Dalam salah satu dialogh, Almarhum Saban Sirait pernah berkata “ Kita ( politisi ) adalah pemain. Pemain dimedan persepsi, bahwa politik itu soal kekuasaan. Pada setiap kekuasaan pasti ada kepentingan. “. Saya pernah mendengar salah satu anggota Dewan yang kebetulan Partainya menjadi pemenang pemilu. Dia berkata ” Republik ini sekarang kita yang punya. We win we take all ”. Apakah mereka berpikir bahwa politik adalah amanah yang harus dipertanggung jawabkan dunia akhirat? Apakah mereka sadar bahwa jabatan politik adalah jabatan yang duduk diatas bara api ? Kalau dari sikap dan gaya mereka mendapatkan kekuasaan dan mempertahankan kekuasaan, maka tahulah kita bahwa semua harapan ideal kekuasaan itu hanyalah omong kosong. Politik adalah bisnis. Pada setiap business ada uang dan kerakusan. Ada transaksional diantara elite politik. Ada bisik bisik dalam canda dan tawa dibalut aroma maksiat untuk berbagi diantara mereka.
Lantas masih adakah nasionalisme ? Di era multi partai dan dunia politik yang pragmatis , idiologi sudah masuk keranjang sampah. Nasionalism sudah basi untuk dibicarakan. Apalagi dikemukakan dalam derap kebijakan negara. Politik adalah wahana bisnis yang tentu dikelola secara bisnis pula.
Di etalase itu bendera partai diletakkan dengan jarak tertentu. Kalau bukan jarak fisik, ia jarak dari keseharian kita. Mereka tampak mengimbau karena mereka, seperti satu adegan film Avatar, bukan bagian dari malam dan siang kita yang lazim. Marx pernah berbicara tentang ”festishisme komoditas”: ketika komoditas jadi jimat, benda yang dianggap punya kesaktian, atau, dalam bahasa Portugis, feitiço. Di depan etalase Emiglio Zegna, yang memajang kemeja dan pantalon yang necis, kita tak tahu siapa Emiglio Zegna. Kita tak peduli apakah itu nama sang desainer atau nama seorang aktor yang dipinjam untuk jadi merek. Kita mungkin kagum kepada desainnya, tapi tak peduli siapa yang merancang. Kita bahkan tak merasa perlu tahu siapa yang punya toko. Di pikiran kita hanya sederet pantalon, sederet jas, sederet hem. Apa yang dikatakan Marx tepat di sini: benda-benda itu kini menampilkan ”sifat metafisik yang halus” dan ”kesantunan theologis”.
Ya, suka tidak suka, biang persoalan ada pada sistem. Ini dunia kapitalis. Politik Kapitalisme, dengan kemampuannya merayakan apa yang visual, mencoba menebus sesuatu yang hilang. Ia lahir bersama penaklukan dunia dan kehidupan, yang menghabisi pesona akhlak mulia, dan aura sang Kiyai yang dulu dirasakan hadir—gejala yang terkenal dalam sebutan Max Weber sebagai Entzauberung der Welt. Sejak awal abad ke-19, ketika benda-benda dipajang di toko-toko besar, sebuah sistem bernama demokrasi menempatkan orang ramai sebagai konsumen yang dibuat takjub. Dengan teknik pemasaran yang piawai, sebetulnya menghidupkan ilusi walau prosesnya berangkat dari perhitungan rasional. Akal sehat dikalahkan oleh hasrat. Ilusi itu bekerja karena bergolaknya hasrat. Ada yang akan menyebutnya ”nafsu”: bagian dari bawah-sadar yang hanya kita temui di saat yang tak bisa direncanakan, yang tentang sumbernya kita cuma bisa bilang, ”Entah.”
Era kini kita datang ke bilik suara Pemilu tak ubahnya pergi ke Mall. Kita datang ke bilik suara milihat gambar. Kita hanya melihat poster terpampang, ada deretan wajah tersenyum berjas Army. Ada sebagian kita kenal , wajah yang acap muncul di TV dalam Sinetron. Sebagian kita tidak kenal dengan pasti. Kita memilih pergi ke sana dan tertarik karena kita hidup di antara fantasi, mimpi, hasrat, yang sudah mengisi diri kita, bertaut dengan hal-hal yang telah membentuk impian sosial. Antara aku dan calon pemimpin dalam etalase politik itu ada satu proses perantaraan, terutama oleh media—majalah Dewi, Esquire, Kosmopolitan, Pentas Dangdut, iklan kecap KS, dan entah apa lagi—yang membentuk pelbagai markah: merek, gaya, potongan bentuk, bahkan mall itu seluruhnya menandai ”kecantikan” atau ”kegantengan” atau ”kepatutan”. Semuanya menggoda Seperti lirik KD ” Pilih lah aku” dan kemudian kamu harus ikhlas dikibuli.
Namun kita tahu dan sadar bahwa pesona visual dari kapitalisme-lewat-etalase itu punya dua sifat. Yang pertama, ia tak punya kedalaman atau tidak membumi. Ia datar seperti etalase, tanpa misteri. Yang kedua, ia dibebani kesementaraan yang dibungkus oleh hasrat disebut ”hasrat” karena ia tak terpuaskan.
No comments:
Post a Comment