Friday, October 8, 2010

Revolusi ?

Minggu lalu ( kompas 6/10/2010) Ketua Komite Ekonomi Nasional yang bernaung dibawah kantor Kepresidenan menyampaikan pidato pada dies natalis ke-47 Institut Pertanian Bogor (IPB) di Bogor. Dia mengatakan bahwa saat ini nilai produk domestik bruto (PDB) Indonesia 700 miliar dollar AS atau sekitar Rp 6.300 triliun. Tahun depan diperkirakan PDB akan naik menjadi Rp 7.000 triliun atau 770 miliar dollar AS. Dari data itu dia menyimpulkan bahwa dalam tahun 2030 Indonesia akan masuk lima besar kekuatan ekonomi dunia. Kita akan bersanding dengan China, Amerika Serikat, Jepang , Eropa dan Korea. Kalau benar itu akan jadi kenyataan pada tahun 2030, lantas benarkah indonesia dengan populasi 200 juta lebih juga merasakan kemakmuran itu ?

Pak Budiono pernah terlempar kata kata tentang kekawatirannya akan bubble ekonomi akibat kebijakan makro ekonomi ( Koran Jakarta 01/07/2010). Ini merupakan pengakuan jujur dari seorang Budiono ditengah pencitraan pemerintah tentang kehebatan pertumbuhan ekonomi kita ? Karena bila kita analisa data pertumbuhan ekonomi dari tahun ketahun nampak sekali ada ketimpangan antara sektor riil dan moneter. Dari tahun ketahun sektor moneter menyumbang 74% pertumbuhan ekonomi dan sisanya adalah sektor riel. Sementara sektor riel lebih didominasi ( sekitar 45% dari akumulasi sektor riel yang ada ) oleh sektor property, Migas, telekomunikasi yang kurang kontribusinya bagi kesempatan kerja luas. Bagaimana dengan sektor Industri ? Dari tahun ketahun data BPS menunjukan terjadinya penurunan. Bahkan tahun 2009 terjadi minus 1 %. Kalau dicermati, pertumbuhan dan peran sektor industri terhadap pembentukan PDB ternyata terus menurun dari 27,9 persen (kuartal I-2008), 27 persen (kuartal I-2009), dan hanya 25,4 persen (kuartal I-2010).

Itulah kenyataan yang ada hingga kita pantas mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang menmpatkan kita masuk dalam G20 hanyalah pertumbuhan semu belaka. Kalau pemerintah memaparkan angka kemiskin menurun , inipun lebih menipu. Bagaimana mungkin pembangun yang bertumpu kepada sektor jasa nontrandable dan meminggirkan sektor riel dapat memberikan sumbangan penghasilan bagi orang miskin dan menampung angkatan kerja. Untuk menampung angkatan kerja baru sebesar 1,9 juta orang pada tahun 2010 hampir tidak mungkin dapat tercapai. Belum lagi stok pengangguran ditahun tahun sebelumnya Sementara pemimpin kita terus saja memperlihatkan angka angka statistik pertumbuhan ekonomi dan dampaknya terhadap penururan kemiskinan. Tapi mereka lupa satu hal bahwa pertumbuhan ekonomi yang dimaksud tidak seperti teori ekonomi pembangunan dimana pertumbuhan selalu berhubungan dengan keadilan sosial ekonomi bagi rakyat banyak.

Baiklah, untuk membuktikan pertumbuhan itu tidak terkait dengan kemakmuran maka lihatlah kenyataanya tidak ada peningkatan pembangunan insfrastruktur eknomi yang significant terhadap laju pertambahan penduduk. Chairul Tanjung sebagai ketua KEN berkata berdasarkan pengalamannya berinvestasi di Indonesia Timur bahwa”hanya orang gila yang mau invest di Indonesia timur”Begitulah betapa mahalnya ongkos investasi di Indonesia Timur karena keterbatasan Infrastruktur dan ini seperti yang juga di akui oleh Ketua DPR Marzuki Alie. Jangankan di Indonesia timur, di Indonesia barat saja yang padat populasi , listrik masih byar pet, Angkutan massal brengsek, Airbersih yang ala kadarnya.

Model pembangunan yang bertumpu pada sektor nontradable ( jasa keuangan ) memang tidak memerlukan infrastruktur berskala massive. Tidak butuh Kereta Api canggih sepeti China dan Korea punya.Tidak butuh MRT sehebat Hong Kong. Ia hanya butuh insfrastruktur terbatas untuk melayani komunitas yang juga terbatas , dan bahkan sangat exclusive, seperti Hotel berbintang, apartement , block city, Mall. Komunitas itu adalah segelintir orang yang menguasai deposito di bank dan portfollio saham /obligasi dibursa. Menurut Merrill Lynch & Co serta perusahaan konsultan Capgemini Lorenz ( 29 september 2010 ) dalam laporannya menyebutkan hanya sekitar 20,000 saja dari 200 juta lebih rakyat Indonesia yang punya akses kesektor nontradable ini. Memang model pembangunan yang menciptakan kelas.

Saya yakin semua elite politik sadar akan hal tersebut diatas. Mereka sadar biang persoalannya karena jebakan APBN dan hutang. Total hutang negara pada akhir juli 2010 mencapai Rp. 1.627 triliun atau setara dengan 160% total APBN. Inilah yang membuat pemerintah terpasung. Kita akan terus berputar putar dalam situasi yang semu, sementara kemiskinan terus bertambah. Bagaimana keluar dari putaran ini ? hanya satu jalan yaitu revolusi ! Revolusi bukan berarti harus bau amis darah. Tapi revolusi ”mindset ” untuk menjebol kekakuan APBN dari belenggu lembaga kreditur dan watch dog ; IMF, worldbak dan lain lain. Rakyat juga harus siap dengan segala pengorbanan akibar revolusi ini. Mungkin satu generasi akan menderita tapi ada ”hope” untuk generasi yang akan datang. Ini yang harus dilakukan oleh para elite politik kita. Segera !

Tapi kalau tidak ada kemauan untuk melakukan revolusi dan nyaman dengan status quo pertumbuhan semu maka sikap itu akan menimbulkan "keadaan " untuk lahirnya revolusi yang tak santun. Ketika itulah revolusi bukan lagi tindakan bijak tapi sebuah amarah dan dendam,yang tentu bau amis darah. Maka yang akan terjadi, terjadilah...

No comments:

ERA Jokowi, dari 16 target yang tercapai hanya 2

  Realisasi kuartal III-2024, ekonomi nasional tumbuh 4,95%. Konsumsi rumah tangga sebagai pemberi andil terbesar hanya mampu tumbuh 4,91%. ...