Sepertihalnya
cerita dari negeri China. Dari sebuah desa , kepemimpinan terbentuk. Dari sebuah
Desa orang diuji berjalan dititian. Dari sebuah desa orang dikenal , dipuji dan
diasingkan. Hukum komunitas terkecil ini mempunyai hukum alam. Yang baik
dihormati dan yang jahat diasingkan. Budaya terbangun ,ketulusan dijalankan.
Beda sekali dengan dikota. Orang bergerak dalam diam namun penuh curiga dan
awas. Segala kebusukan dan keshalehan bersatu, menjadi semuanya tak jelas
dilihat dengan mata kepala. Dari kumpulan orang orang inilah budaya santun, tulus
, terdegradasi menjadi budaya individualistis. Tapi bagaimanapun Desa tetaplah
memanggil rasa rindu nurani siapa saja untuk menemukan kesejatiannya.
Begitupula
yang dirasakan oleh seorang Salesman bosan mengejar impiannya di Kota. Namun di
Desa dia mendapatkan senyuman dan harapan, yang selama dikota jarang dia
dapatkan. Tak perlu terkejut bila kedamaian dibalas dengan ketulusan untuk
berbuat dapat melahirkan kekuatan diluar akal sehat. Sesorang ini adalah dia.
Diapun akhirnya didaulat menjadi Lurah di Desa. Hanya karena di Desa yang
miskin kepeminpinan tidak memberikan pendapatan berlebih kecuali rasa hormat.
Namun bagi dia, itu adalah segala galanya. Diapun sadar bahwa dia bukanlah
siapa siapa. Hanya salesman di kota. Tak pula pernah mengenyam bangku
kuliah. Namun, itulah dia, yang menyandang predikat sebagai pemimpin dari komunitas
desa miskin.
Mungkinkah
?
Lihatlah
apa yang dilakukannya. Sederhana saja. Dia hanya menggunakan rasa hormat
penduduk desa untuk berbuat menyelesaikan masalah desa sehari hari. Walau usia
masih muda namun status sebagai orang kotaan, sudah cukup membuat rakyat
percaya untuk mengikutinya. Diapun mendidik masyarakat untuk bertanam jagung
dan melupakan soal padi. Jagung ditanam. Panennya tidak dijual mentah tapi
dilumat bersama dengan singkong , maka jadilan bahan baku untuk memenuhi pabrik
di kota pembuat mangkok dan piring. Pemuda itu dapat meningkatkah penghasilan
petani dan akhirnya mampu membeli beras yang sudah terlanjur mahal.
Kesehariannya selalu ada ditengah tengah petani jagung dan singkong. Dalam
perjalanan kekebun , dia selalu mengumpulkan sampah plastik kedalam keranjang. Sesampai
dikebun, tida ada yang dilakukannya. Dia hanya duduk dan besiul sambil
memandang hamparan tanah yang ditanam jagung dan singkong. Petani yang malas ,
bangkit karena rasa malu dihadapan pemimpinnya yang selalu hadir ditengah
tengah mereka. Produktivitas meningkat dan mesin produksi pring dan mangkok
pun semakin meningkat untuk memenuhi pasar. Antara pasar , kota dan desa
menjadi satu kesatuan dan ketergantungan , bukan belas kasihan.
Keberhasilannya
mengundang perhatian Partai. Diapun terpilih sebagai Bupati. Apa yang membuat
dia terpilih ? ternyata karena hobinya mengumpulkan sampah plastic dan akhirnya
diikuti oleh semua rakyat desa hingga desa itu menjadi desa bersih. Partai
menganggap dia orang yang pantas untuk menjaga kota tetap bersih. Padahal
tujuannya mengumpulkan sampah plastic agar tanah tidak tercemar. Ketika dia
jadi bupati. Setiap hari , dalam perjalanan dari rumah kekantor, dia selalu
menyempatkan diri untuk menanam satu pohon disetiap tanah lowong. Tidak ada
rakyat yang berani mengganggu pohon itu karena dia yang tanam, bahkan rakyat
menirunya. Lima tahun dia berkuasa, kota yang gersang, tumbuh menjadi kota yang
sejuk dan penuh bunga. Keberhasilannya , ternyata bukan hanya mengundang
perhatian pemerintah daerah tapi juga pemerintah pusat. Diapun diundang untuk
datang kepusat. Jabatan tinggi sudah menantinya. Tapi ketika itu ditawarkan
kepadanya , dia menolak dan lebih memilih untuk cepat pension. Ketika hal ini
ditanyakan kepadanya , dengarlah jawabannya:
“ Lima belas tahun menjadi pemimpin , usia saya serasa bertambah 1000 tahun.
Selama itupula saya tidak pernah menikmati yang seharunya saya nikmati. Apa
itu, ? waktu!. Setiap hari , 18 jam waktu saya terpakai untuk mengabdikan diri
kepada rakyat. Sehingga saya lupa tanggal ulang tahun istri saya. Lupa kapan
terakhir saya mendapatkan bayi kedua saya. Saya lupa menjahit jas saya yang
robek. Menjadi pemimpin itu ,bagaikan hidup diatas bara. Setiap detik, bukanlah
hal yang menyenangkan. Kalau anda ingin memberikan hadiah kepada saya , maka
biarkanlah saya menikmati pension saya dengan damai. Jangan pernah berpikir
sayalah yang terbaik karena kehidupan tidak akan pernah berhenti hanya karena
ketidakadaan saya. Kita hanya butuh satu keyakinan, beri kesempatan kepada siapa
saja untuk berbuat karena nuraninya, dan
karena cinta untuk semua “
Mungkin
banyak pemuda di negeri ini yang mempunyai kemampuan seperti cerita anak muda
diatas. Salah satunya adalah Jokowi dengan keberhasilannya memimpin kota Solo dan Ahok di Belitung.
Walau system politik negeri ini tidak memberi peluang pengabdi rakyat untuk
memimpin melainkan pengabdi Partai. Namun Jokowi dan Ahok mampu memadukan
ketiga hal dalam Politik yaitu kekuasaan
, aturan dan keteladanan. Ketiga hal itu bertumpu kepada kerendahan hati, kesederhanaan. Tak ubahnya seperti Ahmadinejad ketika memimpinTeheran. Bahwa kekuasaan tanpa moralitas adalah Penjahat, Aturan
tanpa keadilan adalah penjajahan, Retorika tanpa keteladanan akhlak adalah Penipuan. Bagi mereka kekuasaan
adalah politik yang datang karena kebutuhan untuk ” menyelesaikan”. Untuk ”menyelesaikan” bukanlah kemudahan dibalik banyak fasilitas
jabatan yang menempel dalam simbol simbol kekuasaan dan kemewahan. Tapi deretan derita dan
kelelahan untuk ” menyelesaikan”. Bila calon pemimpin menyadari ini maka tentu tidak ada lagi yang berani sombong
karena kekuasaan atau jabatan. Tidak ada lagi yang mau merekayasa Undang Undang
Politik untuk terus berkuasa. Tidak ada lagi fitnah. Tentu tidak adalagi
kelaparan dan kematian karena kemiskinan. Mungkinkah...
No comments:
Post a Comment