Awal Jokowi berkuasa tahun 2015, dia sudah tahu PR besar bangsa ini. Yaitu ketidak adilan lahan. 71 persen hutan Indonesia dikuasai perusahaan. Sebanyak 22 juta hektare tanah perkebunan dikuasai pihak swasta serta negara. Gini rasio pertanahan saat ini ( 2017) sudah 0,58. Artinya, hanya sekitar 1 persen penduduk yang menguasai 58 persen sumber daya agraria, tanah, dan ruang.
Mengacu data Badan Pertanahan Nasional, 56 persen aset berupa properti, tanah, dan perkebunan dikuasai hanya 0,2 persen penduduk Indonesia. Bayangin aja, 25 grup usaha besar menguasai 5,1 juta hektar lahan kelapa sawit di Indonesia. Itu baru sawit, belum lagi tambang, HPH, HTI. Sebegitu besarnya sumber daya yang dikuasai korporat. Kerakusan korporat juga berperan besar terjadinya bisnis rente pada sektor migas. Akibatnya ketimpangan kaya dan miskin sangat lebar. Rasio GINI juga bersumber dari ketidak adilan mengakses sumber daya keuangan. Bahkan sebagian besar kredit bank BUMN diberikan kepada korporat.
Di era Jokowi, satu demi satu dibenahi. Tahun 2015 dilakukan moratorium pembukaan lahan sawit. Tahun 2016 Jokowi minta agar KPK dan BPK melakukan audit secara menyeluruh terhadap tambang. Apakah BPK dan KPK kerja ? KPK hanya menemukan ketidak patuhan penambang membayar iuran, royalti, jaminan reklamasi, dan pajak sebesar Rp2,8 triliun. Itupun tidak ada hukum paksa bayar. Hanya jadi catatan piutang negara kepada korporat. Setelah itu diam. Kita engga pernah dengar pengusaha tambang ke OTT KPK atau dijadikan pesakitan oleh Kejaksanaan agung. Padahal sudah ada UU Tipikor.
Pada tahun 2019, Pusat Edukasi Antikorupsi atau Anti-Corruption Learning Center (ACLC) mencatat ada 10 ribu izin ( Tambang Umum dan kecil ). Tahukah anda? yang punya NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) kurang lebih 3-4 ribu. Bayangin, 10 ribu izin, yang bayar pajak kurang dari 4 ribu. Ke mana pergi sisanya?ya ke oknum PEMDA. Karena Pemda punya hak keluarkan izin tambang dibawah 100 hektar. Penambang kecil jumlahnya massive dan sulit dikendalikan patuh kepada lingkungan hidup. Mereka jadi sumber uang bagi Lurah, camat, dan Pemda, termasuk preman. Membuat tempat prostitusi jadi laris manis.
Masalah bangsa ini banyak sekali. Jokowi engga mungkin menjangkau semua. Dia hanya focus kepada yang bisa dia jangkau. Dan itu yang besar besar saja. Seperti kasus Petral, tuntas. Kasus Impor gas sekarang sedang berproses. Tugas Ahok sebagai preskom Petamina untuk menuntaskan. Cara jenial menghentikan kerusakan hutan Kalimantan, adalah dengan memindahkan Ibukota Ke Kaltim. Dengan demikian masalah kerusakan alam kalimantan menjadi political will negara untuk dituntas secara menyeluruh. Itupun tidak mudah. Karena para pengusaha yang ada di ring kekuasaan presiden, Itu seperti racun. Yang diluar jadi virus. Sementara APBN masih bergantung 80% dari pajak korporat.
Sulit memang. Apalagi negeri sebesar indonesia ini masih belum tuntas mendefinisikan idiologi pancasila dalam bentuk UU. RUU HIP ditolak oleh elite. Bayangin aja. Kalau persepsi Idiologi Pancasila tidak jelas, maka sulit hukum jadi panglima. Yang ada tetap saja politik jadi panglima. Pembiaran menjadi permissive sebagai sebuah kompromi politik. Yang korban ya rakyat…
Saya percaya Jokowi dan saya paham betapa berat amanah dipundaknya. Saya juga tidak berharap banyak. Ibarat kerja, Jokowi melakukan mission impossible. Karenanya, sedikit saja ada perbaikan, itu sudah alhamdulillah..Mengapa ? itu artinya kita sedang berproses kearah lebih baik. Selanjutnya diperiode kedua ini, saya hanya berdoa semoga kita tidak kehilangan harapan untuk terus mendukung Jokowi melakukan perubahan dan membenahi bangsa ini. Tetap semangat YMP. You are not alone…
***
Banjir besar di 10 kabupaten Kalsel
Menurut catatan Walhi, 50 persen dari luas Kalimantan Selatan yang mencapai 3,7 juta hektare sudah dibebani oleh izin tambang. Kemudian 33 persen oleh izin perkebunan sawit dan 17 persen untuk Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hak Tanaman Industri (HTI). Tapi tahukah anda? begitu besar sumber daya dikelola oleh korporat, namun PAD 4 provinsi di kalimantan, berdasarkan data dari BI 2019, berjumlah Rp 11 Triliun atau 75.25% dari APBD sebesar Rp 15 triliun. Bayangkan, ketimpangan ketidak adilan. Bandingkan saja dengan DKI, PAD 2020 Rp 57,56 triliun.
Penguasaan tambang , kebun sawit, HPH dan HTI, izin diberikan oleh rezim Soeharto dan terbanyak era SBY, khususnya waktu Menteri dari kehutanan dijabat oleh Zulkifli Hasan dari PAN dan Menko perekonomian, Hatta Rajasa juga dari PAN. Di era Jokowi, ada kebijakan moratorium HTI, HPH, Kebun Sawit dan IUP batubara. Jadi tidak ada izin baru massive di era Jokowi. Hanya melanjutkan izin yang sudah ada. Kalaupun ada kecil sekali. Apalagi ada kebijakan larangan ekspor mentah minerba dan sawit, investasi disektor tersebut stuck. Focus kepada nilai tambah.
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) menganalisis penyebab banjir yang merendam ribuan bangunan di Kalimantan Selatan. Hasil analisis itu menunjukkan adanya curah hujan tinggi dan turunnya lahan luas hutan primer atau deforestasi. Curah hujan memang luar bisa tinggi sekali. Terbesar sejak 50 tahun. Deforestasi penyebab utama sehingga curah hujan yng tinggi tidak bisa menyerap air. Mengutip data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kalimantan mencatat angka deforestasi tertinggi dibanding pulau lain dalam kurun waktu 2017-2018. Angkanya mencapai 128,2 ribu hektar (netto).
Selama ini pusat menarik sebagian besar pendapatan SDA Kalimantan. Sudah saatnya pusat berperan besar menyelamatkan rakyat kalimantan dari bencana alam. Bayangkan saja PAD 4 provinsi di kalimatan hanya 20% dari PAD DKI. Ini tidak adil. DKI saja PAD sebesar itu tidak sanggup mengatasi banjir. Apalagi empat provinsi di kalimantan dengan PAD secuil harus menanggung dampak dari kerusakan lingkungan akibat pengurasan SDA oleh korporat yang dapat konsesi dari pemerintah.
Kepada Pak Jokowi , jadikan bencana alam ini momentum untuk membenahi kalimantan. Apalagi ibukota akan pindah ke kalimantan. Kerusakan lingkungan di Kalimantan sudah sangat serius pak. Audit semua pemegang konsesi tambang, kebun , HPH, HTI. Pastikan mereka tanggung jawab. Atau batalkan izin mereka. Rakyat kalimantan butuh keadilan pak..
No comments:
Post a Comment