Menurut riset The Boston
Consulting Group tahun lalu tingkat optimisme konsumen di Indonesia tertinggi
di dunia, di antara negara-negara dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang pesat
saat ini, yakni Brazil, Rusia, India, dan China. Tingkat optimisme tersebut
diukur dari keyakinan akan keadaan finansial konsumen kelas menengah ke atas
(middle and affluent consumers). Tahun ini hasil survey Nielsen menyebutkan bahwa Indonesia
adalah negara dengan Indeks Kepercayaan Konsumen tertinggi di dunia,
mengalahkan India. Apa artinya ini ? Daya beli orang Indonesia sangat tinggi.
Inilah berkat dari pertumbuhan ekonomi selama era SBY. Semua merek asing ada di
Indonesia. Kendaraan mewah diatas Rp. 5 miliar ada dijalanan Jakarta.
Apartement mewah diatas Rp. 10 miliar juga ada. Life style dari luar negeri
masuk bebas ke Indonesia dan diadobsi dengan rakus oleh orang Indonesia. Setiap
konser musik dari luar negeri diadakan di Indonesia , tidak penting berapa
harga ticket akan selalu habis terjual. Setiap model baru hp di louncing ,
selalu ramai antrian orang membeli. Memang tidak banyak orang Indonesia yang
mempunyai kebebasan financial untuk membeli apa saja. Mereka hanya segelintir
tapi kekuatan konsumsinya mengalahkan seluruh warga dari negara maju.
Yang membedakan antara orang
Indonesia dan asing adalah ketika dia
berbelanja. Orang Indonesia kalau suda pegang duit dia lupa indentitasnya sebagai orang Indonesia yang harus mengutamakan buatan Indonesia seperti Jepang yang lebih percaya dengan merek made in Japan. Semua produk asing dianggap produk terbaik dengan reputasi terbaik pula. Buatan
indonesia dianggapnya berkualitas rendah dan selera rendah. Ini bukan hanya
dimonopoli oleh rakyat yang doyan belanja. Para elite politik juga lebih percaya draft RUU bila mengcopy dari luar negeri untuk diterapkan di
Indonesia.Singkatnya segala sesuatu yang bersumber dari asing adalah terbaik.Nasionalisme
yang dulu pernah membuat orang rela mati bela negara ,kini telah digantikan
maju tak gentar membela yang bayar. Bila
globalisasi bertujuan menciptakan negara dunia tanpa dihambat oleh indentitas
negara dan bangsa maka Indonesia telah lebih dulu menjadi bagian itu.Kebanggaan sebagai orang indonesia tidak ada
lagi sejak para wanita miskin Indonesia menjadi jongos dinegeri orang, menjadi
PSK dinegeri orang.Hal inilah yang
membuat pemerintah begitu yakin pragmatisme politik sesuatu yang baik. Jangan
ada lagi idiologi membuat Indonesia hanya dimiliki oleh orang Indonesia saja.
Semua penduduk dunia punya hak memanfaatkan potensi Indonesia, dan menikmati
laba dari itu.
Itu sebabnya design pembangunan
tidak pernah diarahkan untuk lahirnya kemandirian bangsa akan kemampuan
memenuhi kebutuhannya sendiri. Cobalah bayangkan, kata teman periset di Hong
Kong, Indonesia merupakan negara yang menjadi target arus dana dari negara maju
akibat kebijakan suku bunga rendah paska krisis global. Mengapa? Ya karena
tingginya pertumbuhan ekonomi Indonesia yang dipicu oleh kekuatan konsumsi
dalam negeri. Tapi peluang hebat ini, tidak dimanfaatkan maksimal oleh
Indonesia untuk tumbuhnya sektor riil. Pemerintah membiarkan kesempatan itu
pergi begitu saja. Sementara banjirnya likuditas itu hanya berputar putar pada produk
financial market seperti obligasi dan saham. Mengapa investasi di sektor riel tidak
begitu antusias seperti maney market? penyebabnya adalah walau upah buruh di
Indonesia tergolong murah namun untuk menghasilkan produk yang efisien sangat
sulit. Hal ini disebabkan oleh minimnya infrastruktur ekonomi untuk distribusi
barang dan jasa , amburadulnya system logistik karena aparat yang korup. Suku
bunga yang tinggi. Dan akibatnya bagi pengusaha, lebih baik impor untuk memenuhi peluang konsumsi dalam negeri daripada buat sendiri. Apalagi Menteri Perdagangan punya visi lebih baik impor dengan harga murah daripada mahal buatan lokal.
Indikasi tingginya daya beli
masyarakat Indonesia yang tidak menimbulkan gairah investasi untuk terbangunnya
sektor rill memang sangat membingungkan logika ekonomi. Namun itu dapat dijelaskan oleh teman saya periset di Shanghai. Dia mengatakan bahwa tingginya konsumsi di
Indonesia berasal dari kelompok menengah
yang jumlahnya tidak lebih 2% dari penduduk Indonesia. Mereka bukan konsumen
solid. Tingkat ketergantungan mereka kepada pemerintah sangat tinggi. Karena sebagian
besar pendapatan mereka didukung oleh kebijakan korup negara, bukan oleh kreatifitas value yang
memungkinkan mereka sebagai agent pembangunan.Bukan!. Kelompok konsumen seperti
ini sangat renta. Bila rezim ini roboh
karena supply dana ke APBN lewat berhutang semakin sulit seperti Amerika, maka
mereka bukan lagi sebagai konsumen. Karena tidak ada lagi uang untuk belanja. Ya, pasar Indonesia hanyalah pasar temporari yang tidak bisa dijadikan acuan untuk investasi pabrik jangka panjang. Impor adalah lebih layak. Makanya jangan kaget bila tingginya pertumbuhan ekonomi tidak diringi geliat industri
dan manufaktur tumbuh seperti tumbuhnya mall di Jakarta dan kota kota besar di
Indonesia. Sayang kesempatan emas telah lewat. Inilah nasip, bila negara diurus oleh mereka yang bermental jongos dan korup. Kedepan Indonesia akan
menghadapi kelangkaan likuiditas dan semakin tingginya defisit neraca
perdagangan karena tingginya konsumsi namun rendah produksi. Memang sudah sepatutnya Indonesia punya pemimpin visioner untuk kemandirian bangsa dan bermartabat secara international. Mungkinkah?
No comments:
Post a Comment