“ Kita sebagai rakyat dalam sistem politik hanya disodori daftar menu saja. Setelah kita pilih menu, yang masak tetap aja partai. Ya kita harus terima enak atau tidak enak menu itu. Kok rasa camcay beda. Kok rendang rasanya engga pedas. Engga bisa protes. Terima saja. “ Kata saya kepada istri ketika dia bertanya menjelang tidur. Itu cara sederhana saya menjelaskan mengapa kok Jokowi tidak seperti harapan kita. Kenapa niat baik Jokowi mudah sekali dijegal dalam prakteknya.
Sistem kekuasaan kita itu berfocus kepada kekuasaan partai. Engga percaya? hak memilih calon legislatif itu ada pada partai. Sehebat apapun anda, kalau partai tidak masukan anda dalam daftar caleg, ya tinggal mimpi doang. Hak menentukan siapa yang layak jadi kepala daerah dan gubernur, ada pada Partai. Artinya, nasip ada jadi pemimpin kelas daerah ditentukan partai. Begitu juga siapa yang layak jadi presiden, ya hanya partai yang menentukan dia pantas atau tidak dicalonkan.
Ya tentu ada standar normatif yang ditetapkan partai siapa yang layak diusung atau tidak. Namun standar normatif itu dikalahkan oleh politik uang. Walau anda tidak jelas kompetensinya sebagai orang yang hikmat bijaksana sesuai nafas sila ke 4, namun kalau anda bawa duit ya anda sudah pasti dicalonkan. Bahkan walau anda bukan kader partai dari akar rumput, itu akan mudah saja dicalonkan partai asalkan ada uang. Juga bukan rumor bila antar partai berburu publik pigur diluar kader partai untuk dicalonkan.
Engga percaya? setiap kebijakan presiden harus patuh kepada UU dan UUD. Siapa yang buat UU/UUD itu? ya partai. Perhatikan. Sebelum RUU itu masuk pembahasan komisi di DPR/D dan rapat paripurna, harus lebih dulu lolos Bamus ( Badan Musyawarah). Bamus ini badan tetap di DPR, yang sangat berkuasa menentukan aturan main dan agenda DPR. Siapa anggota Bamus ini? ya semua wakil dari partai yang dapat suara dalam caleg. Share mereka dalam Bamus ini ditentukan dari suara perolehan mereka.
Bamus ini sangat elitis karena anggotanya punya kontak langsung dengan pimpinan partai. Setiap hari mereka hotline dengan boss partai. Mereka harus jalankan arahan boss. Kalau ada anggota yang nolak, ya bisa di PAW kan. Penyebabnya bisa macam macam, Partai punya instrument dan sumber daya untuk singkirkan mereka. Kok bisa ? lah itu mereka yang ada di KPK, BPK, bahkan jaksa agung pasti terhubung dengan partai. Kalau engga, mana bisa mereka terpilih oleh presiden dan DPR. Pastilah mereka patuh kepada partai.
Selama ini publik terfocuskan kepada pigur capres. Padahal walau akhirnya pigur itu terpilih sebagai presiden, tetap saja tidak efektif melaksanakan misinya sesuai dengan agendanya yang dia jual pada waktu kampanye. Mengapa ? walau kita menganut sistem presidentialisme namun distribusi kekuasaan dalam trias politika, membonsai itu. Tetap saja yang berkuasa sebenarnya adalah Partai. Dan gimana kalau partai bersenggama dengan pengusaha? Ya selesai dah urusannya. Apalagi faktanya tidak ada partai yang menguasai suara mayoritas di DPR. Kartu para partai itu ya di cak oleh pengusaha. Outputnya ya kepentingan pengusaha.
No comments:
Post a Comment