Ketika Deng Xiaoping awal berkuasa di China, dia mengumpulkan seluruh cerdik pandai. Yang tersisa diseluruh china hanya 1000 orang. Sisanya mati karena revolusi kebudayaan. Pada waktu itu Deng tak gentar untuk membangun cina walau kas kosong dan banyak industry yang lebih banyak buruh dibandingkan produksi serta 90 % rakyat china hidup dibawah garis kemiskinan. Ketika ditanya, apa modalnya “ Dia jawab Taoism dan Confucianism. “ Komunisme harus berjalan diatas akar budaya china yang berlandaskan kepada Taoism dan Confucianism.
Ketika Iran melakukan revolusi dan menjadikan AS musuh utama, Iran tidak punya apa apa untuk membangun. Ladang minyak warisan Syah Iran tak bisa memompa minyak karena alat alatnya di embaro oleh AS/Barat . Kas Negara hampir kosong karena bantuan dana dari international di embargo, sementara dana keluarga syah di bekukan oleh AS. Khomeini ditanya apa modal Iran untuk membangun ? Jawabnya adalah Al Quran dan Hadith “ Ketika Ghandi melakukan revolusi damai bersama 99% rakyat india buta hurup dan miskin, orang bertanya apa modalnya untuk membangun india ? jawabnya adalah “Agama dan Budaya “ Ketika Indonesia merdeka, 90% rakyat hidup dibawah garis kemiskina. Ketika ditanya apa modalnya untuk membangun ? para pendiri Negara kita menjawabnya “ Agama dan Budaya.”
China, India, Iran, adalah tiga Negara yang berhasil membangun dengan berlandaskan kepada akar ( agama ) dan budaya. Ini disebut dengan istilah geopolitik. Napoleon sebagai pencetus ide nasionalisme pernah mengatakan “ Rezim boleh berganti namun gunung tetap ditempatnya”. Artinya antara rakyat dan agama tidak bisa pisahkan. Fitrah manusia ketika diciptakan Allah diberi software NEED dan untuk mengelola NEED itu diperlukan agama. Agama sebagai akar dan budaya sebagai pohonnya. Tak akan hidup dan tegak pohon itu bila tidak ada akar. Inilah hakikat manusia. Agama berkata , adat memakai, maka jadilah dia sebagai sebuah program yang bernama idiologi. Idiologi inilah yang menjadi indentitias umat dan sekaligus eksistensi manusia sempurna..Bila kesempurnaan itu ada pada manusia maka segala hal didunia ini tidak ada yang sulit. Hanya butuh waktu, proses sunattullah akan berjalan dengan sendirinya untuk pemenuhan NEED itu.
Kesalahan terbesar bangsa kita adalah melepaskan akar ( agama ) dan budaya dalam membangun peradaban. Konsep sekular melalui program demokratisasi, sebetulnya memenggal akar pohon kehidupan . Penghulu kampung , tetua adat , ulama , tak lagi sakti untuk didengar sebagai lembaga publik . Bahkan negara sekalipun tidak boleh terlalu banyak ikut campur soal bagaimana pasar bekerja. Demokrasi ala pasar bebas menjadikan siapapun boleh tampil berkuasa asalkan ada uang. Seleksi alamiah kepemimpinan lewat budaya tak lagi dikenal. Semua sudah ada platform yang baku tentang bagaimana untuk tampil secara instant sebagai pemenang dan terpilih. Dibalik idealisme demokratisasi , kebebasan pasar , gaung etika moral sengaja ditiupkan sebagai pemanis propaganda agar orang percaya. Bahkan mereka yang berada digaris depan penyokong demokratisasi dan kebebasan pasar ini terkesan sangat humbel.
Makanya jangan kaget bila intelektual lulusan AS ,seperti SMI, Budiono, SBY, lain lain merasa neoliberal bukanlah sesuatu ancaman. Karena kalau orang miskin pemaham agama dan budaya ( Geopolitik) , membaca literature dari Milton Friedman , nilai nilai yang ditawarkan sangat ideal bahkan cenderung utopis seperti " kebebasan beragama (freedom of religion), kebebasan berpendapat (freedom of speech), kebebasan kepemilikan (freedom of ownership), dan kebebasan berperilaku (freedom of behavior). Keempat prinsip itu dibungkus etika moral, good governance dan lain sebagainya. Artinya untuk menjalankan keempat prinsip itu diperlukan kekuatan moral sebagai manusia yang free will. Segala efek keburukan dari keberaan keempat prinsip itu ditimpakan kesalahannya kepada rendahnya etika manusia. Tapi mereka lupa justru prinsip kebebasan itulah yang membuat manusia tidak beretika. Namun para pengikut Milton Friedman tetaplah orang yang punya etika tinggi sebagai icon konsep utopis itu.
Perhatikanlah think thank kapitalis itu orangnya berprilaku humble. Tak kurang seperti Lawrence Summers arsitek liberalisasi Financial di AS , Alan G, sebagai think thank pencetus hedge fund yang jadi mesin mendongkrak pasar uang AS dan sekaligus membangkrutkan AS, yang tetap hidup sederhana. Di Indonesia , kita semua lihat bagaimana SMI, Budiono, Dorojatun, dan lain lain. Mereka hidup sederhana. Tapi dampak dari pemikirannya , mereka telah menjadi arsitek pembunuh massal dan daya rusaknya lebih dahsyat dibandingkan korban perang dunia kedua. Anehnya , kita orang Indonesia kebanyakan ( yang masih terikat agama dan budaya) melihat SMI, Budiono, SBY didasarkan kepada citra humble itu. Tidak melihat akibat dari pemikirannya, yang berlandaskan kepada Milton Friedman
Bagaimana merubah haluan negara ? Kalau lewat demokratisasi , keliatanya hampir tidak mungkin bisa muncul pemenang yang akan melakukan restore system. Karena tokoh neolib itu , citranya memang menawan. Pada diri mereka ada wajah surgawi, apalagi lewat kampanye sistematis bermodal besar. Akan muda sekali rakyat bodoh ( mayoritas ) dikibulin untuk memilih mereka. Jadi gimana caranya ? Saya ingat Tan Malaka dalam bukunya Aksi Massa” Revolusi bukanlah suatu pendapatan otak yang luar biasa, bukan hasil persediaan yang jempolan dan bukan lahir atas perintah seorang manusia yang luar biasa. Kecakapan dan sifat luar biasa dari seseorang membangun revolusi, mempercepat atau memimpinnya menuju ke kemenangan, tetapi ia tidak dapat menciptakan dengan otaknya sendiri”. Jadi kehendak Allah jualah nanti yang berlaku. Karena apabila kezoliman itu sudah melampaui batas maka azab Allah akan sampai.
Nah mari kita berdoa seperti Firman Allah “Ya Tuhan kami, Sesungguhnya kami telah mentaati Pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami. Lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar) Ya Tuhan kami, timpakanlah kepada mereka azab Dua kali lipat dan kutuklah mereka dengan kutukan yang besar. (QS Al Ahzab [33]: 67-68)
No comments:
Post a Comment