Saya memilih Jokowi tahun 2014. Tentu ada alasan. Ada tiga alasan saya. Apa itu ? Pertama. Saya punya keyakinan bahwa indonesia akan lebih baik di tangan presiden yang tidak terikat dengan orde baru. Kedua, PDIP mengusung Jokowi tanpa melibatkan Golkar. Yang dihadapi adalah Prabowo dari Garindra, Semua tahu bahwa Prabowo ex fungsionaris Golkar dan ex menantu Soeharto. Ketiga. Jokowi akan melaksanakan program Nawacita, yaitu Indonesia centris. Ini penting soal keadilan distribusi APBN ke seluruh Indonesia. Tidak hanya Jawa.
Tahun tahun awal kekuasaan Jokowi. Pendapatan, dikurangi pengeluaran ( tidak termasuk bunga), defisit. Jadi udah insolven negara saat diserahkan oleh SBY ke Jokowi. Itu juga bisa dimaklumi. Karena imbas krisis Lehman tahun 2008, dampaknya baru terasa 5 tahun kemudian atau tahun 2013. Tahun akhir kekuasaan SBY. Tapi setelah tahun 2013 sebagai rely dari crisis Lehman, harga crude oil juga jatuh di pasar dunia sampai tahun 2021. Bukan hanya crude termasuk juga batu bara. Harga CPO stabil pada titik rendah margin.
Dengan situasi defist keseimbangan primer itu, Jokowi melakukan langkah kebijakan yang berani. Pertama, dia menghapus subsidi BBM dan pada waktu bersamaan mengalihkan subsidi ke sektor infrastruktur Ekonomi. Saya senang. Karena sekian lama masalah infrastrukur sangat kurang perhatian. Kedua, anggaran pembangun infrastruktur diarahkan sebagian besar lewat PINA ( pembiayaan investasi Non Anggaran). Jadi tidak menambah beban hutang negara.
Sejak tahun 2014 saya aktif membela program Jokowi lewat tulisan saya di Blog. Mengapa? Di tengah gencarnya pembangunan infrastruktur itu, sistem check and balance bekerja efektif antara DPR dan Pemerintah. Karena koalisi pemerintah di DPR minoritas. Jadi para menteri Jokowi setiap rapat kerja habis dikritik oleh DPR. Kalau mereka salah, ya dihajar habis oleh DPR. Ini sangat membantu proses pembangunan kearah yang lebih baik. Belum lagi lewat sosial media, oposan terus kritik tanpa jeda. Jokowi tetap focus dengan agenda Indonesia hebat. Tahun 2015 sampai dengan 2018 Index korupsi kita membaik. Investasi asing (FDI) meningkat.
Tapi tahun 2016 koalisi merah putih bubar dan sebagian besar mereka bergabung ke koalisi indonesia hebat, koalisi Pemerintah. Sejak saat itu tekanan kritik DPR terus berdengung. Namun setelah tahun 2018, koalisi sudah benar benar cair bersama pemerintah. Saat itulah arah kebijakan mulai dibonsai. Subsidi pupuk jadi sumber bancakan daerah. Industri bahari tadinya udah bergairah, jadi loyo lagi. Karena menteri perdagangan membolehkan kapal asing mengangkut komoditas Indonesia.
Pada waktu bersamaan, oposan satu demi satu berurusan dengan Polisi, Kritik jadi stigma radikalis dan anti NKRI, anti Pancasila. Sama seperti era Pak Harto, yang kritik dapat stigma PKI. Lambat namun pasti proses stigma itu mematikan kritik. Kekuasaan presiden sudah sepenuhnya dikuasai oleh koalisi di parlemen. Banyak program B2B, berujung jadi G2G agar mudah dibancaki. APBN semakin longgar memanjakan BUMN lewat PMN yang jor joran.
Saya sudah mulai kawatir. Tapi Jokowi menjawab “ periode kedua saya sudah nothing to lose. “. Ok saya masih berharap pada periode kedua Jokowi akan keluarkan taringnya. Kembali kepada jatidirinya sebagai wong cilik. Tahun 2019 saya kembali pilih Jokowi dan mendukungnya dalam kampanye lewat sosial media. Setelah Jokowi memenangkan Pilpres. Janji Jokowi nothing to lose ternyata tidak nampak. Dia semakin dikuasai koalisi pemerintah. Tidak lagi seperti Jokowi awal saya kenal. Tahun 2022, Skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) mengalami penurunan drastis ketimbang tahun sebelumnya. Skor IPK yang dikeluarkan oleh Transparency International Indonesia tersebut memiliki nilai 34 yang mana menurun sebanyak empat angka dari tahun sebelumnya yaitu 38. Dampaknya FDI terus turun tidak bisa melewati angka tahun 2014.
Walau begitu besar dana APBN digelontorkan untuk pembangunan infrastrutkur, ternyata tidak memperbaiki Index Logistik. Itu karena ICOR diatas 6. Sangat tidak efisien. Malah semakin besar utang. Kontribusi Industri terhadap PBD terus turun, menuju deindustrilisasi. Walau ada windfall akibat harga komoditas naik dipasar dunia, penerimaan pajak juga rendah, dibawah dua digit.. Bahkan devisa parkir di luar negeri. BI terpaksa tetap gunakan Repoline the fed untuk menjaga likuiditas Cadev. Indonesia centris sebagai program nawacita sudah runtuh sejak tahun 2022 proyek kereta cepat Jakarta Bandung ditanggung APBN. Bukan lagi B2B.
Saya tidak pernah berhenti kritik dan mengingatkan Jokowi. Tapi kekuatan koalisi membuat jabatan presiden dibonsai. Bagaimanapun, saya tidak menyesal memilih Jokowi. Saya sadar dia pendatang baru dalam politik nasional. Dia tidak terlatih berani seperti ibu Mega melawan rezim Soeharto. Kekuasaan membuat dia bukan siapa siapa di hadapan koalisi pemerintah dan oligachi. Hanya simbol negara yang selalu dekat kepada rakyat.
No comments:
Post a Comment