Saturday, April 26, 2014

Pemilih dan terpilih...

Winston Churchill  hampir tidak percaya ketika dia kalah dalam Pemilu paska perang dunia kedua tahun 1945. Padahal reputasinya sedang tinggi sekali karena dia berhasil membawa inggeris bersama Amerika keluar sebagai pemenang dalam perang dunia kedua melawan jerman. Peranannya sebagai ahli strategi, orator, diplomat dan politisi terkemuka menjadikan Churchill salah satu dari tokoh paling berpengaruh di dunia ketika itu. Mengapa rakyat pada akhirnya lebih memilih Partai Buruh dibandingkan dia? Rakyat memang terpesona dengan cerita dan berita kehebatan Churchill namun pada akhirnya rakyat tidak hidup dalam jargon dan retorika pemikiran Churchill. Rakyat tidak bisa menerima seorang pemimpin yang hidup dalam mimpinya dan berharap meraih kenyataan dari mimpi itu. Rakyat  ingin hidup dalam dunia nyata.Nyatanya perang dunia kedua hanyalah ambisi Churchill yang akhirnya membuat Inggeris bangkrut terlilit hutang akibat perang yang menurut sebagian besar rakyat inggeris, tak ada gunanya. Andaikan Churchill mau menerima konsep perdamaian dengan Hitler, perang tidak perlu terjadi. Korban akibat perang ,tidak perlu ada.  Namun yang terjadi terjadilah. Churchill merasa rakyat terlalu bodoh untuk memberikan mandat kepada Partai buruh yang hanya pandai mengeluh setiap hari. Bukan soal mengeluh atau apa, tapi justru buruh yang banyak berkorban untuk ambisi perang Churcill. Pemilu adalah pengadilan terbaik dihadapan Rakyat tentang siapakah yang dipercaya. Rakyat bersikap dan Churchill harus kalah.

Ada tiga teori tentang loyalitas pemilih dalam pemilihan umum. Yang partama adalah teori Identification atau Michigan Model ( 1997) yang menjelaskan bahwa pemilih mengindentifikasikan diri dengan partai politik yang mereka dukung. Artinya pemilih menentukan pilihannya sesuai dengan paham partai tersebut ( demokrat, sosialis atau nasionalis ). Kedua, adalah pendekatan social loyalty, dikenal dengan Europe model yang mengatakan variable identitas sosial adalah faktor lain penentu perilaku pemilih dalam pemilihan. Artinya dalam teori ini pemilih tidak lebih sebagai alat penegasan pemilih ( voters affirmation ) terhadap loyalitas sosial tertentu seperti agama, etnisitas komunitas dimana mereka dilahirkan, atau kesamaan profesi dll. Ketiga, adalah teori kompetensi dan integritas calon. Artinya pemilih lebih tertarik pada kualitas kandidat yang berlaga dipemilihan atau isu kampanye yang dikomunikasikan pasangan calon, tanpa mempersoalkan identitas sosial kandidat.  Di Indonesia sejak menerapkan pemilihan langsung, sejak  Pacasila dinyatakan ramai ramai sebagai dasar Partai maka teori pertama tidak lagi berlaku. Namun kelihatannya ada sebagian elite partai  masih percaya dengan social loyality. Nyatanya walau sudah menjadikan partainya berazaskan islam , tetap tidak berhasil menjadi pemenang walau mayoritas penduduk beragama islam. Teori ketiga , juga tidak efektif terbukti banyak tokoh hebat seperti Amin Rais gagal jadi capres. Banyak artis dan tokoh tenar juga gagal ke Senayan. Mungkin ada benarnya Fukuyama dalam tesisnya yang terkenal “the End of History” sebagai akhir dari sejarah. Bahwa konflik ideologi telah hilang dan digantikan dengan alasan-alasan demokratik yang rasional. Semakin maju orang berpikir semakin rasional dia bersikap, yang tentu tidak  mudah ditaklukan dengan magic word bernuasa agama, sosialis,nasionalis. 

Seorang teman nampak geram karena Aceng Fikri yang jelas jelas amoral karena menceraikan istri nikah sirinya karena alasan subjective dan akhirnya dilengserkan sebagai bupati oleh kekuatan politik DPRD. Nyatanya kini terpilih sebagai anggota DPD (Senator) mewakili Jawa Barat.  Padahal untuk menjadi anggota DPD lebih berat dibandingkan menjadi anggota DPR.  Aceng Fikri harus mendapatkan suara diatas 1 juta pemilih dan dia berhasil meraih 1.139.556 suara. Ini bukan hal yang sederhana. Sementara banyak artis tenar, tokoh masyarakat,elite partai gagal meraih suara untuk duduk di Senayan, bahkan enam anggota keluarga keraton Solo juga gagal menjadi legislatif padahal  secara defacto  mereka keluarga terhormat di Solo. Ada apa ini? Memang demokrasi liberal adalah system yang memastikan tidak ada superioritas. Semua pemilih dan dipilih adalah equal. Pemilih tidak bisa didikte dalam bentuk apapun karena kebebasannya dijamin oleh undang undang. Karenanya sehebat apapun anda dengan visi nasionalis, agamais, sosialis ,moralis pada akhirnya anda harus membuktikan dihadapan pemilih  bahwa anda memang patut dipilih untuk mewakili mereka.  Kata kata tetaplah kata kata, niat tetaplah niat namun pada akhirnya orang memilih anda karena memang anda pantas dipilih. Mungkin saja ada kecurangan dalam Pemilu dan itu tidak bisa dihindari namun yang harus diingat bahwa pemilu itu memungkinkan by system orang bebas mengawasi dan memastikan orang tidak bebas mencurangi. Kalaupun ada pelanggaran , tidaklah massive. Itu rasio yang tidak significant sehingga bisa merubah pilihan mayoritas.

