Kalau ada orang mengatakan utang Indonesia terhadap PDB aman karena masih berkisar 39%. Jauh lebih rendah dari negara lain. Itu tidak tepat. Mereka tidak paham struktur utang negara. Utang negara itu terdiri dari utang pemerintah dan utang Indonesia. Kenapa begitu ?. Utang pemerintah dan Indonesia itu dua hal berbeda dalam akuntasi negara.
Mari kita pahami dulu struktur utang negara yang terdiri dari utang pemerintah dan Indonesia. Utang pemerintah adalah utang yang terkait dengan anggaran Pembiayaan APBN. Utang pemerintah disebut juga on balance sheet. Utang Indonesia atau bisa juga disebut utang public. Itu terdiri dari utang on balance sheet dan utang off balance sheet, yang terdiri dari utang BUMN non financial institution, BUMN Financial institution termasuk BI.
Berapa utang pemerintah? Data pada awal januari 2024 Rp8.264,14 triliun (angka per kuartal 4-2023). Berapa utang Indonesia atau utang public? Rp15.867,59 triliun. Yaitu utang pemerintah ditambah dengan utang BUMN di luar sektor keuangan (nonfinancial public corporation) senilai Rp1.009,95 triliun. Lalu utang BUMN sektor keuangan (financial public corporation) sebesar Rp6.593,49 triliun.
Nah berdasakan data tersebut, mari kita Analisa dengan alat analisis. Rasio utang pemerintah terhadap PDB sebear 39%. Artinya dari 100% PDB, lebih 1/3 berasal dari utang. Nah kalau pemerintah mengatakan dan mengakui hanya utang on balance sheet, itu memang masih aman. Di bawah pagu UU. Tetapi rasio utang Indonesia terhadap PDB sebesar 75,94%. Dimana 37% dalam kondisi off balance sheet. Itu Udah diatas 60% dari pagu UU. Engga bisa dikatakan aman.
Itu data awal tahun 2024. Yang tentu sepanjang tahun 2024 sampai tahun berikutnya jumlahnya lebih besar. Maklum utang terus nambah. Alias gali lobang tutup lobang.
Sekarang mari kita persempit Analisa utang itu lewat Debt service ratio, terutama terhadap pendapatan ekspor dan penerimaan pajak. Itu lebih objecktif. Karena terkait dengan likuiditas atau arus kas lancar. Maklum kita bayar utang kan engga pakai PDB, tetapi pakai uang cash. Entah cash nya dari tabungan atau dari utang lagi. Utang dan Bunga harus dibayar sesuai jadwal. Engga bisa telat.
Debt to export ratio.
Atau rasio utang terhadap penerimaan ekspor ( valas) untuk mengukur sejauh mana resiko utang luar negeri terhadap pendapatan ekspor. Hampir sepanjang Pemerintahan Jokowi setelah 2015 hingga 2021, DSR tier 1 menunjukkan angka yang terus meningkat yaitu berada di rentang 25 % hingga 30%. Memasuki tahun 2022, level DSR mengalami penurunan yang disebabkan oleh windfall kenaikan harga komoditas di pasar dunia. Namun dalam kondisi fluktuatif dan ketidakpastian terus berlanjut.
Total utang Luar negeri pemerintah dan BI per juli 2024 mencapai USD 194,3. DSR Tier 1, rasio debt to export 16%. Memang masih di bawah 20% pagu IMF. Namun itu belum termasuk utang luar negeri swasta USD 220 miliar. Dan tentu tidak termasuk utang luar negeri swasta yang tidak tercatat. Maklum swasta jago create skema utang yang tersamarkan dari pencatatan BI. Kalau digabung, tentu rasio debt to export diatas 20%. Makanya walau data ekspor selalu surplus, tetapi NPI kita defisit. BI terpaksa berhutang untuk nambah cadev.
Debt to tax revenue.
Atau utang terhadap penerimaan pajak. Data dari tahun 2014 sampai tahun 2022, ratio utang terhadap penerimaan pajak mencapai 47,4%. Artinya setiap tahun hampir separuh penerimaan pajak untuk bayar utang. Mengapa? Karena tax ratio kita masih berkisar 10% something atau rata rata selama 10 tahun dibawah 10%. Negara maju punya utang terhadap PDB diatas 100%. Tetapi tax ratio mereka juga tinggi. Mengacu data OECD, rasio pajak terhadap PDB negara-negara OECD mencapai 33,5%. Jadi APBN mereka secure dari cash flow utang. Memang utang bagi mereka hanya sebagai alat leverage, bukan ketergantungan.
Solusi
Dengan memahami struktur utang negara itu, kita bisa dapatkan solusi dan tidak terlena merasa aman dan baik baik saja. Apa solusi itu ?
Pertama. Pemerintah harus focus meningkatkan penerimaan pajak. Caranya bukan menambah tarif PPN. Tetapi lewat penetrasi pajak terpusat. Misal, kalau pemerintah sudah beri konsesi bisnis, IUP dan HGU lahan, maka jangan ada lagi insentif pajak. Kalau engga mampu bayar pajak, engga usah diberi konsesi bisnis, fasiltas IUP dan HGU. Itu juga untuk memastikan agar pemegang konsesi bisnis, IUP dan HGU adalah real investor, bukan broker atau komprador Asing.
Pada waktu bersamaan, hapus semua pungutan PAD atau beragam pajak daerah yang membebani investor. Trade off nya tingkatkan DAU dan DAK. Kalau itu diterapkan. Kita bisa nambah penerimaan pajak diatas 50%. Tax ratio bisa naik dua digit. Debt to tax revenue akan sehat. Tentu defisit akan berkurang. Fiskal sehat.
