Monday, October 11, 2010

Akal dan Iman

Pada waktu saya masih remaja , ayah saya pernah menasehati saya “ Hidup berakal, mati beriman” Hampir semua orang minang pernah mendengar soal pepatah ini. Awalnya saya hanya tahu itu sepenggal kata yang lazim diucapkan para orang tua tua kepada anak anaknya. Pada waktu itu, Saya tidak tahu hakikat dari pepatah itu. “Kalau diuraikan makna dibalik pepatah itu tak akan selesai dalam sehari” Itulah kata ayah saya. Setelah dewasa , saya mencoba mendefiniskan pepatah itu untuk menjadi formula hidup. Kehidupan membutuhkan akal namun tujuannya harus didasarkan pada iman. Dari difinisi ini sayapun mulai mengeksplore lingkungan dimana saya hidup. Saya ada dibumi dan diatas saya ada jagad raya. Lingkungan saya terisolasi oleh ruang dan waktu. Diantara ruang dan waktu inilah hadir ketetapan Allah yang disebut sunattullah ( hukum alam, sekular ). Tanpa ilmu, gelap jalan dilalui. Tanpa iman , tak jelas kemana hendak dituju. Ilmu bersendikan syariat , syariat bersendikan kitabullah.

Membahas soal tersebut diatas.. Saya ingin memaparkan analogi. Kalau kita melihat buah durian, kitapun langsung meneteskan air liur untuk menikmatinya. Kita acuhkan kulitnya yang berduri keras. Kita acuhkan resiko mengupasnya dengan tangan. Persepsi kita , Durian tetap adalah sebuah makanan yang lezat. Ini proses akal; Harum , itu berasal dari indra penciuman kita. Rasanya yang gurih karena indra perasa kita. Bongkahan yang menggiurkan , karena indra mata kita. Akal menerima informasi dari mata, lidah dan hidung, menterjemah sebuah ide bahwa itu lezat. benarkah.? Sementara di Afrika, tidak ada satupun orang makan durian karena mereka anggap itu makanan dewa. Idenya dari metafora gaip; kalau kulitnya saja tajam gimana isinya?. Makanya hanya dewa yang pantas makan durian. Begitupula di Thailand. Mereka tidak makan durian karena alasan gaip. Bahwa durian itu makanan Gajah dan gajah itu kendaraan dewa yang mereka sembah.

Kita yang makan durian, orang afrika dan Thailand yang tidak makan durian, sebetulnya sama saja. Karena kedua duanya berangkat dari ide. Satu ide yang datang lewat akal dan satunya ide lewat kepercayaan ( Iman). Hanya bedanya, kita orang Indonesia mendapatkan manfaat dari Durian untuk kalori ditubuh kita dengan kadar gula dan asam yang tinggi. Sementara orang Afrika dan Thailand tidak mendapatkan apapun kecuali hanya kepuasan gaip belaka. Tapi benarkah kepuasan gaip tidak menghasilkan apa apa ? Kalau benar itu, tentu tak mungkin sampai kini orang Thailand tetap tidak makan Durian, begitu juga orang Afrika. Tak sudah kita membahas soal manfaat dari sebuah ide. Karena antara gaip dan akal , dua duanya berujung kepada kepuasan. Tujuannya sama..

Sebagian orang pemuja akal berkata “ Gaip adalah nothing” atau Tuhan tidak ada. . Baiklah, mari kita lihat akal kita. Buah durian itu terasa enak, karena lidah kita. Bukan pada duriannya. Durian itu harum, karena hidung kita. Bukan pada duriannya. Bongkahannya menggiurkan karena mata kita. Bukan duriannya. Lantas dimana durian itu ? Tidak ada. Itu semua hanya sebuah ide yang ada. Lantas apa bedanya dengan orang afrika, thailand yang tidak makan durian karena keyakinan gaip. Saya tidak akan membuat satu kesimpulan sendiri karena hanya sebatas analogi yang terbatas. Mungkin renungan David Hum yang dikenal sebagai ahli filsafat idealis dapat didengar bahwa pada akhirnya semua itu kembali kepada diri kita sendiri. Ternyata pada diri kita itu ukurannya bukan akal tapi sesuatu yang gaip. Apa itu. Kepuasan !. Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa kita sendiri adalah repliksi dari sesuatu yang gaip. Akal tidak akan pernah tuntas menterjemahkan hakikat materi ( bunder of conceptions). Makanya terlalu memuja akal akan berujung kepada kebingungan sendiri. Tapi terlalu muja yang gaip juga bisa frustrasi.

Dimanakah kita harus tegak. Apakah keimanan pada yang gaip belaka atau pada akal kita yang bisa dihitung dan dinalisa ? Jawabanya tidak pada iman semata juga tidak pada akal. Kita harus berada ditengah tengah. Harus seimbang. Inilah yang disebut dengan cerdas dalam hidup atau disebut oleh orang minang “berakal “. Ketika berurusan dengna muamalah ( Dunia) , kita harus lepaskan belenggu gaip dalam diri kita. Kita adalah kita yang terikat dengan sunattullah. Allah menjamin rezeki semua makhluk tapi Allah tak pernah mengirim makanan kedalam sangkar burung. Disinilah perlunya ilmu untuk memahami hukum sebab akibat. Semakin luas pengetahuan kita akan sesuatu semakin luas rezeki Allah sampai. Tapi ketika rezeki didapat maka kita harus kembali kepada Allah (keimanan ) agar tujuan hidup tetap terjaga. Tak akan pernah kita kembali kepada Allah bila setiap syariah diawali tidak untuk Allah. Makanya niat itu sangat penting. Ada awal tentu ada pula akhirnya. Buruk diawal , buruk pula akhirnya.

IItulah perlunya Agama. Agama hidup dan menghidupi akal dan tidak bisa didebat. Karena agama mengajarkan tentang eksistensi Tuhan yang tidak terisolasi oleh ruang dan waktu. Agama mengajarkan hubungan manusia dengan Tuhan. Mengajarkan cinta dan kasih sayang. Semuanya sesuatu yang gaip namun memahaminya haruslah dengan ilmu. Harus diimani untuk sampai pada tujuan yang sebenarnya dan tentu akan berujung pada rasa syukur kepada Allah. Inilah kepuasan sejati. Selagi observasi indra menuntun akal kepada akal lagi maka selama itupula manusia kehilangan makna. Negara yang membuang agama dalam ranah politik sosial ekonomi juga negara yang kehilangan makna.

Hiduplah berakal , dan mati beriman.. “.Keseimbangan dan bermakna

No comments:

ERA Jokowi, dari 16 target yang tercapai hanya 2

  Realisasi kuartal III-2024, ekonomi nasional tumbuh 4,95%. Konsumsi rumah tangga sebagai pemberi andil terbesar hanya mampu tumbuh 4,91%. ...