Apakah ini sehat untuk kehidupan bernegara? Bagi orang yang senang dihormati oleh orang banyak karena patron , primordial (emosi keagamaan, profesi, etnis) maka demokrasi liberal sangat tidak nyaman. Apalagi  terbiasa dengan memaksa orang patuh secara totaliter atas kebenaran dari persepsi atas nama agama atau idiologi, tentu demokrasi liberal bukan system yang baik. Bahkan Soekarno merubahnya menjadi demokrasi terpimpin. Soeharto merubahnya menjadi Demokrasi Pancasila. Yang pasti ketika mereka bersandar kepada ketidak-setaraan , pada saat itu mereka berlaku menjadi penjajah atau tiran.Atas nama Pancasila , Soeharto menjadikan lawan politiknya pesakitan. Atas nama Revolusi, Soekarno menjadikan lawan politiknya pesakitan. Demokrasi liberal seakan memberikan isyarat kepada siapapun kalau ingin terpilih maka mereka harus bisa menaklukan hati pemilih. Satu satunya yang membuat orang takluk hatinya adalah apabila “diberi”. Namun pemberian yang tidak ikhlas mudah ditebak menjadi pemberian yang memalukan. Banyak caleg yang memberi ketika masa kampanye tapi tetap gagal mendapat korsi.  Pemilih punya prinsip ambill uangnya tapi jangan pilih orangnya. Jadi tidak seratus persen pemilih itu orang bodoh yang mudah dibeli. Mereka cerdas dan tahu bagaimana harus memilih. Ketika pemilu rakyat yang buta hurup namun tidak buta hati,tidak sulit menilai Partai mana yang peduli kepada mereka dan mana yang hanya retorika. PDIP dan Garindra menjadi pilihan utama Rakyat Jakarta karena mereka bisa merasakan hasil yang dicapai oleh Jokowi dan Ahok selama hampir 2 tahun memimpin Jakarta.

Yang pasti mereka yang bisa menaklukan hati pemilih itu kebanyakan adalah bukanlah orang kaya raya atau keluarga keraton tapi malas bersosialisasi dengan rakyat banyak. Bukan Da'i yang hanya datang kalau dikasih uang saku. Atau ulama yang rajin nulis buku tapi miskin spiritual sosialnya. Bukan aktifis yang hanya sibuk onani tentang konsep pemikiran hebatnya  namun hidup bergantung dari donasi orang lain.  Bukan ketua LSM yang hanya sibuk jadi pengamat di mediamassa dan menerima bayaran karena itu. Bukan ekonom / budayawan/ sosiolog/insinyur yang hanya sibuk berceloteh dan menghujat pemerintah tapi miskin tindakan dan tidak pernah bisa mandiri. Mereka yang terpilih  itu adalah orang biasa saja namun dia selalu dekat kepada rakyat dan ikut terlibat dalam karya nyata membantu rakyat tentang bagaimana menyelesaikan masalah keseharian. Tentu itu tidak dilakukan hanya ketika menjelang Pemilu tapi memang sudah menjadi kesehariannya selalu ada untuk orang banyak. Yang pasti mereka ini dimanapun berada selalu menentramkan. Mereka bagian dari rakyat dan akrab lahir batin. Karena itupula demokrasi liberal lambat namun pasti menciptakan kekuasaan berdasarkan kerakyatan yang rasional, dan tentu hanya masalah waktu liberalisme akan tereliminasi dengan sendirinya. Karena demokrasi dan liberalisme ibarat air dan minyak.Tidak akan pernah bersatu. Marx pernah berkata bahwa demokrasi yang sesungguhnya adalah masa depan dari masyarakat komunis dimana kekuasaan akan kembali pada rakyat dan rakyat-lah yang akan mengatur diri mereka sendiri. Ya hanya mereka yang akrab lahir batin dengan rakyatlah yang berhak memimpin dan dipilih...

No comments:

ERA Jokowi, dari 16 target yang tercapai hanya 2

  Realisasi kuartal III-2024, ekonomi nasional tumbuh 4,95%. Konsumsi rumah tangga sebagai pemberi andil terbesar hanya mampu tumbuh 4,91%. ...