Kisah pada zaman ketika kedudukan kepausan sangat strategis. Gereja menjalankan yurisdiksi eksklusif atas berbagai masalah, yang berkaitan dengan standar moral dan sosial. Seperti kejahatan inses, perzinahan, bigami, riba, haram, sumpah dan janji palsu. Juga legitimasi perkawinan dan perceraian, legitimasi anak-anak haram. Semua ini ditangani menurut hukum Gereja. Antara Raja dan Gereja bersenggama. Saling memanfaatkan atau mutual simbiosis. Seperti hubungan Aleksander sang Paus dan Cesare,, yang kekuasaan mereka menjadi inspirasi utama bagi Niccolò Machiavelli dalam karya tulis berjudul The Prince .
Pada tanggal 10 Agustus 1492, Kardinal Rodrigo Borgia dalam usia 61 terpilih sebagai Paus baru. Ia Wangsa Borgia Spanyol-Aragon. Ia naik jenjang karier berkat pamannya, Paus Calixtus III. Dia menyebut nama dirinya Alexander. Upacara penobatannya sangat mewah. Maklum saat itu Gereja pemilik tanah terbesar. Penduduk harus membayar 1/10 dari pendapatan tahunannya. Kalau tidak mau, tanah mereka disita oleh gereja. Saat itu tidak ada yang berani bertanya kemana kekayaan disalurkan. Termasuk tidak ada yang berani bertanya kehidupan seksual para petinggi Gereja. Banyak anak haram lahir dari aksi playboy mereka. Termasuk Cesare, putra dari Aleksander.
Cesare awal berkarir sebagai cardinal berkat Ayahnya. ia mengundurkan diri setelah kematian saudaranya pada tahun 1498. Ia menjabat sebagai condottiero untuk Raja Louis XII dari Prancis sekitar tahun 1500, dan menduduki Milan dan Naples selama Perang Italia. Pada saat yang sama, ia membentuk negara untuk dirinya sendiri di Italia Tengah. Menjadi Caesar Borgia. Cesare dengan dukungan Ayahnya memanfaatkan jaringan paroki yang menjangkau setiap kota dan desa. Karenanya memang efektif sebagai mesin propaganda yang luar biasa kuat. Sejahat apapun cesare, tetap saja dikotbahkan sebagai orang baik dan harus dipatuhi serta dicintai.
Disisi lain Aleksander pun tanpa ragu mengkapitalisasi kekuasaan caesar. Ia semakin tidak peduli dengan apa kata orang ramai. Tanpa malu memperoleh uang suap untuk memberi izin perceraian seorang raja Hungaria, menerima bayaran suap dari 12 kardinal yang ingin dipromosikannya. Putranya Caesar Borgia ada di sisinya menjamin takhta kepausan dari amarah rakyat dan pada waktu bersamaan Caesar juga aman menindas rakyat karena selalu di bela Gereja.
Dalam hal moral, Cesare sama saja dengan Ayahnya, Aleksander. Kalau Ayah nya hipokrit Agama, maka dia hipokrit politik. Ia bisa brutal dan keji, ia bisa cerdik dan culas. Bagaimanapun juga, ia memang penguasa yang tegas dan efektif, dalam menipu, menjebak, dan membinasakan mereka yang menghambat jalannya. Namun ia juga bisa menarik hati rakyat jelata. Semua itu dalam satu jalinan politik kekuasaan dan politisasi agama. Bukan moral dan keadilan yang tegak, tetapi justru kezaliman sistematis.
Tetapi kekuasaan Cesare tidak bertahan lama. Terutama setelah kematian Ayahnya, Alexander. Menurut Machiavelli, ini bukan karena kurangnya pandangan ke depan, tetapi kesalahannya dalam menciptakan paus baru. Dia tidak bisa merebut hati Paus baru itu. Dan ini jadi pelajaran bagi penguasa modern. Setiap Ormas keagamaan besar mengadakan kongres memilih pemimpin baru, selalu penguasa ikut campur menentukan siapa yang pantas memimpin. Dan setelah terpilih, itu akan direbut hatinya dengan jabatan resmi seperti wantimpres atau menteri atau apalah.
Di era sekarang. Tentu Cesare secara vulgar disamakan dengan Presiden Korut. Namun banyak juga penguasa yang lahir dari sistem demokrasi, yang juga kelihatan lembut dan merakyat. Namun lewat UU ITE dan hate speech mengirim orang kritis ke penjara. Memang tidak terkesan kejam namun jelas menimbulkan rasa takut, tapi juga rasa cinta dari rakyat. Antara takut dan cinta, keduanya tetap saja kejam kalau karenanya hidup jadi bokek. Kelakuan elite tak ubahnya dengan Italia abad ke 16. Hedonisme dan tamak.
Agama seperti halnya katolik belajar dari masa gelap Gereja. Mereka berusaha menjauhi kekuasaan dan memilih dekat kepada rakyat Namun agama lain, agama dipolitisir. Mereka harus selalu punya retorika mendamaikan umat yang miskin, agar tidak protes terhadap sistem yang korup. Pada waktu bersamaan mereka mendapatkan rente dari ongkos pilgrim, dari sertifikasi halal, dan menjadi menteri Agama dengan anggaran gigantik. Mereka juga dapat komisi dari pengusaha untuk mengakses IUP dan konsesi lahan, dan tentu donasi tanpa bayar pajak. Agama bukan lagi sepenuhnya soal religius melainkan kekuasaan, dan itu tentu berkaitan dengan uang, harta dan wanita.
Agama dan Politik sulit dipisahkan dalam sistem demokrasi atau monarki. Tokoh agama adalah juga elite politik dari sistem kekuasaan. Kalau terjadi demoralisasi politik, budaya, sosial, itu karena tokoh agama bersenggama dengan penguasa. Sehingga kebenaran dan keadilan di perdagangkan di ruang bisik bisik. imam Al Ghazali berkata“Fasadul ra’yati min fasadul muluk wa fasadul muluki min ulamaissyu’, “Rusaknya Rakyat adalah karena rusaknya pemimpin, dan rusaknya pemimpin itu adalah dari ulama yang buruk (suuk)”.
No comments:
Post a Comment