"Di sini ada kekeliruan dan kekhilafan dari tim kami yang melakukan penangkapan, oleh karena itu kami dalam rapat tadi sudah menyampaikan kepada teman-teman TNI, kiranya dapat disampaikan kepada Panglima TNI dan jajaran TNI atas kekhilafan ini," ujar Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Johanis Tanak saat konferensi pers di Gedung KPK Jakarta, Jumat (28/7/2023). "Pada intinya kami, apa yang disampaikan Panglima, sebagai TNI harus mengikuti ketentuan hukum dan taat kepada hukum. Itu tak bisa ditawar, dan bisa kita lihat siapa pun yang bersalah ada punishment-nya. “ Nah tahu artinya? KPK melaksanakan hukum tapi tidak taat hukum. Mengapa ?
Sesuai UU merujuk pada Pasal 10 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman disebutkan ada empat peradilan, yakni peradilan umum, peradilan militer, peradilan tata usaha negara, dan peradilan agama. ”Peradilan militer khusus anggota militer. Ketika melibatkan militer dalam perkara sipil, maka (penegak hukum) sipil harus menyerahkan kepada militer,” Kata Komandan Pusat Polisi Militer TNI Marsekal Muda Agung Handoko . Jadi aneh saja kalau sampai KPK tidak tahu aturan ini. Dan begitu beraninya umumkan tersangka lewat media massa tanpa ada hak menentapkan tersangka.
“Engga usah sekolah tinggi untuk tahu bahwa KPK berpolitik. “ kata teman. “ Engga mungkin khilaf. Kalau tidak ada pesanan politik, tidak mungkin KPK berani. Bisa jadi KPK melaksanakan agenda politik untuk menekan TNI dalam konstelasi politik menuju 2024.. Dan lupa bahwa TNI itu tidak tunduk dan patuh kepada Pemerintah. TNI itu alat politik negara, bukan alat presiden dan bukan alat partai. Kesetiaan TNI kepada UU, bukan kepada lembaga kekuasaan. Bukankan itu yang kita inginkan ketika UU TNi disahkan. Agar TNI tidak berpolitik. “ Lanjut teman.
Kalau melihat perbedaan data survey antara Ganjar, Prabowo dan Anies, memang tidak ada satupun calon mendapatkan elektabilitas diatas 50%. Jadi peran TNI sangat menentukan pada Pemilu 2024. Maklum jaringan TNI, Babinsa ada diseluruh indonesia sampai ke daerah terisolir dan pulau terluar. Hanya mereka yang punya infrastruktur untuk mengamankan kota suara dari desa, kecamatan, kabupaten sampai ke KPUD. Karenanya wajar saja ada upaya untuk menekan TNI agar masuk arus politik.
“ Tapi menurut saya, caranya kampungan. “ kata teman. “ Emang mereka pikir siapa mau atur peran TNI. Gus Dur yang didukung umat islam aja milih lengser suka rela. Hanya karena TNI tidak mau backup konflik politik lembaga presiden dan DPR. “ Lanjut teman. Mending semua partisan menuju 2024, focus perkuat barisan internal dan akar rumput. Bertarung ajalah secara fairplay. Engga usah bikin suasana politik jadi gaduh, apalagi bikin TNI tersinggung
***
20 tahun lalu, tepatnya pada 3 Juli 2003, terjadi peristiwa Bawean. Lima pesawat tempur F-18 Hornet Angkatan Laut AS melintasi perairan Indonesia di atas Pulau Bawean, Jawa Timur. Kelima F-18 Hornet direspons dengan pengerahan dua jet tempur F-16 milik TNI Angkatan Udara. Dua F-16 ini yakni Falcon 1 TS-1603 dengan kru Kapten Ian/Kapten Fajar dan Falcon 2 TS-1602 dengan kru Kapten Tonny/Kapten Satriyo.
Pada pukul 17.25, Falcon 1 terlibat manuver jarak dekat dengan dua F-18 Hornet karena mereka mengambil posisi menyerang dan posisi Falcon 1 terancam. Falcon 2 mengambil posisi sebagai support fighter. Falcon 1 melihat satu kapal fregat Angkatan Laut (AL) AS berlayar ke arah timur. Dengan ketenangan tinggi, dua penerbang tempur TNI melakukan rocking the wing untuk menyatakan bahwa Falcon 1 tidak mengancam. Namun dengan tegas minta kepada 5 pesawat tempur AS itu keluar dari perairan Indonesia. Tanpa banyak tanya, 5 pesawat tempur AS itu keluar.
Anda bisa bayangkan. Tanpa perhitungan inteligent dan skill prima, kepemimpinan nasional yang kuat, mana mungkin panglima TNI begitu berani perintahkan dua pilot tempurnya berhadapan dengan 5 pesawat tercanggih milik AS negara adidaya. Teman saya cerita, Megawati marah besar ke AS soal kasus Bawean itu. Desember 2003, Megawati keluarkan IMF dari Indonesia. Padahal paska kejatuhan Soeharto, kontrol AS terhadap Indonesia dilakukan lewat IMF. SBY melanjutkan kebijakan Megawati dengan melunasi hutang ke IMF.
Di Hotel Syahid tahun 2003 saat RUU TNI akan diajukan ke DPR, saya diskusi dengan teman. Tuntutan demokrasi untuk mereformasi TNI tidak bisa menjadikan TNI sebagai domain publik yang harus tunduk dengan sistem keterbukaan. Suka tidak suka, posisi Indonesia itu sangat strategis diantara kepentingan global. Maklum Indonesia berada di kawasan equatorial. berada di antara Benua Asia dan Benua Australia, di antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. 2/3 reute perdagangan dunia melintasi perairan Indonesia.
Apalagi dalam dunia yang terbuka sekarang, terutama bagi negara demokrasi, kerahasiaan sistem pertahanan militer satu negara tetap dipertahankan. KPK dan BPK tidak bisa masuk ke sistem anggaran level 3 di TNI. Karena perang terbuka mungkin saja tidak se ekspansif era sebelumnya. Tapi perang proxy terus terjadi. Bayangkan saja. Kalau sistem demokrasi memberikan hak kepada sipil untuk tahu isi perut Militer, bisa saja informasi penting tentang kekuatan militer diketahui asing. Data dan informasi itu bisa saja menekan kekuatan diplomasi sipil dalam hubungan regional dan international.
Buah kecerdasan pendiri bangsa ini adalah konstitusi politik bebas aktif. Sehingga Indonesia bisa terus mempertahankan geopolitiknya tanpa terjebak dengan kekuatan Barat dan Timur atau Utara Selatan. Walau geopolitik kita bersinggungan dengan geostrategis negara besar lainnya tapi pemimpin kita sejak era Soekarno sampai Jokowi bisa mengkapitalisasi geostrategis negara lain itu untuk kepentingan nasional.
Demokrasi bukan berarti hegemoni sipil terhadap militer. Suka tidak suka, sistem politik kepartaian belum mampu mendidik kader yang negarawan dan bela negara dalam konstelasi politik global terutama menghadapi perang asismentris. Adalah konyol memberikan peluang sipil sangat besar mengendalikan militer. Itu bukan saja merugikan demokrasi tetapi juga merugikan kepentingan nasional. Pahami itu
No comments:
Post a Comment