Monday, July 8, 2024

Rakus.

 



Pembebasan individual tak membuat kesempatan-kesempatan itu akhirnya membebaskan. Itu kata  Hirsch dalam The Social Limits to Growth. Dulu ya dulu saat awal saya berbisnis tahun 80an. Orang punya kendaraan pribadi itu karena dia mampu secara financial.  Reputasi orang diukur dari kendaraannya. Sehingga yang punya kendaraan pribadi hanyalah pengusaha atau pegawai kalangan atas. Jalanan tidak begitu macet.


Tetapi kini leasing memberikan akses kepada siapapun yang qualified berhutang memiliki kendaraan.  Kendaraan  pribadi bukan lagi barang mewah. Demikianlah. Jalanan jadi macet oleh kendaraan. Mereka yang tadinya ingin dapatkan kebebasan dari barang private yang dimilikinya malah engga lagi bebas. Harus buang waktu dan berlelah di jalanan. Belum lagi harus sediakan uang parkir, uang toll, BBM dan stress setiap bulan penghasilannya dipenggal untuk bayar cicilan.


Tingginya index wall street akibat short selling lewat produk derivative.  Bubble asset pun terjadi dan meletus di tahun 2008. Pasar terpuruk dan lembaga keuangan kolap. Sejak tahun kemarin likuiditas di Indonesia mengering. Ekspansi leasing menciut, penjualan kendaraan pun drop diatas 10%. Bukan hanya kendaraan, penjualan rumah juga drop akibat cost of fund yang mahal. Bahkan orang harus menahan belanja kebutuhan sekunder demi memenuhi kebutuhan primer yang terus merangkak naik dan cicilan hutang yang naik akibat suku bunga tinggi.


Tadinya hutang negara terus digali dengan alasan hutang produktif untuk proyek infrastruktur yang akan mendatangkan penghasilan di  masa depan. Nyatanya yang produktif itu tidak mampu meningkatkan pendapatan pajak dari adanya pertumbuhan PDB. Malah BUMN yang dapat penugasan membangun proyek infrastruktur harus diberi PMN untuk menyelesaikan utang yang tak terbayar. Kini Penerimaan pajak kontraksi 7% pada semester 1. Likuiditas SBN semakin mahal, dan Debt service ratio sudah diatas 25%. Tidak ada lagi kebebasan finansial. tentu tidak ada lagi kebebasan belanja populis. Semakin kemari semakin sempit ruang kebebasan fiskal.


Pada awalnya manusia itu sama, tahu diri dan spirit berbagi. Menjadi berbeda ketika manusia rakus, homo homini lupus. Hirsch ada benarnya. Semakin dikejar kebebasan semakin terkurung. Kebebasan finansial lewat berhutang itulah yang menjebak manusia jadi rakus. Berjalannya waktu negara terjebak hutang, rakyat juga. Pada saat dia rakus, tidak ada lagi kebebasan. Semua harus bayar. Kalau ada sumur di ladang, boleh saya menumpang mandi. Itu yang sejatinya membebaskan. Tapi karena rakus, milik bersama tidak ada lagi. Kalaupun itu disebut barang publik,  tetap  saja secara tidak langsung bayar.  No such thing as a free lunch. 

No comments:

izin ekspor sedimen laut

  "Sekali lagi, itu bukan pasir laut ya. Yang dibuka itu sedimen, sedimen yang mengganggu alur jalannya kapal. Sekali lagi bukan, kalau...