Wednesday, October 24, 2012

Jakarta dan MRT?


The Third Steering Committee Meeting antara Indonesia-Jepang yang berlangsung di Tokyo pada 9 oktober lalu. Berita ini menyebar sampai keluar negeri. Dua minggu  kemudian teman saya kirim email berkaitan dengan program pembangunan infrastruktur DKI khususnya MRT. Sebagai consultant dibidang value engineering , teman ini sempat mempertanyakan kebijakan pemerintah pusat menerima bantuan dana berupa soft loan dan hibah dari jepang ini. Padahal sebagian besar sumber pembiayaan project ini  55% swasta dan sisanya  45 % bersumber dari public ( Bond ), private investor, APBN,  loan dan hibah dari jepang. Semua tahu bahwa bantuan dari jepang itu tidak gratis. Ini murni business. Yang pasti bahwa jepang punya bargain position menentukan apa yang dia mau sebagai lender MRT tersebut. Terbukti didalam daftar peserta tender project MRT ini semua berasal dari jepang dan indonesia hanya sebagai "pendamping". Menurut saya wajar saja. Ini hanya business. Tapi teman itu menghitung dari sisi value engineering. Dari hitungannya bahwa dana hibah dan soft loan itu dalam jangkan panjang justru menjadi sangat memberatkan bagi project dan pada akhirnya menjadi mahal. Mengapa ? karena project MRT akan dibebani biaya maintenance yang tidak murah dari vendor. Ini akan terus tergantung dengan vendor ( jepang)

Jepang sudah berkomitment untuk memberikan bantuan dana untuk project MRT sebesar 120 MIliya Yen berupa soft loan dan hibah. Menurut teman saya bahwa namanya project soft loan dan hibah sarat dengan korupsi berupa mark up. Soal ini jepang berpengalaman di Indonesia dan ahli menyemir pejabat. Baiklah, seandainya JOKOWI berkeberatan dengan biaya yang mahal ini dan akhirnya mengeluarkan jepang dari project ini. Lantas dari mana sumber pendanaannya? Akankah swasta betul betul punya  komitmen untuk membiayai project ini? Apakah ada bank dalam negeri yang berani ambil resiko mendanai project ini? Mungkinkah private investor berani menempatkan dananya dalam project ini? Demikian tanya saya. Karena melihat situasi dan kondisi moneter global yang tidak kondusif untuk menggalang mega dana ini. Teman itu menjelaskan dalam emailnya bahwa financial resource untuk project infrastruktur masih terbuka lebar asalkan ada jaminan kepastian hukum dan system pengelolaan yang professional.  Skema pembiayaan yang ditawarkannya adalah inkind loan ( Non Cash Loan/NCL). Inkind loan adalah pinjaman yang diberikan oleh private investor atau lembaga keuangan dalam bentuk barang atau project jadi. Dengan skema inkind loan ini memungkinkan pembangunan project dapat transfarance dan memenuhi risk management compliance.

Skema inkind loan itu sederhana saja, kata teman itu. Pihak  Pemilik project ( BUMD ) menunjuk Asset Management dan Project Management untuk mengorganisir penggalangan dana. Penyandang dana tidak mengeluarkan dana kepada project tapi memberikan jaminan pembayaran ( payment guarantee ) dalam bentuk Letter of credit kepada EPC ( engineering, Procurement , contractor ). Jaminan ini sifatnya bersyarat, yang akan dicairkan bila project selesai dibangun. Hal ini masuk akal karena mana ada yang mau kasih dana bila project hanya berupa mimpi dan studi. Berdasarkan payment guarantee ini , pihak EPC akan mengajukan kredit kontruksi kepada bank atau bisa juga dengan skema bagi hasil melalui bank syariah. Pihak bank memberikan kredit kontruksi ini tentu memperhatikan qualifikasi EPC nya. BIla EPC tidak qualified maka pasti di tolak oleh bank. Artinya hanya EPC yang bermutu dan qualified dari sisi perbankan yang bisa mengerjakan project ini.  Dengan begitu project akan aman dari kontraktor petualang.  Setelah project selesai EPC akan mencairkan payment guarantee tesebut untuk melunasi hutangnya. Setahun beroperasi, BUMD sebagai pemilik project dapat menerbitkan revenue bond ( seperti SUKUK) dan menjualnya kepada public. Hasil penjualan itu untuk membayar hutangnya kepada penyandang dana inkind loan. Tiga tahun kemudian, BUMD melakukan IPO untuk melunasi revenue bond itu atau mengajukan conversi bond dengan saham. Selanjutnya pemilik project adalah public dan pengguna project juga public. BUMD hanya pengelola untuk dan atas nama public.

Walau project ini volume nya sangat besar namun pengerjaannya tidak mungkin sekaligus. Tentu bertahap. Melalui inkind loan tersebut diatas , setiap tahapan selesai langsung dioperasikan untuk menghasilkan cash ini dan sekaligus meningkatkan performance financial project agar terjadi project derivative value untuk mendapatkan sumber pendanaan tahap berikutnya sampai akhirnya semua tahapan selesai. Artinya untuk nilai project sebesar Rp. 420 triliun , sebetulnya diperlukan dana pendorong hanya sebesar Rp. 12 triliun atau kurang lebih 3 persen. Selebihnya cash flow project itu sendiri yang akan menjadi trigger pembiyaan project. Tidak perlu kawatir mengenai sumber dana. Kata teman saya. Sumber dana dalam negeri khususnya perbankan nasional dan lembaga keuangan  sangat mampu untuk menggalang dana tanpa harus menggunakan dana APBD atau APBN. Jadi sudah benar bila JOKOWI harus meninjau ulang project MRT. Itu bukan berarti JOKOWI menolak project itu dibangun tapi ingin agar project tersebut dimasa depan tidak membebani rakyat. Caranya harus smart untuk membela kepentingan rakyat tanpa harus didikte oleh asing.

Agar inkind loan ini dapat terlaksana tentu membutuhkan organisasi pembangunan yang professional dengan melibatkan jasa keahlian dibidang Project Management, Contractor, Procurement, Asset Management. Semua keahlian itu ada di Indonesia , khususnya dibawah BUMN. BUMN Indonesia dibidang EPC ( engineering, procurement, contracting) rata rata sudah berkelas dunia dan listed di Bursa Begitupula dengan industry rekayasa untuk Kereta api seperti INKA dinilai mampu asalkan diberi kesempatan. Begitulah dengan Lembaga Electronica Nasional mampu menyediakan system berbasis electronic untuk MRT. Sebagaimana China, bahwa setiap ada mega project maka itu merupakan kesempatan besar bagi BUMN untuk menunjukan kemampuannya dan sekaligus sebagai wahana on the job training untuk menjadi BUMN berkelas dunia. Untuk itu BUMN harus menjadi Main- contractor bukannya menjadi subcontractor atau hanya sebagai pendamping kontraktor jepang. Untuk itu diperlukan dukungan politik dari pemerintah baik pusat maupun DKI agar pembangunan tidak hanya sekedar menyediakan sarana tapi juga memperkuat kemampuan untuk mandiri dalam jangka panjang, baik dana maupun tekhnologi. Disinilah peran Dahlan Iskan untuk bergandengan tangan dengan JOKOWI mengawal mega project MRT untuk kejayaan bangsa.

No comments:

ERA Jokowi, dari 16 target yang tercapai hanya 2

  Realisasi kuartal III-2024, ekonomi nasional tumbuh 4,95%. Konsumsi rumah tangga sebagai pemberi andil terbesar hanya mampu tumbuh 4,91%. ...