Kemarin Departemen Keuangan mengumumkan tentang dibentuknya Lembaga Penjaminan Investasi. Pada tahun 2006 , saya pernah menulis di Blog tentang Lembaga Penjaminan ini. Saya membahas tentang solusi pembangunan infrastruktur ekonomi. Saya belum tahu rincian dari aturan teknis pelaksanaan Lembaga Penjminan Investasi ini. Namun , dari penjelasan ringkas Departement Keuangan , dapat disimpulkan bahwa Lembaga Penjaminan ini hanya memberikan jaminan atas resiko ketidak pastian aturan dan dukungan terhadap captive market. Padahal , yang namanya resiko investasi yang berkaitan dengan privatisasi pembangun infrastruktur tidak hanya mencakup aturan dan dukungan captive market tapi lebih daripada itu adalah soal Country risk.
Masalah country risk meliputi tiga hal yaitu exchange rate, regulation dan political risk. Tiga hal ini menyatu satu sama lain. Sulit bagi swasta untuk mempridiksi masalah risiko ini. Apalagi ditengah system perpolitikan yang abu abu. Seharusnya philosophy Pendirian Lembaga Penjaminan ini menpertimbangkan terhadap tiga hal ini. Upaya privatisasi layanan public seperti jalan toll, PDAM, Listrik, Pelabuhan, dan lain lain bukanlah satu sikap politik yang final bagi Indonesia. Satu fakta UU 2003 tentang ketenaga listrikan , dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Belum lagi beberapa UU tentang PDAM , jalan Toll yang harus berhadapan dengan hak otonomi daerah tentang lahan dan Air bersih. Singkatnya hampir semua sector yang hendak di privatisasi menghadapi regulasi sektoral yang bertentangan. Inilah masalah mendasar yang dihadapi oleh rencana pemerintah untuk mendorong peran swasta menomboki kewajiban negara membangun infrastruktur. Inilah contry risk.
Yang mungkin sebagai jalan tengah bagi pemerintah untuk mendorong privatisasi tanpa menimbulkan gejolak adalah menempatkan Lembaga Penjaminan Investasi untuk terbentuknya Mortgage Institution khusus pembangun insfrastruktur. Atas dasar ini maka Mortgage institution dapat melakukan raising fund untuk terlaksananya pembangunan insfrastrukur melalui inkind loan dari keterlibatan contractor BUMN( turn key ). Setelah project selesai dibangun maka Mortgage institution melakukan penjualan Obligasi kepada public atau private placement kepada exclusive investor. Hasil penjualan ini untuk membayar hutang ( inkind loan ). Selanjutnya project infrastructure di kelola oleh BUMN ( Jasa Marga /PLN/PDAM/PT Pelindo/PT.Angkasa Pura/PT.KI/( bersama sama dengan BUMD dimana lokasi project dibangun ) . Sementara kepemilikan secara tidak langsung ditangan public. Namun pemerintah secara kelembagaan tetap mengontrol project ini untuk terjaminnya fungsi social project.
Dengan skema tersebut diatas, apabila dalam jangka panjang ternyata project mampu menciptakan cash flow yang baik maka pemerintah dapat melakukan buy back obligasi tersebut melalui IPO. Atau dapat juga menawarkan conversi obligasi terhadap saham. Publik akan mendapatkan capital gain dan juga Pemerintah. Selanjutnya infrastructure menjadi spread ownership. Inilah seharusnya philosophy privatisasi infrastruktur yang ideal dimana pemerintab berperan sebagai undertaker terhadap contry risk dan mendapatkan yield dari itu. Cara ini juga jitu mensiasati sumber sumber pembiayaan infrasttukture diluar APBN.
Mengenai pihak swasta yang sudah mengantongi konsesi pembangun infrastructure tidak usah diberikan dukungan penjaminan segala. Biarkan saja mereka melaksanakan konsesi tersebut dengan resiko sendiri, yang nyatanya sampai sekarang sebagian besar mereka gagal melakukan kegiatan investasi karena terbenturnya kemampuan financial menutup resiko investasi. Agar tidak disomasi oleh pihak pemegang konsesi maka Pemerintah harus mengeluarkan regulasi tentang batas waktu pembangunan bagi pemegang konsesi. Regulasi ini harus berdasarkan UU , tidak bisa hanya Kepres atau Kepmen.
Hasil ( laba) dari privatisasi ini dapat digunakan untuk memberikan dukungan terhadap layanan public yang gratis. Seperti laba jalan toll dipakai untuk membangun jalan negara (jalan arteri) agar lebih baik atau sama dengan jalan toll. Pembangkit listrik kawasan Khusus diprivatisasi dan hasilnya untuk mensubsidi Listrik untuk wilayah umum yang kurang mampu. Begitulah, kalau ada kemauan untuk mensiasati globalisasi dan kapitalisme , tentu ada way out. Jangan ada lagi privatisasi layanan publik hanyalah cara mengeliminate fungsi negara atau mengkerdilkan peran BUMN untuk diserahkan kepada kekuatan kapitalisme. Negara harus digaris depan menjaga keadilan layanan publik karena negara memiliki kekuasaan untuk itu sebagai amanah dari rakyat.Semuanya tergantung dari sikap aparat pemerintah dan elite politik yang mau menjadi pelayan rakyat dan bekerja keras untuk kepentingan rakyat banyak.
