Monday, August 8, 2016

Dampak Tax Amnesty..



Minggu lalu teman cerita bahwa sekarang pasar keuangan Indonesia sedang ramai. Semua portfolio jadi incaran investor. Itu sudah bias di tebak. Karena sebelum di syahkan saja dana asing sudah mulai masuk. Mulai dari 1 Januari sampai 24 Juni dana masuk ke Indonesia sebesar Rp97 triliun, Jadi sentiment positip atas TA begitu besar dan setelah di syahkan oleh DPR, dana masuk semakin besar. Investor ingin melaksananakan kewajibannya sebagai wajib pajak dengan mengikuti program deklarasi harta di luar negeri, tarif yang berlaku adalah 4% (Periode I mulai 1 Juli-30 September 2016), 6% (Periode II mulai 1 Oktober-31 Desember 2016), 10% (Periode III mulai 1 Januari-31 Maret 2017). Itu sebabnya semua ingin mendapatkan program awal repatriasi karena tebusanhya murah hanya 4%. Hal ini bedampak luas sekali di pasar keuangan dan pasar modal. Sepanjang periode 1 hingga 5 Agustus 2016, rata-rata nilai transaksi harian mengalami kenaikan 14,28 persen. Performa positif IHSG turut mengerek nilai kapitalisasi pasar modal Indonesia ke level tertingginya sepanjang masa sebesar Rp5.838,51 triliun di akhir pekan ini dari Rp5.614,62 triliun di akhir pekan lalu atau telah meningkat 3,99 persen. Selama Juli, nilai tukar rupiah menguat mendekati level Rp13.000 per dolar AS. Imbal hasil SBN juga terus menurun hingga mencapai 6,99%, terendah dalam 3 tahun terakhir. Dana repatriasi diperkirakan akan terus meningkat mendekati akhir 2016.

Instrument investasi yang diminati paling tinggi oleh wajib pajak biasanya NCD ( negotiable Certificate Deposito ) yang memang di sediakan oleh bank yang di tunjuk oleh pemeritnah sebagai bank persepsi untuk pengampunan pajak. Di samping itu ada lagi pilihan investasi yang di buru oleh investor yaitu  surat utang pemerintah seperti SBN, surat utang BUMN , surat utang korporasi,  Reksa dana yang underline-nya infrastruktur juga RDPT. Pada tahap awal memang dana dana itu masuk ke sector keuangan yang  mengendap sesuai holding periode yang di tetapkan pemerintah dan selanjutnya akan masuk ke sector real seperti industry dan manufaktur, bisnis insfrastruktur yang berbasis PPP, perdagangan dan jasa. Ini akan sangat luas sekali karena peluang investasi sejak di keluarkan paket kebijaksanaan ekonomi terbuka lebar di semua sector. Negara lain seperti Singapore, Hongkong, Swiss tidak bisa menahan arus capital outflow ke Indonesia ini. Karena di samping dana tersebut memang milik warga Negara Indonesia dan hak nasabah untuk memindahkan uangnya di akui oleh otoritas jasa keuangan di manapun, juga karena imbal hasil yang di tawarkan Indonesia jauh lebih tinggi dari Negara lain. Maklum karena sebagian besar dana di Negara tersebut di tempatkan di money market yang end user nya sebagian besar punya bisnis di Indonesia. Tentu yield lebih rendah dan akan jauh lebih tinggi bila langsung masuk ke Indonesia.

Di perkirakan dana repatriasi asset ini akan mencapai Rp. 500 triliun menyerbu dalam negeri. Di satu sisi memang bagus namun juga ancaman serius bila pemeirntah tidak antisipasi dengan baik. Ingat bahwa dana repatriasi ini walau mendatangkan pajak tapi juga menimbulkan ongkos moneter yang tidak murah.  Kalau investor tidak nyaman, mereka bisa pindahkan lagi dana itu keluar negeri dan ini bisa  menyebabkan sudden capital reversal  khususnya di pasar keuangan. Harga asset akan melambung tinggi atau bubble.  Benarkah ? Pengalaman arus dana masuk seperti air bah bukan hanya sekarang tapi pernah terjadi di tahun 2010-2012 akibat kebijakan QE (Quantitative Easing)  dari AS. Operasi moneter yang di lakukan BI selama pelaksanaan QE terus meningkat dari kisaran Rp257 triliun per bulan (2009) menjadi Rp390 triliun di 2011. Biaya operasi moneter yang digelontorkan Bank Indonesia meningkat tajam hingga menyebabkan defisit sebesar Rp46 triliun selama 2010-2011. Di samping itu juga berdampak mata uang mulai menguat sehingga membuat barang impor jadi murah. Keadaan ini mendorong swasta berlomba lomba impor dan memanfaatkan dana melimpah itu dengan  menarik pinjaman yang sebagin besar tanpa di hedging.  Akibatnya, pada saat The Fed  melakukan tapering pada Mei 2013, terjadi pembalikan dana secara massif dan nilai tukar kembali melemah bahkan sempat overshoot mencapai level Rp14.000 per dolar AS.

Pemerintah Jokowi harus  belajar dari pengalaman masa lalu. Agar lebih focus memberikan kemudahan bagi investor dengan melakukan diversifikasi investasi di sektor financial. Kalau bisa instrument pasar obligasi di perluas diversifikasinya sehingga tidak semua masuk ke sector pebankan yang bisa mengancam stabilitas moneter. Pemerinah harus memahami skema financial engineering yang memungkinkan berbagai instrument pasar keuangan dan pasar moda dapat di askes untuk mendorong tumbuhnya sector real. Peluang investasi insfrastruktur jangan lagi hanya berkutat kepada BUMN dan pengusaha itu itu saja. Kemudahan akses investasi harus mengabaikan eklusifitas dan memberikan kesempatan siapa saja, termasuk bagi pendatang baru. Jangan sampai seperti dulu ketika uang melimpah,  arus investasi masuk tidak menodorong pengusaha melakukan langkah  strategis  atas jatuhnya harga komoditas utama karena memang pemerintah tidak mengansipasinya dengan  baik sehingga berdampak current account deficit pada 2012 sebesar -2,8% terhadap PDB. Padahal pada 2009, neraca transaksi berjalan Indonesia masih positif. Paradox !

Waktu bagi pemerintah Jokowi tersisa hanya 3 tahun kurang, sementara dana repatriasi akan mengendap paling lama 3 tahun.  Memang pada tahap awal, investasi akan masuk melalui pasar uang dan modal. Jika kondisi perekonomian masih belum meningkat, likuiditas akan mengalir ke BI melalui instrumen operasi moneter seperti SBI, reverse repo SBN maupun Term Deposit. Jangan sampai dana melimpah yang masuk akibat Tax Amnesty tidak berdampak apapun bagi perluasan investasi sector real, tapi justru menimbulkan dampak buruk bagi sector moneter yang bisa menguras cadangan devisa. Resikonya sengat mahal. Semoga cabinet yang sekarang tahu resiko itu dan bekerja keras memastikan semua akan baik baik saja, kalau tidak maka 2019 sulit bagi Jokowi bisa bertahan dan Indonesia masuk dalam masalah besar yaitu krisis struktur yang parah..

No comments:

ERA Jokowi, dari 16 target yang tercapai hanya 2

  Realisasi kuartal III-2024, ekonomi nasional tumbuh 4,95%. Konsumsi rumah tangga sebagai pemberi andil terbesar hanya mampu tumbuh 4,91%. ...