Teman saya sempat menampakan kekawatiran tentang kencangnya ekspansi BUMN yang berdampak meningkatnya utang. Saat sekarang total utang BUMN sudah mencapai Rp 4.800 triliun. Untuk lebih jelas persoalan utang ini , baiknya kita lihat secara menyeluruh agar tidak sampai pada satu kesimpulan yang subjectif seakan akan utang itu merupakan kesalahan. Sebelumnya saya ingin tegaskan pendapat saya bahwa utang BUMN itu adalah utang bisnis dan pasti telah mengikuti standar kepatuhan bisnis yang layak. Tanpa itu , tidak mungkin BUMN mendapakan sumber dana untuk berhutang. Mari perhatikan data sebagai berikut.
Dari mana sumber utang itu ? Data tahun 2017 kwartal 1, financial public corporation debt ( utang ke publik ) senilai Rp3.496,12 triliun. Kalau kita bedah lagi utang kepada publik sebesar Rp. 3.496,12 itu maka data bulan desember 2017 menunjukan sebesar Rp. 2500 triliun adalah utang bank BUMN yang merupakan dana deposan atau dana pihak ketiga (DPK). Sisanya adalah utang kepada publik oleh BUMN bukan bank. Sementara utang kepada lembaga pembiayaan ( non-financial public corporation debt) senilai Rp595,6 triliun. Jadi utang kepada lembaga pembiayaan hanya sebesar 12% dari total utang BUMN.
Apa artinya data tersebut ? Utang BUMN itu merupakan aksi korporat murni melalui pasar obligasi dan pasar uang ( DPK) yang sebagian besar tidak dijamin negara. Apakah itu menjadi resiko bagi pemerintah ? Berdasarkan pelaksanaan riil, dari sekitar 245 Proyek Strategis Nasional (PSN) yang dipercepat oleh pemerintah di bawah komando Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP), masih sangat sedikit yang dijamin pemerintah. Sejauh ini, tercatat dua BUMN yang mendapat fasilitas penjaminan pinjaman tersebut yakni PT PLN (Persero) terkait proyek listrik 35.000 MW dan PT Hutama Karya (Persero) terkait proyek pembangunan jalan tol Trans Sumatra. Dan lagi rasio penjaminan itu hanya 6% dari PDB atau masih dibawah pagu UU sebesar 10%.
Mengapa saya sebutkan aksi korporat ? karena penarikan utang itu merupakan bagian dari operasi perusahaan yang harus tunduk dengan standar kepatuhan yang ditetapkan oleh OJK. Kalau melanggar jelas aksi korporat itu akan dilarang oleh OJK sebagai pengawas pasar obligasi utang. Sementara pinjaman kepada lembaga hanya 12 % dari total utang BUMN. Itupun harus mengikuti standar kepatuhan perbankan. Syarat untuk mendapatkan pinjaman dari publik ( pasar uang dan obligasi ) dan non publik , harus memenuhi standar bahwa perusahaan punya value. Apa ukuran value itu ? Pertama, Rasio struktur permodalan yang sehat. Kedua, Tingkat pengembalian asset sesuai standar rasio bisnis. Ketiga Kapasitas perusahaan. Keempat tingkat laba yang dicapai. Rasio struktur permodalan ( DER) ini walau syarat nomor satu namun tidak menjadi satu satunya syarat. Katakanlah DER nya 60 % tapi rasio lain mendukung ya tetap layak narik utang. Ada berbagai skema pembiayaan yang bisa mensiasati masalah DER ini sehingga secure menarik utang.
Bagaimana kinerja BUMN selama era Jokowi ? dari utang yang ditarik itu, capaian yang diraih berdasarkan laporan Kementerian BUMN, profit naik 30 persen dalam 3 tahun terakhir. Sepanjang 2017, BUMN melalui 143 perusahaannya mendapatkan keuntungan Rp 187 Triliun. Jumlah tersebut pun surplus Rp44 Triliun bila dibandingkan tahun 2014 laba sebesar Rp143 Triliun. Peningkatan keuntungan BUMN pun berbanding lurus dengan penyusutan kerugian. Bila pada tahun 2016 BUMN yang merugi sebanyak 26 BUMN. Pada 2017 lalu, hanya 12 BUMN saja yang mencatat kerugian sebesar Rp5,2 Triliun. Kalau semua BUMN merugi , maka tidak mungkin dapat menarik pinjaman sebesar lebih dari Rp. 4000 triliun. Mana ada kreditur yang bego.
Gimana dengan peningkatan asset ? Terjadi pertumbuhan aset hingga 60 persen sampai tahun 2017. Pada 2017 jumlah total aset yang dimiliki BUMN berjumlah Rp7.200 Triliun. Bandingkan tiga tahun lalu, aset BUMN ini berada di level Rp 4.500 Triliun pada 2014. Kalau asset BUMN itu dijual kepada asing maka kapasitasnya akan turun dan tidak mungkin bisa menarik utang dalam jumlah diatas Rp 4000 triliun. Semakin tinggi utang tentu semakin tinggi kapasitas ( asset ). Darimana kapasitas meningkat ya dari Laba. Bagaima mengetahui kualitas asset ? yang dari rate ROA. Semakin tinggi rate ROA semakin layak menarik utang. Makanya uang selalu ada selagi ada proyek.
Jadi kalau anda menuduh BUMN utang besar, jangan pula anda bilang BUMN dijual. Karena opini ini sangat konyol. Mengapa ? kalau aset dijual maka kapasitas akan turun dan tidak mungkin bisa tarik utang besar. Kalau terjadi pelepasan asset itu bukan dijual tapi aksi korporate dalam rangka ekspasi menerapkan financial engineering. Yang dilepas itu adalah konsesinya, bukan asetnya. Kalau ada bilang BUMN akan kena jebakan utang. Itu juga konyol. Mengapa ? Sebagian besar utang itu berasal dari publik yang standar kepatuhannya sangat ketat dan rumit. Kalau syarat kepatuhan tidak bisa dipenuhi maka tidak mungkin dapat menarik utang. Masih kurang paham?
Mari kita ambil contoh 6 BUMN kontruksi. Enam BUMN besar tercatat memiliki utang (liabilities) Rp 291,7 triliun pada kuartal I 2018 atau tumbuh 68% dari periode yang sama tahun sebelumnya Rp 173,2 triliun. Keenam BUMN itu, yakni PT Jasa Marga (Persero) Tbk, PT Adhi Karya (Persero) Tbk, PT Wijaya Karya (Persero) Tbk, PT Waskita Karya (Persero) Tbk, PT Hutama Karya (Persero), dan PT PP (Persero) Tbk. Nah kinerja yang diraih atas utang tersebut pada kuartal I-2018 aset enam BUMN tercatat Rp 385,47 triliun atau tumbuh 53% dibanding kuartal I tahun sebelumnya Rp 251,25 triliun. Kemudian, labanya naik 92% dari Rp 1,59 triliun menjadi Rp 3,07 triliun. Dengan kinerja seperti itu, jelas membuat fund manager melihat mereka seperti melihat cewek size Togepasar. Langsung nyosor sekali pandang. Pesan moral : Berhutanglah agar anda makin keren, tetapi utang untuk meningkatkan harta anda lewat laba. Bukan utang untuk beli asset yang habis dimakan ongkos. Istri itu asset. Wil itu liabilities. Paham ya gan.
No comments:
Post a Comment