Masalah country risk meliputi tiga hal yaitu exchange rate, regulation dan political risk. Tiga hal ini menyatu satu sama lain. Sulit bagi swasta untuk mempridiksi masalah risiko ini. Apalagi ditengah system perpolitikan yang abu abu. Seharusnya philosophy Pendirian Lembaga Penjaminan ini menpertimbangkan terhadap tiga hal ini. Upaya privatisasi layanan public seperti jalan toll, PDAM, Listrik, Pelabuhan, dan lain lain bukanlah satu sikap politik yang final bagi Indonesia. Satu fakta UU 2003 tentang ketenaga listrikan , dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Belum lagi beberapa UU tentang PDAM , jalan Toll yang harus berhadapan dengan hak otonomi daerah tentang lahan dan Air bersih. Singkatnya hampir semua sector yang hendak di privatisasi menghadapi regulasi sektoral yang bertentangan. Inilah masalah mendasar yang dihadapi oleh rencana pemerintah untuk mendorong peran swasta menomboki kewajiban negara membangun infrastruktur. Inilah contry risk.
Yang mungkin sebagai jalan tengah bagi pemerintah untuk mendorong privatisasi tanpa menimbulkan gejolak adalah menempatkan Lembaga Penjaminan Investasi untuk terbentuknya Mortgage Institution khusus pembangun insfrastruktur. Atas dasar ini maka Mortgage institution dapat melakukan raising fund untuk terlaksananya pembangunan insfrastrukur melalui inkind loan dari keterlibatan contractor BUMN( turn key ). Setelah project selesai dibangun maka Mortgage institution melakukan penjualan Obligasi kepada public atau private placement kepada exclusive investor. Hasil penjualan ini untuk membayar hutang ( inkind loan ). Selanjutnya project infrastructure di kelola oleh BUMN ( Jasa Marga /PLN/PDAM/PT Pelindo/PT.Angkasa Pura/PT.KI/( bersama sama dengan BUMD dimana lokasi project dibangun ) . Sementara kepemilikan secara tidak langsung ditangan public. Namun pemerintah secara kelembagaan tetap mengontrol project ini untuk terjaminnya fungsi social project.
Dengan skema tersebut diatas, apabila dalam jangka panjang ternyata project mampu menciptakan cash flow yang baik maka pemerintah dapat melakukan buy back obligasi tersebut melalui IPO. Atau dapat juga menawarkan conversi obligasi terhadap saham. Publik akan mendapatkan capital gain dan juga Pemerintah. Selanjutnya infrastructure menjadi spread ownership. Inilah seharusnya philosophy privatisasi infrastruktur yang ideal dimana pemerintab berperan sebagai undertaker terhadap contry risk dan mendapatkan yield dari itu. Cara ini juga jitu mensiasati sumber sumber pembiayaan infrasttukture diluar APBN.
Mengenai pihak swasta yang sudah mengantongi konsesi pembangun infrastructure tidak usah diberikan dukungan penjaminan segala. Biarkan saja mereka melaksanakan konsesi tersebut dengan resiko sendiri, yang nyatanya sampai sekarang sebagian besar mereka gagal melakukan kegiatan investasi karena terbenturnya kemampuan financial menutup resiko investasi. Agar tidak disomasi oleh pihak pemegang konsesi maka Pemerintah harus mengeluarkan regulasi tentang batas waktu pembangunan bagi pemegang konsesi. Regulasi ini harus berdasarkan UU , tidak bisa hanya Kepres atau Kepmen.
Hasil ( laba) dari privatisasi ini dapat digunakan untuk memberikan dukungan terhadap layanan public yang gratis. Seperti laba jalan toll dipakai untuk membangun jalan negara (jalan arteri) agar lebih baik atau sama dengan jalan toll. Pembangkit listrik kawasan Khusus diprivatisasi dan hasilnya untuk mensubsidi Listrik untuk wilayah umum yang kurang mampu. Begitulah, kalau ada kemauan untuk mensiasati globalisasi dan kapitalisme , tentu ada way out. Jangan ada lagi privatisasi layanan publik hanyalah cara mengeliminate fungsi negara atau mengkerdilkan peran BUMN untuk diserahkan kepada kekuatan kapitalisme. Negara harus digaris depan menjaga keadilan layanan publik karena negara memiliki kekuasaan untuk itu sebagai amanah dari rakyat.Semuanya tergantung dari sikap aparat pemerintah dan elite politik yang mau menjadi pelayan rakyat dan bekerja keras untuk kepentingan rakyat banyak.