempat, Defisit APBN terus melebar. Ini sangat renta terhadap Fiskal kita. Kalau dipaksakan intervensi APBN, akan menyulitkan pemerintah melakukan ekspansi sosial untuk menghadapi resesi tahun depan. Ini tidak diperhitungkan ketika rencana IKN disusun.
***
UU IKN Pasal 23 ayat (2), Otorita IKN menjadi Pengguna Barang untuk IKN Nusantara. Hal ini berarti semua hasil pembangunan IKN yang dilakukan oleh Otorita IKN yang berupa aset akan menjadi Barang Milik Negara (BMN) dengan status penggunaannya ada pada Otorita IKN. Dengan demikian, semua jalan, jembatan, gedung kantor, bahkan seluruh tanah yang dibebaskan untuk kepentingan IKN akan berstatus penggunaan di Otorita IKN.
Pasal 5 Permen Agraria 9/1965, BMN selain dipergunakan oleh instansi-instansi pemerintah, juga dimaksudkan untuk diberikan dengan sesuatu hak kepada pihak ketiga, maka oleh Menteri Agraria tanah-tanah tersebut akan diberikan kepada instansi tersebut dengan “hak pengelolaan”. Dasar penggunaan Hak Pakai dapat diketahui pula pada Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah (“PP 40/1996”).
Yang dapat mempunyai Hak Pakai adalah Warga Negara Indonesia; Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia; Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, dan Pemerintah Daerah; Badan-badan keagamaan dan sosial; Orang asing yang berkedudukan di Indonesia; Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia; Perwakilan negara asing dan perwakilan badan Internasional.
Sampai disini paham ya.
Nah sekarang bagaimana me leverage aset tanah itu bagi investor ? Itu sama dengan status tanah untuk jalan toll, Bandara, tambang. Walau tanah itu bagian dari investasi pengusaha, namun hak atas tanah tetap ada pada negara. Jadi secara hukum kalau ingin digadaikan maka yang digadaikan adalah hak pengelolaan atau konsesi atas lahan itu. Apa value dari hak pakai itu ? ya bisnis proteksi dari negara. Misal jalan Toll, ada jaminan tarif dan downfall guarantee, dan captive market.
Skema bisnisnya sama seperti KPBU seperti adanya Viability Gap Fund. Artinya negara menjami terpenuhinya IRR ( internal rate of return ) di atas lahan itu. Misal, developer disuruh bangun real estate, ya harus ada regulasi yang menjamin pasar, khususnya untuk relokasi ASN dari Jakarta. Untuk infrastruktur juga begitu. Walau sudah ada UU No. 3/2022 tapi belum ada PP yang konprehensive sebagai dasar skema KPBU.
Jadi, Yang Mulia Bapak Presiden, yang ditawarkan itu adalah skema bisnis atas lahan IKN itu. Skema itu dituangkan dalam bentuk peraturan pemerintah agar ada kepastian hukum. Tanpa itu, engga ada investor yang mau ambil resiko. Yang boleh ambil resiko masa depan atas visi negara ya pemerintah. Investor maunya aman saja.
Kalau memang sulit skema KPBU, maka bangun dulu pusat ekonomi baru di Kalimatan. Cobalah focus bangun pusat industri alumina yang menggunakan PLTA, misal di Kalbar. Dengan larangan ekspor bauksit, akan mendorong investor membangun downstream aluminium. Tersedianya energi murah, akan mendorong downstream Batubara di Kaltim. Pusat ekonomi baru ini akan menampung sedikitnya 3 juta pekerja. Tentu trade off dari adanya energi murah, ya UMR Rp. 12 juta sebulan. Kemudian bangun high speed train dari Kalbar ke Kaltim-IKN. 3 juta orang akan tinggal di IKN. Ini akan menjadi captive market untuk terbangunnya proyek komersial di IKN. Tirulah kota Capetown di Afsel.
Jadi udahan dech promosi dan cerita banyak investor masuk tapi hanya LOI. Itu memalukan. Udahan seret seret presiden gua seperti salesman jual lahan. Itu merendahkan lambang negara. IKN itu proyek negara bukan swasta. Negara punya segala galanya untuk menarik investor tanpa diundang. Tentu sumber daya itu harus dikelola secara smart. Bukan retorika.