Ide pembentukan Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu perkembangan pemikiran hukum dan kenegaraan modern yang muncul di abad ke-20. Di Indonesia, berawal dengan diadopsinya ide Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court) dalam amandemen konstitusi yang dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 2001 sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal 7B Undang-Undang Dasar 1945 hasil Perubahan Ketiga yang disahkan pada 9 November 2001.
Mengapa ide itu muncul? dalam sistem demokrasi kan yang berkuasa adalah yang mayoritas. Nah MK ini bertujuan untuk mengontrol produk-produk hukum yang ditetapkan berdasar rule of majority di parlemen. Mengapa tidak MPR saja sebagai majelis tertinggi mengontrol UU.? Masalahnya MPR itu juga adalah anggota DPR. Kan engga mungkin UUD dikendalikan oleh mereka yang mayoritas, yang juga buat UU. Sama saja boong.
Logikanya begini. Negara berdiri berdasarkan UUD, yang disusun berdasarkan idiologi atau falsafah negara. Dalam hal Indonesia dasarnya adalah Pancasila. Ini konsesus berdirinya negara Republik Indonesia. Siapapun yang berkuasa lewat pemilu, dia wajib mematuhi UUD. Namun UUD itu kan bersifat umum dan prinsipil saja. Nah dari UUD inilah lahir beragam UU melalui parlement. Lantas apa jadinya kalau UU dibuat parlemen bertentangan dengan UUD. Kan bisa kacau negeri ini. Atau presiden yang menguasai mayoritas parlement lewat koalisi. Dia seenaknya tabrak UU yang sesuai dengan UUD.
Begitulah dasar pemikiran atau philosofi berdirinya lembaga Mahkamah Konstitusi (MK). Apa tujuannya?. sebagai lembaga independent peradilan konstitusi atau bagian dari lembaga Yudikatif dalam sistem demokrasi yang menganut trias politica. Apa jadinya kalau dalam proses pengambilan keputusan itu, Hakim tidak lagi independent? Dipengaruhi faktor kepentingan politik atau suap. Kan bahaya menjadikan satu lembaga super body tanpa ada kontrol dari lembaga lain.
Tidak perlu kawatir. UUD kita smart menjawab tantangan zaman. Harap dicatat bahwa diperlukannya Mahkamah Konstitusi di Indonesia yaitu untuk mewujudkan negara hukum yang demokratis. Walau keputusan MK itu bersifat final dan binding namun kalau dinilai keputusan MK itu justru bertentangan dengan UUD 45 atau proses pengambilan keputusan korup, masyarakat sebagai kekuatan civil society berhak menggugat MK. Artinya rakyat sendiri yang secara langsung mengawal konstitusi itu dari segala niat buruk, baik tersurat maunpun tersirat
Siapa yang akan mengadili keputusan MK itu? Pasal 27A ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK), yang berhak adalah Majelis Kehormatan MK (MKMK). Nah MKMK ini dibentuk oleh MK sendiri. Bukan pemerintah atau DPR. Anggota MKMK berjumlah tiga orang yang terdiri dari 1 (satu) orang Hakim Konstitusi; 1 (satu) orang tokoh masyarakat; dan 1 (satu) orang akademisi yang berlatar belakang di bidang hukum.
Jadi sebenarnya yang mengawasi MK itu adalah masyarakat sendiri atau civil society, bukan lembaga politik atau pemerintah. Tentu civil society yang dimaksud mereka yang terpelajar, bukan kelas pengamat, apalagi mereka yang tidak mengerti hukum. Nah, dalam Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023, ada sebanyak 16 guru besar dan pengajar hukum tata negara (HTN) dan hukum administrasi negara yang tergabung dalam Constitutional and Administrative Law Society (CALS) melaporkan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman ke Majelis Kehormatan MK (MKMK).
Kita akan lihat nanti. Kalau ternyata Anwar Usman dinyatakan oleh MKMK benar atau tidak melanggar kode etik, maka bisa jadi berlanjut ke ranah politik.Ini bahaya. Bisa chaos politik. Karena kekuatan civil society dilumpuhkan oleh kekuatan politik kekuasaan. Semoga MKMK bisa bebas dan independent dari pengaruh politik kekuasaan sehingga stabilitas politik bisa terjaga dan wacana dari anggota DPR (PDIP) untuk menggunakan hak angket tidak perlu dilanjutkan.
No comments:
Post a Comment