Kedua. Pemerintah harus mulai serius memanfaatkan INA ( Indonesia investment authority ) sebagai alternatif sumber pembiayaan non APBN. Kan pemerintah sudah gelontorkan PMN sebesar Rp 92 triliun. Ya INA harus bisa buktikan tugas nya sebagai sovereign wealth fund berbasis sumber daya negara. Jadi walau keterbatasan fiscal karena defisit APBN, namun tidak mengganggu expansi pemerintah untuk membangun downstream hasil laut seperti Algae dan Rumput laut. Industrialisasi mineral tambang. Proyek decarbonisasi, riset pertanian, dan perbaikan tata niaga pertanian. Ya focus kepada proyek futuristik yang berdampak langsung kepada kesejahteraan rakyat.
Ketiga. Pemerintah harus berani melakukan penyesuaian anggaran yang lebih realistis. Setidaknya memenggal 30% anggaran Kementrian dan belanja pegawai. Itu tidak akan menggangu jalannya roda pemerintahan. Toh selama ini bukan rahasia umum 30% APBN dikorup. Nah 30% itu arahkan kepada proyek yang bisa dirasakan langsung oleh rakyat.
Saya tetap optimis dengan kondisi utang negara. Tentu dengan syarat optimis yang rasional. Apa itu?. Apabila kita bersikap dengan data, dan apapun kondisinya kita sudah tahu harus bagaimana. Karena tidak ada di dunia ini yang sulit kalau akal kita bekerja efektif. Pasti akan ada solusi. Nah dengan solusi itulah kita optimis. Tentu dengan kerja keras. Kalau melihat karakter dan niat Prabowo, tentu saya patut optimis. Karena saya memang tidak pernah lelah beharap dan mencintai negeri ini.
Demikian.
***
Saya nongkrong di CafĂ© WFH. Ada dua anak muda sedang dengan komputernya. Saya lirik mereka ngerjakan tugas. Sepertinya mereka mahasiswi. “ Keluarkan biaya depreciation dan amortisasi. “ Kata saya sepontan. Karena saya lihat dia sedang berusaha membuat Analisa leverage. Mereka berdua melirik saya yang duduk hanya sejengkal. Saya tersenyum. “ Maksudnya ? tanya salah satu wanita.
“ Itu judul diatas kan leverage operasi. Yang sedang kamu hitung itu earning before interest, taxes, depreciation, amortization atau istilahnya EBITDA “ Kata saya. Dia perlihatkan soal. Saya baca dan tersenyum. Pintar dosen buat cerita dalam studi kasus.
“ Kalau berdasarkan soal ini, jadi gimana pak ngitungnya "tanya mereka.
“ Mana pulpen kamu. “ kata saya. Saya tulis rumus leverage “ Rumus ini untuk mengetahui sejauh mana laba perusahaan mampu membayar utangnya. Nah tentu biaya penyusutan dan amortisasi engga dimasukan. Kan engga berdampak kepada arus kas. Itu hanya catatan saja. Agar lebih tajam informasi yang akan kita dapat, unsur bunga dan pajak juga jangan dimasukan. “ Kata saya lanjut selesaikan soal dengan total hutang berbanding terbalik dengan EBITDA.
“ Nah dari soal ini, Rasio leverage EBITDA 6 kali. Artinya total utang 6 kali dari kemampuan perusahaan menghasilkan laba kotor.“ kata saya setelah selesai menjawab soal.
“ Sekarang, informasi apa yang kita dapat dari data leverage EBITDA ini? Tanya saya. INi penting karena masuk ke level mengerti agar bisa di apply dalam kehidupan nyata mereka kelak.
Mereka menyimak.
“ Perusahaan tidak akan bisa menyelesaikan utangnya. Sedikit aja penjualan drop, habis value perusahaan. Itu penyebabnya, karena terlalu besar biaya tetap, sementara biaya variable yang memompa pendapatan rendah. Kebanyak asset dibeli dari utang namun tidak produktif. “ kata saya. Mereka menyimak.
“ Negara juga sama. " Lanjut saya. " Perhatikan. Utang pemerintah Rp. 8500 triliun lebih. Sementara pendapatan pajak Rp. 3000 triliun. Artinya rasio leverage sebesar 2,8 kali. Itu menurut IMF rentan sekali. Jauh dari standar IMF sebesar 1,5 kali. Tetapi kalau kita masukan unsur utang off balance sheet negara seperti utang BUMN non perbankan, Bank BUMN dan BI, totalnya jadi Rp. 15.000 triliun. Levege nya sebesar 5 kali. Itu engga sehat. Sampai kapanpun engga akan bisa bayar utang. Tahu apa sebab? Tanya saya.
“ Karena biaya tetap besar dan utang tidak diarahkan kepada sector produktif “ kata mereka. Saya acungkan jempol dan tersenyum. Itu artinya kalau mereka paham akar masalah, tentu mereka paham bagaimana solusinya. “ nah masih banyak leverage ratio yang bisa jadi alat untuk menganalisa value saham dan korporat, seperti debt terhadap capital, asset, equity multiflier dan lain lain” Kata saya.
“Wah kalau begini jadi menarik belajar akuntasi.” Kata salah satu mereka.
“ Bahasa bisnis itu adalah akuntansi. Orang bisnis di semua negara di lima benua, menggunakan Bahasa yang sama dalam berbisnis. Makanya kalau kalian mau terjun ke bisnis tetapi tidak mengerti akuntasi, itu sama saja kalian buta dan bisu. Engga berkembang. Hidup dalam dunia kalian sendiri. Tidak akan ada interaksi dalam kemitraan dengan bank dan stake holder lainnya. Pasti kalian tidak akan mungkin bisa menikmati mystery of capital. Paham ya. “ kata saya.
“ Bapak dosen ?
“Bukan. Saya pedagang sempak” kata saya berlalu.